NovelToon NovelToon

Roda Kultivasi

Kemuliaan Tidaklah Tampak Sedemikian Rupa

...Bab 1...

Perjalanan tidak akan selalu lurus.

Sering kali putar-putar labirin menerpa, menyertai tiap belokan dengan lebih banyak rasa bingung dan putus asa.

Begitu pula dengan takdir.

Tidak peduli seberapa jauh kamu melangkah, rentetan akan menyeret, mengikat erat kehadiran untuk terjun dalam rangka menguji kesabaran suatu individu.

Sudah berulang kali semua dilalui, melintas dan terlewat begitu saja. Enggan peduli seberapa banyak senyum diikrar, emban pundak takkan pernah berhenti, seketika hilang sebagaimana tanggung jawab tiap pihak di seluruh penjuru.

Seakan menjadi tombak perang, hampa sensasi terus menyerang, menggerogoti berulang membaranya tekad tahap demi tahap.

Gagal demi gagal terus menunggu, menghantui alam bawah pikir dengan hasil akhir terjebaknya ketidak ujung siklus hidup yang mampu menjerat siapapun menuju bawah lubang.

Tengah keluhan tak terhingga, jalar pertumbuhan mohon dan harap selalu benar, timbul sedemikian rupa tiada peduli berapa kali diberantas.

Melalui segala rintangan di hadapan, buang keringat adalah sepersekian, pengorbanan terkecil yang memprakarsai hilang nyawa untuk bisa menggapai cita-cita dalam hidup.

Beberapa kali ombak berdebur, bintang langit terpancar, dan lonjak suhu bumi diidentifikasi perihal alasan rajut alur dibungkus seperti nih?

Apa makna kemelaratan, lukis bentuk kebinasaan nan terbendung sebagaimana deklarasi?

Di suatu benua, atau biasa disebut sebagai Benua Jingshui. Sebuah kebesaran tempat tinggal Dewa diikuti segala bentuk kemegahan dan juga arsitektur yang ditempati terdapat jajar genjang wilayah, reka bangun ruang yang berfokus melewati Provinsi Qindush dan menetapi bagian pinggir perbatasan.

Titik berat menjurus pada perkumpulan desa, dirasa. Padu utuh kehendak mencipta, secara tidak sengaja melahirkan suatu kota tidak bukan disebut sebagai Tempa Mihanyeng.

Lebih jauh, mencoba menseksamai suatu sudut reruntuhan persis di pinggiran, tergeletaknya banyak makhluk seakan normal, kewajaran maklum bagi ketidaknormalan bentuk makhluk untuk rehat, tidur telentang tanpa sanggup bertindak apa-apa.

Mereka tidak bukan adalah Para Dewa, atau sangat disarankan dipanggil sebagai Pejuang Pembebas. Berdasar ciri tubuh yang dipandang ketidakjelasan untuk ditangkap sekali pandang, kumpulan Dewa kecil ini hanya bisa tertidur, meratapi nasib malang di kala copot organ mengikutsertai luap fluktuasi tiada sedap dihendus.

Sudah dapat dikatakan kerugian besar dialami oleh kelompok terkait.

Banyak rupa gores, lubang hingga berujung pada pembolongan adalah sepersekian, rupa cidera parah daripada keberlanjutan dampak Pertentangan Harmoni jutaan silam.

Pertempuran dengan meninggalkan luka sekaligus aib terbesar, dampak penggulingan tahta wewenang Dewa ialah bentuk, konkret jungkir balik otoritas yang sempat berseteru dengan pembangkang umat manusia.

Masa kejayaan bener-bener cemerlang, memvisualisasikan kemegahan di mana-mana teruntuk Para Dewa mana pun.

Tindak lanjut tidak pernah sepihak, memprakarsa keadilan didasari cara Maha Esa menuntasi problematika.

Dedikasi penuh, enggan memproyeksi kekeliruan serta rupa Kuasa wewenang untuk bisa disewenang-wenangkan seenak jidat.

Lestari memegang, teguh menetapkan tekad dalam hati.

