Roda Kultivasi
...Bab 1...
Perjalanan tidak akan selalu lurus.
Sering kali putar-putar labirin menerpa, menyertai tiap belokan dengan lebih banyak rasa bingung dan putus asa.
Begitu pula dengan takdir.
Tidak peduli seberapa jauh kamu melangkah, rentetan akan menyeret, mengikat erat kehadiran untuk terjun dalam rangka menguji kesabaran suatu individu.
Sudah berulang kali semua dilalui, melintas dan terlewat begitu saja. Enggan peduli seberapa banyak senyum diikrar, emban pundak takkan pernah berhenti, seketika hilang sebagaimana tanggung jawab tiap pihak di seluruh penjuru.
Seakan menjadi tombak perang, hampa sensasi terus menyerang, menggerogoti berulang membaranya tekad tahap demi tahap.
Gagal demi gagal terus menunggu, menghantui alam bawah pikir dengan hasil akhir terjebaknya ketidak ujung siklus hidup yang mampu menjerat siapapun menuju bawah lubang.
Tengah keluhan tak terhingga, jalar pertumbuhan mohon dan harap selalu benar, timbul sedemikian rupa tiada peduli berapa kali diberantas.
Melalui segala rintangan di hadapan, buang keringat adalah sepersekian, pengorbanan terkecil yang memprakarsai hilang nyawa untuk bisa menggapai cita-cita dalam hidup.
Beberapa kali ombak berdebur, bintang langit terpancar, dan lonjak suhu bumi diidentifikasi perihal alasan rajut alur dibungkus seperti nih?
Apa makna kemelaratan, lukis bentuk kebinasaan nan terbendung sebagaimana deklarasi?
Di suatu benua, atau biasa disebut sebagai Benua Jingshui. Sebuah kebesaran tempat tinggal Dewa diikuti segala bentuk kemegahan dan juga arsitektur yang ditempati terdapat jajar genjang wilayah, reka bangun ruang yang berfokus melewati Provinsi Qindush dan menetapi bagian pinggir perbatasan.
Titik berat menjurus pada perkumpulan desa, dirasa. Padu utuh kehendak mencipta, secara tidak sengaja melahirkan suatu kota tidak bukan disebut sebagai Tempa Mihanyeng.
Lebih jauh, mencoba menseksamai suatu sudut reruntuhan persis di pinggiran, tergeletaknya banyak makhluk seakan normal, kewajaran maklum bagi ketidaknormalan bentuk makhluk untuk rehat, tidur telentang tanpa sanggup bertindak apa-apa.
Mereka tidak bukan adalah Para Dewa, atau sangat disarankan dipanggil sebagai Pejuang Pembebas. Berdasar ciri tubuh yang dipandang ketidakjelasan untuk ditangkap sekali pandang, kumpulan Dewa kecil ini hanya bisa tertidur, meratapi nasib malang di kala copot organ mengikutsertai luap fluktuasi tiada sedap dihendus.
Sudah dapat dikatakan kerugian besar dialami oleh kelompok terkait.
Banyak rupa gores, lubang hingga berujung pada pembolongan adalah sepersekian, rupa cidera parah daripada keberlanjutan dampak Pertentangan Harmoni jutaan silam.
Pertempuran dengan meninggalkan luka sekaligus aib terbesar, dampak penggulingan tahta wewenang Dewa ialah bentuk, konkret jungkir balik otoritas yang sempat berseteru dengan pembangkang umat manusia.
Masa kejayaan bener-bener cemerlang, memvisualisasikan kemegahan di mana-mana teruntuk Para Dewa mana pun.
Tindak lanjut tidak pernah sepihak, memprakarsa keadilan didasari cara Maha Esa menuntasi problematika.
Dedikasi penuh, enggan memproyeksi kekeliruan serta rupa Kuasa wewenang untuk bisa disewenang-wenangkan seenak jidat.
Lestari memegang, teguh menetapkan tekad dalam hati.
Meski selalu terpikir untuk mengacau, moto utama tidak pernah hangus, menghargai macam kehidupan dan gak akan pernah ikut campur sampai Pertentangan Harmoni membunyikan tabuh perang.
Tidak diketahui motif, ataupun tekad sebenar umat manusia.
Sebagian berkata diliputi rasa sombong, kikir cipta yang membuat penyerangan bener-bener mengingkari sifat kemanusiaan. Di sisi lain kinerja Maha Kuasa sebelum penggulingan dipandang buruk, merajut serakah rupa Para Dewa-dewi untuk bertindak tanpa terpikir suatu dampak.
Dalam keadaan saling sikut, sementara umat manusia dengan besar obsesi berhasil mengumpulkan panji besar di antara jenjang Kemahaesaan Semi, tiap penjuru garis waktu bergemuruh, memproposali sepasang mata selaku saksi bisu atas pembalikan tahta wewenang yang didasari kemenangan manusia semata.
