"Setiap Jumat makam Adrian memang begitu, Na. Ini sudah ke lima kalinya Bunda datang, makam Ian dan Zura sudah bersih dan bertabur bunga." Bunda menjelaskan saat menemani Kana berkunjung ke makam Adrian dan anak pertamanya, Azura. Kana heran karena setiap hari Sabtu ketika dia berkunjung ke makam Adrian dan putri pertamanya, makam itu terlihat bersih dan bertabur bunga yang masih segar yang menandakan si pengunjung makam belum lama datang.
Kana tersenyum mengelus nisan bertuliskan nama suaminya. Kak, aku rindu. Hari-hari terasa berat tanpamu. " Mungkin saudaranya Bun." Atau mungkin saja temannya, Adrian orang yang baik pasti banyak orang yang sayang padanya.
"Iya, mungkin juga." Bunda menatap nisan Adrian dengan mata berkaca-kaca. Kana tahu sekali bagaimana perasaan ibu mertuanya. Adrian anak tunggal, dan kehilangan dia seperti kehilangan separuh hatinya.
"Bun, maafin Kana ya Bun!" Kana memeluk Bunda mencoba menenangkan ibu mertuanya itu.
"Tidak ada yang salah Kana. Semua sudah tertulis." Bunda membalas pelukan Kana, dua wanita yang sama-sama kehilangan Adrian saling menguatkan.
"Ayo, selesaikan doanya, Ken sudah terlalu lama menunggu di mobil." Bunda menepuk punggung Kana. Kana mengangguk dia lupa kalau Ken sedang tidur di dalam mobil ditemani sopir pribadi bundanya.
" Sudah, dua tahun Na." Bunda meletakan secangkir coklat hangat di meja, mereka memutuskan untuk mampir ke rumah Bunda sepulang dari makam Adrian.
Kana hanya diam, dia tahu ke mana arah pembicaraan ibu mertuanya itu.
"Ken butuh sosok ayah Kana. Saat ini dia memang bisa mendapatkan itu dari Om dan kakek-kakeknya. Tapi Na, kamu harus berpikir itu tidak akan selamanya." Bunda mengambil cangkirnya lalu menyesap isinya, mata mereka sama-sama menatap ke arah Ken yang sedang asik bermain dengan kakeknya. Mereka berlarian sambil teriak-teriak kecil.
"Tidak mudah, Bun." Kana menjawab lirih.
"Bunda tahu, tapi kamu harus belajar Kana." Bunda meletakkan cangkirnya lalu mengenggam tangan Kana erat. "Membuka hati untuk pria lain bukan berarti kamu mengkhianati Ian. Ian akan selalu di hati kamu itu pasti karena bagaimanapun dia ayah dari anakmu. Tapi, kamu juga harus membiarkan hati kamu untuk belajar menerima pria lain. Kamu tidak bisa terus sendiri. kamu butuh pendamping Kana, karena semua yang ada sekarang sewaktu-waktu bisa berubah. " Bunda tersenyum hangat, wanita dengan guratan di sudut matanya itu mengatakan semuanya dengan tulus. Jari jemarinya terasa hangat melingkupi telapak tangan Kana.
"Ken selamanya akan jadi cucu Bunda. Begitupun kamu, akan selalu jadi anak Bunda dan Ayah. Tapi kami tidak selamanya bisa ada untuk kalian. Jadi, belajarlah mulai sekarang untuk membuka hati. Bunda yakin, Adrian di sana tidak akan keberatan. Tolong ikhlaskan Adrian, Na. Dia sudah bahagia di sana. Tugas kamu berikutnya, menjaga Ken. Dan kamu tidak bisa sendiri melakukan itu. Buka hati kamu, carilah pendamping yang bisa mencintai kamu dan Ken tulus." Bunda mengelus kepala Kana, menantu yang sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri.
Kana mengigit bibir dalamnya kuat-kuat menahan tangis yang sebentar lagi akan pecah saat mendengar semua kata-kata bunda. Perasaannya campur aduk dan dia binggung haruskah lega, sedih, bahagia atau malah takut. Takut jika dia mendapat pendamping lagi lalu ditinggal pergi dengan cara yang sama?
Tidak, tidak.
Kana tidak boleh takut.
Membuka hati. Kana akan mencoba itu, di mulai dari dia bersikap ramah pada staf pria di kantor termasuk Gio. Hanya sebatas ramah tamah tanpa bermaksud lebih. Tapi Gio menganggapnya berbeda.