Meski selalu terpikir untuk mengacau, moto utama tidak pernah hangus, menghargai macam kehidupan dan gak akan pernah ikut campur sampai Pertentangan Harmoni membunyikan tabuh perang.

Tidak diketahui motif, ataupun tekad sebenar umat manusia.

Sebagian berkata diliputi rasa sombong, kikir cipta yang membuat penyerangan bener-bener mengingkari sifat kemanusiaan. Di sisi lain kinerja Maha Kuasa sebelum penggulingan dipandang buruk, merajut serakah rupa Para Dewa-dewi untuk bertindak tanpa terpikir suatu dampak.

Dalam keadaan saling sikut, sementara umat manusia dengan besar obsesi berhasil mengumpulkan panji besar di antara jenjang Kemahaesaan Semi, tiap penjuru garis waktu bergemuruh, memproposali sepasang mata selaku saksi bisu atas pembalikan tahta wewenang yang didasari kemenangan manusia semata.

Dilandasi kekuatan penuh nih setiap Dewa memutuskan untuk cabut, memilih untuk mundur dan berlarian ke segala lintas waktu yang ada tepat setelah putar balik otoritas dihidupkan.

Dewa bertukar tempat seperti binatang, sementara manusia konyol berhasil tembus, menerobos ranah Kuasa dan mengubah tahta wewenang untuk merampas apa yang pernah dimiliki masing-masing Dewa.

Guling kuasa tentu aja dipandang kemustahilan terbesar, namun itu tetap gak menghalau, berupaya menghentikan bersih kabinet dalam rangka mencapai Kemanusiaan Esa.

Juta, ribu atau mungkin totalitas triliun. Dikarenakan mandat Kekuasaan berpindah tangan melebihi ungkap kata, perpindahan menjadi metode, cara terbaik untuk menyelamatkan diri dengan jalan membagi beberapa lintas sebagai wilayah tampung sementara waktu.

Pada lintasan inilah Dewa mengembangkan budaya, berupaya keras menempati wilayah terbaik agar bisa mengevolusikan diri.

Enggan peduli apakah mereka pernah menjadi lambang, sebuah simbol apalagi cita-cita, semua tabur dongeng mesti berakhir, senantiasa hidup dalam keadaan asing seiring luntang-lantung enggan membatasi tindak lanjut pembersihan.

Otoritas telah dicabut, paksa diambil tiada banter kompensasi yang bisa dinikmati pihak sebelah. Jauh menggelegar, sedikitnya ketidakadaan ujung berduka, menangisi kepergian Angkasa Utama selaku Dewa utama yang melambangi agung lagi kebesaran Esa itu sendiri.

Secercah darah memproposali robek ruang, sehingga tumpah darah Angkasa berdentum, menyemarakkan ledak supernova berlipat-lipat yang secara tidak sengaja menciptakan langit bintang selaku tempat pelarian Dewa-dewi.

Daun terbakar menjadi debu. Menyeluruh umat tak tahu diuntung kini telah berganti, memposisikan diri sebagai Maha Kuasa Pengganti sementara cemerlang simbol-simbol Esa mengalami berskala pemadaman.

Satu demi satu Dewa dengan ketidakkuasaan melanjuti hidup hanya bisa pergi, meninggalkan alam fana dan naik menuju kebangkitan kemudian hari.

Sukar diterima, namun keras kerikil terwaris dalam diri setiap Maha Kuasa tersingkir.

Walau berat hati menerima, kutuk memerintah tidak akan pernah bosan, mendapati redup lampu selagi tatap Surgawi mendengarkan isi tiap para Esa Terbuang.

Apa yang telah diterima suatu saat bakal kembali, dan sesuatu yang bersifat korosi bakal ditindas sampai tuntas.

Setidaknya kurang, tapi angan-angan terkait masih dibingkai, menanam erat di setiap kepala walau tahu pembersihan Buangan Esa diidentifikasi sebagai keutamaan misi.

Kian berkurang, jatuh melemahnya Buangan Esa dirasa semakin kritis, perlahan memudar hingga terkam kelam menenggelami semuanya.

"Makin parah, peluang hidup gak lebih dari pembakaran dupa."