Dilandasi kekuatan penuh nih setiap Dewa memutuskan untuk cabut, memilih untuk mundur dan berlarian ke segala lintas waktu yang ada tepat setelah putar balik otoritas dihidupkan.
Dewa bertukar tempat seperti binatang, sementara manusia konyol berhasil tembus, menerobos ranah Kuasa dan mengubah tahta wewenang untuk merampas apa yang pernah dimiliki masing-masing Dewa.
Guling kuasa tentu aja dipandang kemustahilan terbesar, namun itu tetap gak menghalau, berupaya menghentikan bersih kabinet dalam rangka mencapai Kemanusiaan Esa.
Juta, ribu atau mungkin totalitas triliun. Dikarenakan mandat Kekuasaan berpindah tangan melebihi ungkap kata, perpindahan menjadi metode, cara terbaik untuk menyelamatkan diri dengan jalan membagi beberapa lintas sebagai wilayah tampung sementara waktu.
Pada lintasan inilah Dewa mengembangkan budaya, berupaya keras menempati wilayah terbaik agar bisa mengevolusikan diri.
Enggan peduli apakah mereka pernah menjadi lambang, sebuah simbol apalagi cita-cita, semua tabur dongeng mesti berakhir, senantiasa hidup dalam keadaan asing seiring luntang-lantung enggan membatasi tindak lanjut pembersihan.
Otoritas telah dicabut, paksa diambil tiada banter kompensasi yang bisa dinikmati pihak sebelah. Jauh menggelegar, sedikitnya ketidakadaan ujung berduka, menangisi kepergian Angkasa Utama selaku Dewa utama yang melambangi agung lagi kebesaran Esa itu sendiri.
Secercah darah memproposali robek ruang, sehingga tumpah darah Angkasa berdentum, menyemarakkan ledak supernova berlipat-lipat yang secara tidak sengaja menciptakan langit bintang selaku tempat pelarian Dewa-dewi.
Daun terbakar menjadi debu. Menyeluruh umat tak tahu diuntung kini telah berganti, memposisikan diri sebagai Maha Kuasa Pengganti sementara cemerlang simbol-simbol Esa mengalami berskala pemadaman.
Satu demi satu Dewa dengan ketidakkuasaan melanjuti hidup hanya bisa pergi, meninggalkan alam fana dan naik menuju kebangkitan kemudian hari.
Sukar diterima, namun keras kerikil terwaris dalam diri setiap Maha Kuasa tersingkir.
Walau berat hati menerima, kutuk memerintah tidak akan pernah bosan, mendapati redup lampu selagi tatap Surgawi mendengarkan isi tiap para Esa Terbuang.
Apa yang telah diterima suatu saat bakal kembali, dan sesuatu yang bersifat korosi bakal ditindas sampai tuntas.
Setidaknya kurang, tapi angan-angan terkait masih dibingkai, menanam erat di setiap kepala walau tahu pembersihan Buangan Esa diidentifikasi sebagai keutamaan misi.
Kian berkurang, jatuh melemahnya Buangan Esa dirasa semakin kritis, perlahan memudar hingga terkam kelam menenggelami semuanya.
"Makin parah, peluang hidup gak lebih dari pembakaran dupa."
Berfokus pada salah satu ruang, dimana setiap pilar tiang melukis hitam noda fluktuasi Sesama, keluar perban lalu menaru, menempa balut perekat di sekitar lutut, kaki dan juga kepala, berusaha diam sekalipun cucur keringat membasahi pipi.
Mengenakan pakaian khas di kala megah istana menduplikat ketenaran, seorang remaja wanita berusia kurang lebih delapan belas tahun walau secara rentang usia jauh berumur lanjut terpampang duduk, menempati posisi kedua lutut ditekuk pada satu garis lurus ke depan seiring tempel balut menggambar ketekunan.
Terkapar para pejuang tentu kagak bisa dibiarkan.
Maka daripada itu ulur bantuan medis diprioritasi ada, mewujudkan harapan yang hampir hilang dalam rangka menyelamatkan sesama umat.
Mereka, dalam tanda kutip tergeletaknya orang-orang di lantai adalah Para Pejuang, salah sekian daripada golongan besar para Dewa yang terpaksa menyingkir sebagai akibat kekalahan Mahakuasa periode silam.
Dampak perang Pertentangan Harmoni tidak pernah berhenti sampai di situ.
Ditambah satu faktor dengan faktor lainnya, serakah bejad umat tak tahu malu menjadi alasan, laris manis nan banjir selaku sebab-akibat lengah jaga dijadikan sasar target.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
Nanik S
Hadir
2025-05-20
0