"Wah, pizza mozzarella? Thanks ya Pak Gio!" Nurullah yang paling antusias saat menerima sekotak pizza yang diantar Gio langsung ke pantry saat staf perempuan berkumpul untuk makan siang bersama.
"Dimakan bareng-bareng ya!" Tatapan Gio lurus ke arah Kana yang memilih sibuk dengan ponselnya.
"Pasti dong Pak!" balas Nurul lalu tersenyum semanis mungkin, Key yang melihat tingkah Nurul yang tak ubahnya seperti penjilat itu mencibir jijik.
"Wah, bisa gendut nih, kalau tiap hari dapat asupan bergizi kayak gini," seru Nurul setelah mengantarkan Gio keluar dari ruangan lalu meletakan kotak itu di depan Kana.
"Kita kasih kehormatan Mbak Kana untuk memakan lebih dulu." Nurul mengedipkan sebelah matanya ke arah Kana seperti meledek. " Kan sebenarnya Pizza ini untuk Mbak Kana. Kita mah apa atuh!" sindir Nurul
Kana mengurungkan niatnya untuk menyuapkan makanan saat seisi ruangan menatap ke arahnya. Ada yang kasian, ada yang sungkan, ada yang biasa saja dan ada yang tak suka dengan tindakan Nurul.
Kana tidak boleh memperlihatkan kalau dia tersinggung dan tak nyaman dengan perlakuan Nurul. Dia sudah dewasa sudah seharusnya bertingkah dewasa pula.
"Nah, memang harus begitu, itu namanya kamu tahu diri. Walaupun aku karyawan baru tapi aku lebih tua dari kamu! Dan seperti yang kamu bilang barusan, bisa jadi ini memang spesial untuk aku," sahut Kana santai lalu memgambil sepotong pizza dan memakannya. Seisi ruangan menganga tak percaya dengan balasan Kana pada Nurul yang mendadak kicep, tak bersuara.
Key bahkan terang-terangan menatap ke arah Kana tak percaya. Teman yang biasanya memilih diam ketika dipermalukan kini melawan? Good girl ah, tidak. Good woman!
Semenjak itu Nurul bukannya berhenti menyindir Kana dia malah makin berani mengolok- olok Kana dengan Gio, bahkan menyebar berita kalau Kana dan Gio saling suka. Tapi Kana santai saja menanggapinya. Dia memilih diam dan tak peduli.
"Na, kamu beneran mau diem aja, mulut ember Nurul udah keterlaluan," Key menyikut lengan Kana ketika mereka bersiap untuk pulang dan beberapa orang berbisik-bisik saat melihatnya.
" Biarin aja Key. Aku gak mau ambil pusing." Kana melepas cepolan rambutnya dan membiarkan tergerai. Key menatap Kana tak berkedip. Teman sekantornya ini memang benar- benar cantik. Sepertinya dia datang kepagian dan berada di antrian paling depan saat Tuhan membagi-bagikan 'wajah cantik'.
"Ah, kalau aku jadi kamu udah aku tampol mulutnya pakai sandal!" Key terlihat kesal.
Kana mengangkat bahu setelah selesai memakai hoddie warna birunya, lalu memakai tote bag dan tangannya yang bebas menjinjing paper bag yang berisi heels 10cmnya yang sudah dia ganti dengan sandal jepit warna biru. Kana sekarang memilih memakai sepeda motor dia cukup trauma untuk memakai mobil takut ada apa-apa di jalan.
"Kana mau pulang?" Gio yang berpapasan dengan Kana di depan pintu ruang karyawan menyapa dengan sangat ramah. Kana memgangguk dan Key mendecih pelan.
"Bareng saya saja, Na." Tawaran Gio langsung ditanggapi Kana dengan gelengan kepala.
"Saya bawa motor Pak," tolak Kana halus. Terlihat wajah Gio begitu kecewa padahal dia sudah membayangkan duduk berdua di dalam mobil dengan Kana, mengantarnya sampai ke rumah dan Kana akan menawarinya mampir, Gio tidak akan menyia-nyiakan itu. Dia akan ikut masuk ke dalam rumah Kana dan akan mengenalkan diri pada orangtua serta anak Kana.
Sayangnya itu tidak akan terjadi karena Hasan kemudian datang tergopoh-gopoh dan memberitahu kalau Kana sudah ditunggu di depan. Gio hanya bisa mendesah kecewa begitu melihat Kana berpamitan dan bergegas keluar.
"Lho Kak Joddy? Kok di sini?" Kana mengernyit heran ketika tahu yang menunggunya di parkiran adalah Joddy.