Berfokus pada salah satu ruang, dimana setiap pilar tiang melukis hitam noda fluktuasi Sesama, keluar perban lalu menaru, menempa balut perekat di sekitar lutut, kaki dan juga kepala, berusaha diam sekalipun cucur keringat membasahi pipi.

Mengenakan pakaian khas di kala megah istana menduplikat ketenaran, seorang remaja wanita berusia kurang lebih delapan belas tahun walau secara rentang usia jauh berumur lanjut terpampang duduk, menempati posisi kedua lutut ditekuk pada satu garis lurus ke depan seiring tempel balut menggambar ketekunan.

Terkapar para pejuang tentu kagak bisa dibiarkan.

Maka daripada itu ulur bantuan medis diprioritasi ada, mewujudkan harapan yang hampir hilang dalam rangka menyelamatkan sesama umat.

Mereka, dalam tanda kutip tergeletaknya orang-orang di lantai adalah Para Pejuang, salah sekian daripada golongan besar para Dewa yang terpaksa menyingkir sebagai akibat kekalahan Mahakuasa periode silam.

Dampak perang Pertentangan Harmoni tidak pernah berhenti sampai di situ.

Ditambah satu faktor dengan faktor lainnya, serakah bejad umat tak tahu malu menjadi alasan, laris manis nan banjir selaku sebab-akibat lengah jaga dijadikan sasar target.

Bersambung....

Tradisional Keliling, Ling Xu

...Bab 2...

Sembilan puluh sembilan persentase, hanya tinggal beberapa minggu lagi penyerangan kedua akan dimulai. Mungkin sudah tiba pesta bersih-bersih dimulai, mengemukakan semarak nyanyi-nyanyi tenang usai Mahakuasa Terbuang menyatu sebagai pupuk.

Mengingat soal ini, ditambah penuntasan perang digapai atas kemenangan pihak lawan, pembabatan tak tersisa menjadi sebab, alasan sebenar kejatuhan Pejuang untuk mengungsi ke posko, menanti kehadiran raga dalam rangka mengurangi cidera luka di sekujur badan.

Sekitar selusin teridentifikasi sudah tidak sanggup melukis mentari, namun bukan berarti sumbu perang bakal hilang, memberhentikan proyeksi tanpa ada kompensasi nan sepadan.

Dia merupakan seorang wanita, tidak lain dan bukan adalah Ling Xu, seorang herbal tradisional yang berasal sedari asosiasi Dewa Buangan.

Ayahanda pergi secara tragis, sementara nyawa ibunda melayang akibat dinodai bejad manusia ramai-ramai.

Setidaknya prakarsa kemarahan sanggup diringkas, namun tetep mengutamakan kebencian barang herbal nan berlipat selaku ikrar, deklarasi jijik yang berbuah perolehan keliling tenaga medis.

Jasa Ling Xu pada peralihan terkini tentu tidak dapat dipandang kebetulan.

Menggunakan adidaya wewenang Pimpinan kota, tanpa pikir panjang narasumber berlari, cepat-cepat menaruh macam ramuan manjur demi terbebas, meringankan beban sekaligus penopang para Pejuang bilamana pertahanan benteng diserbu.

Sudah cukup lama, baginya.

Takut memandang, kekhawatiran berlebih waktu menseksamai kehilangan banyak darah sempat merajut, menghantui akal sehat Ling Xu untuk beberapa bulan lamanya.

Jelas dampak samping Pertentangan Harmoni teramat dashyat, memberitakan juta hingga triliun ke atas baik pada korban ataupun luka-luka antar Pejuang atau manusia biadab.

Setiap saat, belajar dan terus meneliti berhasil Ling Xu pertahankan.

Terbiasanya memandang kesedihan, larut tangis pilu membuat mentalitas kokoh, sudah kagak panik bahkan terpampang tenang santai mengesampingkan jerit nyelekit pembawa ajal.

Menangisi kagak ada arti dimaknai.

"Tinggalkan, semua keabadian."

"Dimulai kembali? Menyusahkan kalian, biadab Manusia!!"

"Cita rupa nan seragam."

