'Kenapa bisa ada foto--" Alena menutup mulutnya, tak percaya dengan apa yang dilihat.
"Liat apa kamu?" Pak Damar mengikuti arah pandang Alena. Wajahnya tampak terkejut, tapi hanya sebentar dan berganti tenang seperti biasa. "Jangan buat Pak Dimas menunggu."
"Baik, Pak." Alena menganggukkan kepala, lalu beranjak dari sana, meninggalkan Pak Damar yang tersenyum tipis seraya mengambil foto yang tak jauh dari kakinya.
"Mau sekarang, Pak?" tanya Alena pada Dimas.
"Tahun depan!"
"Ha ha ha ... Bapak bisa aja bercandanya," tutur Alena.
"Cepat jalan!" tukas Dimas sewot.
"Iya, mari, Pak!" Alena mempersilahkan Dimas berjalan lebih dulu, tapi ditolak mentah-mentah.
"Kamu mau buat aku nyasar? Yang tau jalannya 'kan kamu!"
"Aishhh, salah lagi. Mari ikuti saya, Pak," kata Dimas.
Sepanjang mereka berjalan, Alena berulang kali melirik kulit Dimas yang lebih putih darinya. Padahal jelas-jelas Alena yang seorang wanita, tapi terasa kebanting dengan mulusnya kulit Dimas.
Alena sedikit risih saat Dimas berjalan di sampingnya. Terlebih para karyawan produksi memperhatikan setiap interaksi mereka berdua.
Sadar kalau Alena menjaga jarak dengannya, Dimas pun menyilangkan kedua tangannya di depan da da seraya geleng-geleng kepala. Dia merasa Alena j!j!k dekat-dekat dengannya.
"Nggak sopan! Sikapmu kayak gitu bikin orang nggak nyaman," kata Dimas to the point.
"Saya salah apa lagi, Pak?"
"Ngapain jauh-jauh dari tadi?" tanya Dimas.
"Minder, Pak. Kulit Bapak mulus banget gitu, glowing bener. Saya yanng cewek malah kalah jauh," kata Alena yang kemudian menutup mulutnya. Harusnya dia tak mengatakan itu, pasti akan dianggap tidak sopan lagi dan lagi.
Namun, siapa yang menyangka jika Dimas malah tersenyum mendengar ucapan Alena. Lelaki itu memperhatikan kulitnya sendiri dan membandingkannya dengan kulit Alena seraya mengangguk-angguk.
"Mau lanjut ke proses jahitnya nggak, Pak?" Alena membuyarkan angan Dimas yang entah ke mana.
"Masih ada lagi?"
"Iya, Pak. Kita baru masuk di bagian cutting. Ini masih tahap awal, prosesnya masih panjang," kata Alena yang sebenarnya masih tidak habis pikir kenapa perwakilan perusahaan hanya satu orang saja mengingat biasanya yang datang lumayan banyak.
"Ya udah, ayo!" Dimas tampak antusias.
Memasuki area produksi yang lebih luas, Alena makin merasakan pandangan-pandangan tak biasa. Tak lama, mereka didatangi salah satu supervisor yang memegang kendali area tersebut. Dia membantu Alena mengenalkan berbagai macam mesin dan cara kerjanya, sedangkan Alena hanya berdiri mendampingi Dimas seperti asistennya saja.
Puas mengelilingi area produksi, Dimas kembali ke meja kerja Alena karena semua barangnya masih ada di sana. Setelah mengambil laptop dan beberapa berkas, dia menemui Pak Damar dan terlibat obrolan serius.
--
Alena bertemu dengan Reza di salah satu warung makan yang letaknya tak jauh dari perusahaan. Mereka sering makan bersama di sana jika sekedar ingin bertemu.
"Al, aku udah daftar buat-"
"Ya, aku tau maksudmu." Alena langsung menyela. Sejak awal dia tau kalau Reza mengajak bertemu pasti ada maunya. Pun begitu, entah mengapa dia tak pernah bisa menolak lelaki yang dianggapnya bisa diandalkan itu. "Aku udah transfer uangnya."
Mata Reza berbinar melihat notifikasi m-banking di ponselnya. "Makasih, Sayanggg!"
"Sama-samaaa ... Ini tinggal tahap paling akhir 'kan?" tanya Alena.
"Ya, ini nggak akan lama karena aku hanya perlu mengikuti beberapa tes dan sertifikasinya akan keluar. Setelah itu aku bisa melamar kerja di perusahaan besar dan mewujudkan mimpi kita!" kata Reza antusias.
"Aku doakan semua berjalan lancar tanpa gangguan berarti, Za," kata Alena tulus.