"Aku nebeng pulang ya Na, mobilku dipinjam Kanda aku diturunkan di sini. Dia ada pemotretan di kota tua. Mobilnya mogok." Joddy berkata dengan wajah sedih. Kana menatap Joddy yang sudah memakai jaket kulit dan menjinjing helm full face. Seperti sudah menyiapkan diri sendiri. Kana sebenarnya ingin bertanya karena rasanya ganjil saja kalau Joddy tiba-tiba nebeng dia pulang. Padahal masih banyak cara. Naik Grab misalya, tapi dia terlalu malas dengan tatapan orang-orang yang ada di parkiran.
"Ya udah yuk, Ini kuncinya." Kana menyodorkan kunci motor pada Joddy yang langsung Joddy sambar tanpa banyak basa basi. Beberapa menit kemudian mereka sudah menembus kemacetan kota Jakarta. Maklum jam pulang kerja. Jalanan sudah dipadati dengan kendaraan pribadi maupun umum.
"Na, keberatan gak kalau mampir makan, aku lapar!" Joddy memundurkan kepalanya saat bicara agar suaranya terdengar Kana.
"Boleh."
Joddy tersenyum lalu menepikan motor Kana di sebuah warung pinggir jalan.
"Gak apa-apakan makan di sini?" tanya Joddy saat dua piring nasi goreng terhidang di depan mereka. Aroma wangi gurihnya membuat perut Kana menuntut untuk segera diisi.
"Santai saja, Kak. Aku bukan Ratu Elizabeth."Bukan hal yang baru untuk Kana sebelum menikah dengan Adriam pun Kana sering sekali membeli makanan kaki lima seperti ini. Kana memberikan senyum termanis lalu mulai menyendoki makanannya.
"Oh iya, gimana kerja di bank? Ada masalah selain bos kamu yang genit itu?"Joddy bukan bermaksud kepo tapi dia sedikit penasaran karena Kana-nya, tidak pernah mengeluh atau sekedar bercerita tentang pekerjaan.
"Aman Kak." Kana tak sepenuhnya berbohong, dia masih bisa menghandle Nurul yang setiap hari membuat masalah dengannya atau Gio yang mencoba mengambil hatinya.
"Syukurlah." Joddy mendesah lega, dia tidak akan tenang jika Kana mendapat masalah di tempat kerjanya karena bagaimanapun dia yang merekomendasikan tempat itu.
Kana mengunyah potongan kecil mentimun yang sudah diolah menjadi acar, rasa asam manisnya membuatnya rileks. "Kadang aku capek, Kak. Tapi aku gak berani ngeluh, karena sekarang aku punya Ken yang harus aku penuhi kebutuhannya. Karena tidak mungkin selamanya aku tergantung sama Mama dan Papa. Uang yang dari perusahaan Kak Ian pun aku tabung untuk biaya pendidikan Ken kelak."
Hati Joddy merasa trenyuh saat mendengar apa yang dikatakan Kana. Dulu dia diperlakukan bak seorang Ratu. Adrian tidak mengizinkan Kana bekerja. Tugas dia hanya mengurus Ken dan Adrian. Tapi sekarang Sang Ratu harus mengambil alih semuanya sendiri. Andai saja Joddy diizinkan untuk menjadi raja di hatinya.
"Kalau capek istirahat Na. Nanti lanjut berjuang lagi. Aku tahu kamu wanita yang kuat. Ken pasti bangga punya ibu sepeerti kamu." Dan Joddy pun sangat bangga. Kana yang polos dan manja sudah semakin dewasa.
"Terimakasih ya Kak. Selalu ada untuk aku dan Ken."
Joddy mengangguk. Ditatapnya Kana yang asik memakan nasi gorengnya. Walaupun makeup yang dia pakai sudah luntur tapi kecantikan alaminya malah makin terlihat.
"Jam 9 pagi bank udah buka belum sih, Na?" Joddy bertanya tanpa mengalihkan pandangannya.
"Udahlah Kak, jam 8 pagi aja udah buka." Kana menjawab tanpa menatap Joddy.
"Kalau hati kamu sudah buka belum?"
"Suda- hah? Apa?" Kana menatap Joddy binggung. Joddy hanya tersenyum lalu pura-pura sibuk dengan makanannya. Padahal pria berumur 36 tahun itu sedang mencari bagaimana cara agar Kana tidak mendengar degup jantungnya berdebar kencang.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
💞istrinya jungkook💕
gubraak....joddy bs ae
2021-06-06
0
Vania surya
bilang aja terus,,,kak.
2021-02-13
1