"Mengapa semua kulit otot hanyalah brengsek, biadab lagi baj*ngan semata?!"

"Keduniawian perlu patuh."

"Demi apa pun kau berhutang seribu kali, sampai penghujung pun kunanti!!"

"Karenanya materi bernilai dan juga tidak diapresiasi patuh!!”

Asik mengganti, balut perban mengedepankan peringanan luka Pejuang ke-29, rapal mantra tiada disangka terngiang, tangkap siar nan memupuk keiktusertaaan jengkel lagi muak sesaat sunyi hening mendentumkan letup dahsyat.

Resah sikap buru-buru bersikap.

Meski tahu tugas ini merupakan amanat, menyelamatkan diri tergolong hal terpenting, imbas dampak ketidakkonsistenan tabur penyembuh yang terpaksa batal seiring tekad cabut dideklarasi.

Kepanikan, rasa takut disertai bumbung cemas terus menerpa, mengindikasi remaja di bawah kata dewasa tersebut berpaling, sejenak celingak-celinguk sebelum pelangkahan laju mengungkap realisasi.

Dentum besar bukan diidentifikasi sebagai kewajaran awam.

Peristiwa terkait sudah pernah terlewat, memaknai kerasnya medan pertempuran dimana ikrar mantra senantiasa beriringan maha agung letupan.

Memahami resiko menyertakan jamin selamat harus tetap eksis, pegang ujung gaun segera berlangsung, tiada ganggu menyaluri separuh tenaga sebagaimana kebutuhan, lestari bertindak dan tetap memegang teguh sampai ledak bom membuyarkan harap imajinasi.

Baru setengah jalan, bahkan kurang dari persentase separuh tertanam pada kini keadaan.

"Waaaaaa."

Mengingat kebesaran yang begitu mustahil untuk ditahan, hasil pengaktifan menggelegar suara langsung menghantam, ekstrim perubahan berkapasitas tinggi tetiba menghantam tepat tubuh Ling Xu, mesti berguling diselingi banjir muntah darah selaku undangan telan lubang menenggelami utuh tubuh.

Terpaksa masuk tiada diminta, rasanya.

Ditambah ketidakpahaman kira-kira pasti, sementara waktu evakuasi menetap, menaruh ramping lekuk tubuh hanya bisa terkapar sejalan deras merah segar memancarkan rasa ngilu bagi organ terpendam.

Ling Xu tahu, begitu memahami sebab-akibat dari semua ini.

Mengetahui intensitas pancur senantiasa memancar, pengulangan keras kutuk selalu tertanam, menyemati bejad-bejad sekalian sebagai keidiotan Mahaesa atas seluruh tingkah laku selaras ulang dentum memperparah keadaan.

Jangankan berdiri, gerak satu inci bermaksud elus batu dianggap nihil, mustahil dipraktekkan tanpa ada alat bantu.

Tetapi bukan berarti ikrar lubuk bakal menyerah, paksa sikap mampu terajut, menjalin lengan untuk menukar profesi agar perpindahan badan mampu direalisasi secara cermat.

Bengkak tak tertolong, jelas pergelangan kaki perlu diselipi obat. Apa pun yang bersifat ramuan dalam rangka meniadakan tuntas mati rasa pada kaki.

"Lapar ….”

Diikuti lemas tebar menerpa, tidak adanya daya lebih untuk menyaluri tenaga tak menghalang, merobek tekad terpendam raga untuk menyantap, berusaha merangkak lagi memaksa kedua tangan sebagai titik tumpu perpindahan.

Fana sikap kagak bisa dielak.

Sekalipun Para Dewa pernah menggapai Keabadian Norma, perilaku terkait adalah citra, khas perbuatan yang takkan sanggup dipupus oleh siapapun.

Menyeret dan tetap menggesekkan tanah berulang-ulang.

Paksa tindak perlu dicantumi, mengindikasi mengenaskan nasib Dewa malang sepertinya sebagai pengingat tahta agung tiada bersifat mutlak.

Semua ada pergerakan, dan setiap reka hidup selalu tertera sebagaimana teratur putar roda.

Kurang bergizi tiap anatomi dipandang kewajaran.

Memang benar beliau adalah mujarab obat, dan udah lumayan banyak Pejuang Esa yang bersemangat atas dasar terapi obat.

Tetapi menyerahkan obat dengan mendalaminya terbilang lain, dan juga harus ditegasi bilamana luka rajut bener-bener melampaui batas.

Setidaknya fatal bentuk sama sekali nihil, belum pernah mendekati tebar robek sejauh bayar rekrut dinegosiasi. Tafsir lebih pendek, ulur tangan atau kematian disakralkan begitu aja.

Jerit kasar, dikemukakanya amurka bener-bener menghantui seisi lambung.

Dikarenakan toreh lapar mendekati kata rakus dan tamak, kental sup hitam harus terbingkai, mendeklarasi eksistensi tak terbantah bagi kedangkalan perut.

Rasa memang agak aneh, sedikit menggelembung waktu dipanasi hanya sekian, prioritas absurditas tak terbantah yang dapat membuat manusia muntah-muntah.

Ini sangat layak dijatuhi atas dakwaan menjijikkan. Namun didakwa negatif kritik bejad manusia hanyalah ocehan, sama sekali gak sanggup menghajar tekad jilatan lidah.

Rendah fluktuasi tentu saja menggiurkan, apalagi kesan nyaman tak peduli seberapa banyak santap sendok masuk.

Disertai kandungan sedikit tumbuk obat, sehat organ dapat terjamin, menjungkirbalikkan tragis sikap berdasar satu dua teguk menyeruput.

Dia sangat suka, benar-benar bahagia pada ketidakjelasan hidang menu tersebut.

“Penjahat? Atau mata keranjang tak beradab?”

“Terlalu lama menyebur tidak bisa disinyalir marabahaya menghampiri.”

Paten nafas, lestari tarik ulur respon menepati persentase tinggi, berulang penyeretan kasar tetiba membatu, beku reaksi merupakan utama reaksi begitu aneh dengung terngiang, endus siar yang diikuti familiar tebar memahat fluktuasi suatu individu.

Kagak salah dan kurang lagi.

Sekalipun buta bohlam dipaksa masuk, hangat sensasi dapat ditangkap, mendeskripsi tanda Sesama di bagian gelap sana.

Ini memang akurat Mereka? Tapi entah mengapa ulang tangkap kian meredup, menandakan penyinaran makin lama menggarisbesari pemupusan dalam kurun waktu ke depan.

Sangat disarankan tindakan Ling Xu dipuji, gak langsung masuk karena godaan atau memilih satu dua buah tindakan.

Cukup jelas, terdapat kecurigaan dibarengi bayang malapetaka. Dan hanya butuh lengah persepsi raga terikat, tiada disangka-sangka terjebak pada suatu erat ikat cipta bejad manusia.

Bersambung....

Diikat atau Menjerat, Pilih Mana Satu?

...Chapter 3...

Perlukah tindak lanjut diterima?

Mengingat kelam dangkal gua seolah menyedot, melahap apa pun beresensial ragam lentera, alam bawah sadar terus bertingkah, lestari memerankan kunci rasa gugup pada benak seorang gadis nan rupawan.

Memang baru pertama kalinya Ling Xu turun ke bawah.

Dapat diakuratkan berlandas absah data.

Tetapi tetap berulang kali prinsip menyatakan, memberitahu adanya manfaat sekaligus marabahaya di dalam sana.

Sampai bisa dipastikan itu apa, arah pandang bakal ditempa, sengaja menitikberati hitam cakrawala sekitaran gua.

Masih terheran dibuatnya, Ling Xu rasa.

Andaikata memang benar jalan masuk lebih dari kata satu, perjalanan datang mengapa tiada berjumpa, mencetuskan mini-besar lubang yang bisa dimasuki segala pihak.

Ataukah ini sebuah tempat persembunyian Buangan Legenda?

Konon pasca Pertentangan Harmoni, puluhan Mahakuasa dengan segala wibawa memilih pergi, menyingkir tanpa dapat diperlihatkan kembali batang hidung sampai sekarang.

Berkhayal sedikit kagak dapat ditimpakan kekeliruan.

Mengingat pasal nih Ling Xu hanya mampu membatu, menarik ulur nafas di bawah rata-rata kelajuan seiring lubang keluar berada seratus meter ke atas.

Sudah tiba untuk memerangi!

Seraya mengambil, mengencangkan gagang pisau tidak lain kepemilikan seorang pejuang waktu balut herbal silam, perlahan tapi pasti Ling Xu berjalan, memaksa langkah demi langkah dengan cara menggesekkan dada menuju sunyi gua.

Kebetulan tas penyimpanan salah seorang pejuang berisi lentera malam.

Walau gak begitu berguna untuk bertempur, hidup esok hari adalah upaya, ikrar Buangan untuk bisa selangkah bernostalgia hingga dibangkitkan ke dunia kembali.

Lentera dan pisau telah rampung menyatu.

Cepat atau lambat keingintahuan bakal puas, melahap apa yang sebenernya tersembunyi di kegelapan sana!

Pilu menyedihkan, tetapi tak mengurangi tekad untuk menambal penasaran lubuk.

Meski terhitung beberapa kali kerikil menggores keindahan rajut pakaian yang dipakai, Ling Xu tetap melaju, memutuskan seret demi seretan langkah sebagaimana ketentuan.

Cukup lancar, bahkan nihil diganggu kebiadaban makhluk ilahi.

Karena pasal tersebut sensasi ketidaknyaman masih ada pada tahap untuk ditanggulangi.

“Memancar?” 

Selang pembakaran stamina melejit, mengupayakan gerak badan untuk berpindah disertai keikutsertaan dampak buruk, pancar sinar nan menusuk terpaku, merealisasi bentuk memancar yang dapat diidentifikasi tanpa alat bantu.

Misteri gua ternyata memiliki tebar pesona semacam nih?

Bukan lagi bingung, malah rasa heran tak kunjung hilang, lestari menerpa waktu memikirkan tata cara lentera mampu dirajut di tempat.

Dugaan pertama, ini adalah peninggalan Buangan terdahulu.

Yang mana sangat jarang ditemui bukan berarti kagak pernah mempertemukan mukjizat di hadapan.

Dan untuk tebakan kedua ....

... Tidak, ini lebih mengarah pada akurat bukti, yang mana ditemukannya niat jahat manusia bermata keranjang di sekitaran.

Kagak ada yang dinamakan kebetulan.

Dunia dimulai sedari kehancuran, sementara lebur lantak berasal pada akhir garis kehidupan.

Semua aspek itu terkait, tidak ada dan ada diharap gandeng erat di kala perseteruan prinsip menerjang.

Semua Mahaesa tahu, memaknai harfiah keberuntungan tak lebih sekedar lelucon tiada menggelitik.

Maka daripada tuh geram tinggi bereaksi, menyaluri sepersekian tenaga dan karenannya gagang pisau tercengkeram sebegitu keras.

Lebih dari konyol memandang Ling Xu sekedar benci semata.

Fluktuasi emosi begitu keras, sangking keras bahkan tidak dapat disandingi awal mula ditempanya alam penyucian.

Kalau bukan karena mereka, andaikata mereka bisa hidup tenang, semua kaum termasuk normal kehidupan takkan koyak, seketika dijungkirbalikkan tanpa berkuasa mengadu.

Melampaui amurka, dalam hitungan detik dapat meledak tanpa harus diminta.

Masih menjaga tenang rupa, sehat isi pikiran sesekali terkecoh, tiada henti menyaringkan suara bunuh lagi bakar nan bersemarak cemerlang dalam kepala.

Hiduplah untuk hari esok!

“Manusia?”

Memutuskan untuk sigap, tidak berupaya melangsungkan agenda terlalu lama, baik-buruk ke depan seketika dihajar, meniadakan sementara waktu prasangka buruk di dalam kepala, lestari maju dan tetap memproposali tindak lanjut sebagaimana kemauan.

Was-was sedikit mungkin iya.

Tetapi kagak dibenarkan arah gerak melamban, selalu melangkah dan terus menggesekkan badan.