"Ya! Kamu bisa andalkan aku!" Reza mengusap rambut Alena pelan. "Sekali lagi makasih, yaaa-"
"Iyaaa ... Ya udah, makan gih," tutur Alena.
"Emmm." Reza makan dengan lahap sambil sesekali melempar senyum pada gadis yang punya kontribusi besar dalam hidupnya itu.
Setelah selesai makan, Reza berpamitan pulang lebih dulu dengan alasan mempersiapkan tesnya lusa. Jelas Alena tak banyak tanya dan tak mau mempermasalahkan hal itu.
Hari sudah mulai gelap saat Alena mengendarai motornya. Dia mampir ke salah satu minimarket lebih dulu membeli barang pribadi dan kebutuhan selama sebulan, hal yang rutin dia lakukan setelah gajian bulanan.
Kedua tangannya sudah menenteng dua kresek besar belanjaan saat keluar minimarket. Tanpa sengaja dia melihat seorang ibu-ibu yang usianya mungkin sedikit lebih tua dari ibunya hendak menyeberang jalan. Di saat bersamaan dia melihat di sampingnya ada 3 anak lelaki berboncengan menaiki motor dengan gaya slengekan, saling lempar candaan tanpa melihat sekitar.
"Awas!" Alena meletakkan kresek bawaannya begitu saja dan menarik si ibu yang nyaris saja tertabrak anak lelaki tadi.
Tak lama terdengar suara benda jatuh diikuti teriakan beberapa orang yang menyaksikan kejadian tersebut.
"Astagaaa! Ibu nggak apa-apa?" tanya Alena melihat si ibu memegangi pinggangnya sambil meringis.
"Iya, nggak apa-apa, cuma pinggangku agak- aduh!"
"Pelan-pelan, Bu, jangan langsung berdiri dulu," kata Alena yang berusaha berdiri, tapi malah merasa ada yang salah dengan kakinya.
"Ya ampun, Nak, itu kakimu berdarah!" seru si ibu.
"Ah, nggak apa, Bu. Ini cuma lecet biasa," kata Alena sedikit meringis. Celananya sampai sobek karena terkena bebatuan yang ada di dekat selokan.
Beberapa orang ada yang membantu Alena dan si ibu, ada juga yang membantu 2 anak lelaki yang masuk ke selokan di sisi jalan dan satu anak tertimpa motor, tepat di tengah jalan.
"Ayo, ke rumah sakit, Nak!" kata si ibu.
"Nggak usah, Bu, ini cuma luka kecil kok," kata Alena.
"Tetap harus diperiksain, takutnya ada yang luka bagian dalam," kata si ibu.
"Ibu nggak apa-apa?" Datang seorang lelaki dengan baju serba hitam tampak takut.
"Nggak apa-apa. Kamu bantu Mbak ini masuk mobil, kita anter ke rumah sakit."
"Baik, Bu."
Alena ingin menolak, tapi si ibu malah terlihat sibuk dengan ponselnya, entah menelpon siapa. Dia melihat dari balik kaca mobil bagaimana ibu itu berinteraksi dengan karyawan minimarket. Tak lama kemudian si ibu masuk mobil, ikut mengantar Alena ke rumah sakit, sedangkan 3 anak lelaki tadi sudah dibawa oleh mobil lain.
"Mau diurus di kantor polisi, Bu?" tanya lelaki yang ternyata adalah sopir si ibu.
"Nggak usahlah, toh aku nggak kenapa-napa. Lagian malah ribet bawa-bawa polisi segala. Kasihan anak-anak tadi," kata si ibu.
"Tapi mereka nggak akan jera kalau didiamkan, Bu. Nanti Aden pasti marah-marah," kata pak sopir.
"Biar aku yang urus nanti," ujar si ibu seraya menoleh ke arah Alena. "Sakit banget, Nak?"
"Nggak apa kok, Bu, masih amannn," sahut Alena.
"Benar-benar anak baik, nggak peduli sama keselamatan sendiri," kata si ibu. "Ayo, lebih cepet, Pak!"
"Iya, Bu!"
Alena hanya tersenyum tipis melihat bagaimana si ibu terus khawatir, padahal sungguh dia baik-baik saja dan tak perlu secemas itu.
Tiba di rumah sakit, Alena langsung mendapat penanganan yang baginya tak biasa, seolah sudah diatur sedemikian rupa sebelumnya. Dia masih mencerna tindakan demi tindakan yang dilakukan petugas medis sampai matanya menangkap sosok yang tak asing di sekitar sana.
"Dia-"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments