...Chapter 3...
Perlukah tindak lanjut diterima?
Mengingat kelam dangkal gua seolah menyedot, melahap apa pun beresensial ragam lentera, alam bawah sadar terus bertingkah, lestari memerankan kunci rasa gugup pada benak seorang gadis nan rupawan.
Memang baru pertama kalinya Ling Xu turun ke bawah.
Dapat diakuratkan berlandas absah data.
Tetapi tetap berulang kali prinsip menyatakan, memberitahu adanya manfaat sekaligus marabahaya di dalam sana.
Sampai bisa dipastikan itu apa, arah pandang bakal ditempa, sengaja menitikberati hitam cakrawala sekitaran gua.
Masih terheran dibuatnya, Ling Xu rasa.
Andaikata memang benar jalan masuk lebih dari kata satu, perjalanan datang mengapa tiada berjumpa, mencetuskan mini-besar lubang yang bisa dimasuki segala pihak.
Ataukah ini sebuah tempat persembunyian Buangan Legenda?
Konon pasca Pertentangan Harmoni, puluhan Mahakuasa dengan segala wibawa memilih pergi, menyingkir tanpa dapat diperlihatkan kembali batang hidung sampai sekarang.
Berkhayal sedikit kagak dapat ditimpakan kekeliruan.
Mengingat pasal nih Ling Xu hanya mampu membatu, menarik ulur nafas di bawah rata-rata kelajuan seiring lubang keluar berada seratus meter ke atas.
Sudah tiba untuk memerangi!
Seraya mengambil, mengencangkan gagang pisau tidak lain kepemilikan seorang pejuang waktu balut herbal silam, perlahan tapi pasti Ling Xu berjalan, memaksa langkah demi langkah dengan cara menggesekkan dada menuju sunyi gua.
Kebetulan tas penyimpanan salah seorang pejuang berisi lentera malam.
Walau gak begitu berguna untuk bertempur, hidup esok hari adalah upaya, ikrar Buangan untuk bisa selangkah bernostalgia hingga dibangkitkan ke dunia kembali.
Lentera dan pisau telah rampung menyatu.
Cepat atau lambat keingintahuan bakal puas, melahap apa yang sebenernya tersembunyi di kegelapan sana!
Pilu menyedihkan, tetapi tak mengurangi tekad untuk menambal penasaran lubuk.
Meski terhitung beberapa kali kerikil menggores keindahan rajut pakaian yang dipakai, Ling Xu tetap melaju, memutuskan seret demi seretan langkah sebagaimana ketentuan.
Cukup lancar, bahkan nihil diganggu kebiadaban makhluk ilahi.
Karena pasal tersebut sensasi ketidaknyaman masih ada pada tahap untuk ditanggulangi.
“Memancar?”
Selang pembakaran stamina melejit, mengupayakan gerak badan untuk berpindah disertai keikutsertaan dampak buruk, pancar sinar nan menusuk terpaku, merealisasi bentuk memancar yang dapat diidentifikasi tanpa alat bantu.
Misteri gua ternyata memiliki tebar pesona semacam nih?
Bukan lagi bingung, malah rasa heran tak kunjung hilang, lestari menerpa waktu memikirkan tata cara lentera mampu dirajut di tempat.
Dugaan pertama, ini adalah peninggalan Buangan terdahulu.
Yang mana sangat jarang ditemui bukan berarti kagak pernah mempertemukan mukjizat di hadapan.
Dan untuk tebakan kedua ....
... Tidak, ini lebih mengarah pada akurat bukti, yang mana ditemukannya niat jahat manusia bermata keranjang di sekitaran.
Kagak ada yang dinamakan kebetulan.
Dunia dimulai sedari kehancuran, sementara lebur lantak berasal pada akhir garis kehidupan.
Semua aspek itu terkait, tidak ada dan ada diharap gandeng erat di kala perseteruan prinsip menerjang.
Semua Mahaesa tahu, memaknai harfiah keberuntungan tak lebih sekedar lelucon tiada menggelitik.
Maka daripada tuh geram tinggi bereaksi, menyaluri sepersekian tenaga dan karenannya gagang pisau tercengkeram sebegitu keras.
Lebih dari konyol memandang Ling Xu sekedar benci semata.
Fluktuasi emosi begitu keras, sangking keras bahkan tidak dapat disandingi awal mula ditempanya alam penyucian.
Kalau bukan karena mereka, andaikata mereka bisa hidup tenang, semua kaum termasuk normal kehidupan takkan koyak, seketika dijungkirbalikkan tanpa berkuasa mengadu.
Melampaui amurka, dalam hitungan detik dapat meledak tanpa harus diminta.