Bersamaan tiba target pada luar lubang, rupa seorang manusia dapat terikrar, memvalidasi pertemuan antara Buangan Tercerahkan dengan Mahaesa nomor dua.

Memanglah manusia, kagaklah kurang ataupun keliru menebak.

Sembari bersender, merebahkan badan untuk bertengger di pojokan bebatuan, putih jubah menyatu, merealisasi ketajaman pedang tiada noda untuk memulangkan jiwa menuju penantian alam.

Sulam asing di bagian kepala dianggap cukup, mampu memantapkan agung martabat ciri rupa Kemanusiaan selaku dasar pembuktian.

Diselipi kompleks anatomi kuning jamur tak biasa pada bagian telinga kanan maupun kiri.

Namun itu bukan berarti orang di depan tidak aman, mengedepankan intuisi berbahaya tanpa mampu diputarbalik.

Sedikit terkesima atas tumpahan barang-barang cantik yang tersusun melimpah di dalam karung.

Tapi itu bukan berarti antisipasi mengendur, diperhatikannya lemah tubuh berbarengan beku gerak seakan hidup hanya terhitung satuan jari ke depan.

Jangan gegabah, sabar dan tidak perlu terpancing.

Daripada ragu, Ling Xu memaknai kata heran, kagak bisa mencerna sebab-akibat seorang manusia bisa tinggal di sini.

Demi mencegah, menginstruksi kata aman adalah paten, lekat besi terus ditaruh, memperlihatkan dingin kilatan tak peduli kuat tidakkah beliau.

Sementara waktu lentera ditaruh di samping.

“Nak.”

“Mati sana!!”

“Tidakkah ... responmu sangat-sangat kaku?”

“Selepas mendapati ras sedarah terbantai? Mungkin nada bicara Anda perlu diperbaiki.”

“Uhuk.”

Selang beberapa periode terpejam, dibukanya kedua kelopak disinyalir, mengindikasi sibak tirai yang selama ini tertutup seiring bentuk bibir melengkung.

Proyeksi senyum tipis kagak dapat dielakkan sudut pandang.

Dan di sinilah beliau bercakap, memanggil Ling Xu seakan memintanya untuk mendekat.

Jelas ketajaman pisau makin kokoh.

Masih dalam keadaan menekan, geram tak tertolong sedari benak membuat Ling Xu berontak, berusaha menempa lagi menutup mulut baj*ngan satu itu.

Bukan lagi sekedar ketidakpercayaan, dentum amurka diselingi benih-benih benci beberapa kali menggelora.

Terpikir satu dua terang gores pada tubuh beliau, tentunya.

Sekalipun usaha hanya membuahi kepahitan, cepat tanggap menjadi cikal, teguh keberanian yang diharuskan meledak dan terungkap.

Jangan kira medis keliling takkan berani mengintonasikan ketegasan, pria biadab!

Mengingat tebal berlapis, tangguhnya ketebalan tekad pada seorang wanita, kemustahilan menembus ditanggapi akan dahak, pengeluaran batuk-batuk tiada kurang dari angka sembilan tersaji tepat didasari atas bawah rongga mulut.

Ingat aturan tak tertulis di dunia ini.

Kesatu, kekuatan adalah raja, sementara kebijaksanaan sekedar penyempurna mahkota.

Kedua, curigai lawan yang bertingkah lebih baik dari sebelumnya.

Entah memang diperbuat berlandas kesengajaan faktor atau macam apa, kenormalan unsur seolah nihil, tiada memproyeksikan sejati rupa bejad umat apalagi Buangan Dewa yang membuat isi kepala dibolak-balik.

Kagak boleh memandang remeh, semua tata agenda disertai sebab-akibat nan menyertai.

Karena hal tersebut tolak ke belakang bergegas melaju, meletakkan kini badan sedikit menjauh demi mengantisipasi dadak sergap dari area belakang.

Hati manusia siapa yang tahu? Bahkan pasca jungkir balik gemilang diproses, serakah tamak terbilang utama, melapisi cokelat tanah selaku kebiadaban bejad umat agar memperoleh keterbaikan sedikit lebih besar.

Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!