Masih menjaga tenang rupa, sehat isi pikiran sesekali terkecoh, tiada henti menyaringkan suara bunuh lagi bakar nan bersemarak cemerlang dalam kepala.
Hiduplah untuk hari esok!
“Manusia?”
Memutuskan untuk sigap, tidak berupaya melangsungkan agenda terlalu lama, baik-buruk ke depan seketika dihajar, meniadakan sementara waktu prasangka buruk di dalam kepala, lestari maju dan tetap memproposali tindak lanjut sebagaimana kemauan.
Was-was sedikit mungkin iya.
Tetapi kagak dibenarkan arah gerak melamban, selalu melangkah dan terus menggesekkan badan.
Bersamaan tiba target pada luar lubang, rupa seorang manusia dapat terikrar, memvalidasi pertemuan antara Buangan Tercerahkan dengan Mahaesa nomor dua.
Memanglah manusia, kagaklah kurang ataupun keliru menebak.
Sembari bersender, merebahkan badan untuk bertengger di pojokan bebatuan, putih jubah menyatu, merealisasi ketajaman pedang tiada noda untuk memulangkan jiwa menuju penantian alam.
Sulam asing di bagian kepala dianggap cukup, mampu memantapkan agung martabat ciri rupa Kemanusiaan selaku dasar pembuktian.
Diselipi kompleks anatomi kuning jamur tak biasa pada bagian telinga kanan maupun kiri.
Namun itu bukan berarti orang di depan tidak aman, mengedepankan intuisi berbahaya tanpa mampu diputarbalik.
Sedikit terkesima atas tumpahan barang-barang cantik yang tersusun melimpah di dalam karung.
Tapi itu bukan berarti antisipasi mengendur, diperhatikannya lemah tubuh berbarengan beku gerak seakan hidup hanya terhitung satuan jari ke depan.
Jangan gegabah, sabar dan tidak perlu terpancing.
Daripada ragu, Ling Xu memaknai kata heran, kagak bisa mencerna sebab-akibat seorang manusia bisa tinggal di sini.
Demi mencegah, menginstruksi kata aman adalah paten, lekat besi terus ditaruh, memperlihatkan dingin kilatan tak peduli kuat tidakkah beliau.
Sementara waktu lentera ditaruh di samping.
“Nak.”
“Mati sana!!”
“Tidakkah ... responmu sangat-sangat kaku?”
“Selepas mendapati ras sedarah terbantai? Mungkin nada bicara Anda perlu diperbaiki.”
“Uhuk.”
Selang beberapa periode terpejam, dibukanya kedua kelopak disinyalir, mengindikasi sibak tirai yang selama ini tertutup seiring bentuk bibir melengkung.
Proyeksi senyum tipis kagak dapat dielakkan sudut pandang.
Dan di sinilah beliau bercakap, memanggil Ling Xu seakan memintanya untuk mendekat.
Jelas ketajaman pisau makin kokoh.
Masih dalam keadaan menekan, geram tak tertolong sedari benak membuat Ling Xu berontak, berusaha menempa lagi menutup mulut baj*ngan satu itu.
Bukan lagi sekedar ketidakpercayaan, dentum amurka diselingi benih-benih benci beberapa kali menggelora.
Terpikir satu dua terang gores pada tubuh beliau, tentunya.
Sekalipun usaha hanya membuahi kepahitan, cepat tanggap menjadi cikal, teguh keberanian yang diharuskan meledak dan terungkap.
Jangan kira medis keliling takkan berani mengintonasikan ketegasan, pria biadab!
Mengingat tebal berlapis, tangguhnya ketebalan tekad pada seorang wanita, kemustahilan menembus ditanggapi akan dahak, pengeluaran batuk-batuk tiada kurang dari angka sembilan tersaji tepat didasari atas bawah rongga mulut.
Ingat aturan tak tertulis di dunia ini.
Kesatu, kekuatan adalah raja, sementara kebijaksanaan sekedar penyempurna mahkota.
Kedua, curigai lawan yang bertingkah lebih baik dari sebelumnya.
Entah memang diperbuat berlandas kesengajaan faktor atau macam apa, kenormalan unsur seolah nihil, tiada memproyeksikan sejati rupa bejad umat apalagi Buangan Dewa yang membuat isi kepala dibolak-balik.
Kagak boleh memandang remeh, semua tata agenda disertai sebab-akibat nan menyertai.
Karena hal tersebut tolak ke belakang bergegas melaju, meletakkan kini badan sedikit menjauh demi mengantisipasi dadak sergap dari area belakang.
Hati manusia siapa yang tahu? Bahkan pasca jungkir balik gemilang diproses, serakah tamak terbilang utama, melapisi cokelat tanah selaku kebiadaban bejad umat agar memperoleh keterbaikan sedikit lebih besar.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments