Sosok asing

"Aku mau ikut pelatihan dulu biar dapet sertifikasi. Kalau udah kayak gitu 'kan aku bisa lamar kerja di perusahaan orang tua Yayang dan menunjukkan kemampuanku. Aku yakin bisa menaklukkan hati mereka nanti," tutur Reza.

"Emang Alena udah setuju mau biayain kamu? Bapak sama Ibu lagi nggak ada duit sama sekali sekarang," kata Bu Titik.

"Tenang aja, Bu! Amannn! Aku cuma modal sok-sokan mau ngelamar, dia langsung luluh!"

"Kamu ini emang anak Ibu! Pinterrr!" Bu Titik malah mendukung rencana putranya.

"Reza gitu loh!" ucap lelaki tak modal itu dengan bangga.

Sementara itu, Alena sudah sampai rumah. Dia melihat ibunya sedang menghitung jumlah box yang sudah diklip untuk pesanan besok.

"Assalamualaikum, Bu." Alena mencivm tangan ibunya penuh rasa hormat.

"Waalaikumsalam, udah pulang, Nak?"

"Iya."

"Mandi dulu terus makan. Abis itu tolong anterin pesenan, ya," kata Bu Sinta.

Alena melihat jam di layar ponselnya. "Anterin ke mana, Bu?"

"Di perumahan deket sekolah kamu dulu," jawab Bu Sinta. "Itu loh di rumah Pak Sabri, langganan kita."

"Owhhh, oke!"

Alena segera bergegas agar pesanan pun cepat diantar. Dia menata box makanan di bagasi mobil, hal yang sangat sering dia lakukan, tak peduli badannya sendiri sudah lelah seharian bekerja. Satu prinsip yang dipegang teguh oleh Alena saat ini adalah jangan sampai ibunya kelelahan lebih dari dirinya sendiri.

Bu Sinta adalah satu-satunya orang yang Alena punya. Tak ada kerabat dekat yang bersedia membantu mereka di kala susah dulu, bahkan Om dan Tante yang merupakan saudara ayahnya, malah berlomba-lomba merebut harta peninggalan ayahnya. Kini, mereka hanya punya rumah itu, satu-satunya peninggalan sang ayah yang tidak dirampas.

---

"Al, Ibu mau bicara sebentar," kata Bu Sinta begitu putrinya pulang dari mengantar pesanan.

"Iya, Bu." Alena berjalan mendekat, duduk di samping ibunya.

"Ibu nggak mau basa basi lagi. Gimana hubunganmu sama Reza?" tanya Bu Sinta.

"Baik kok, Bu."

"Kamu tau bukan itu maksud Ibu, Al," kata Bu Sinta serius.

Alena menghela napas panjang. "Tadi Reza mau melamarku, Bu."

"Serius?"

"Yaaa, tapi-"

Bu Sinta yang tadinya sudah sumringah langsung tersenyum kecut. "Pasti dia beralasan karir lagi, iya 'kan?"

Alena mengangguk perlahan, membuat Bu Sinta geleng-geleng kepala.

"Mau sampai kapan, Al? Kalian udah bersama 3 tahun lamanya, dan kamu sendiri udah 25 tahun sekarang. Mau sampai kapan kamu digantung begini? Kamu ini gadis, Al," kata Bu Sinta khawatir.

"Ibu nggak usah cemas. Nanti setelah Reza dapat kerjaan yang layak, dia akan segera melamarku kok," terang Alena.

Bu Sinta tak menjawab sepatah kata pun. Dia terlalu sering mendapat jawaban seperti itu dari putrinya. Punya anak gadis bukan perkara yang mudah, terlebih usianya sudah sangat matang untuk berumah tangga. Dia bisa mengabaikan gosip miring di luar sana, tapi mau sampai kapan?

Wanita paruh baya tersebut melangkah pergi menuju kamarnya. Dia sudah lelah dan tidak ada tenaga untuk berdebat dengan putrinya karena hasilnya pasti akan sama saja.

***

"Alhamdulillah ...." Alena menatap slip gaji yang diterimanya. Ada bonus tambahan yang tidak disangka-sangka sebelumnya.

"Bulan depan akan lebih dari itu kalau kamu lolos seleksi dan naik jabatan jadi spv," kata Pak Damar yang tiba-tiba saja muncul, mengagetkan Alena.

"Eh, Pak Damar!" Alena mengelus dad anya.

"Jangan lupa saat ini kamu sedang berkompetisi mendapatkan jabatan itu," kata Pak Damar lagi.

"Iya, Pak, saya mengerti." Alena mengangguk.

Pak Damar menepuk bahu Alena dan beranjak dari sana. Tak lama setelah itu, Risma yang merupakan rival Alena datang mendekat. Meski dia termasuk senior juga di sana, sikapnya jauh lebih baik dibanding Nana yang sok berkuasa.

"Alena--"

"Ya, Mbak?"

"Ada yang mau kukatakan padamu," kata Risma.

"Soal?"

Risma tersenyum dan melihat sekitar. "Mungkin kita bisa bicara nanti sekalian makan siang."

"Baiklah. Kita ngobrol di kantin aja kalau gitu."

"Emmm, kalau gitu sampai ketemu nanti," kata Risma seraya melambaikan tangan dengan senyum ramah.

Alena melanjutkan pekerjaan setelah sebelumnya terhenti karena kedatangan slip gaji yang dinanti-nanti semua karyawan. Dia tak mau ambil pusing dengan menerka-nerka perihal Risma. Toh, nanti dia juga akan tau kalau sudah waktunya.

Tepat jam 12 siang, semua karyawan baik itu staff maupun non staff beristirahat. Alena sudah duduk di salah satu kursi bagian paling depan, menunggu kedatangan Risma sambil menyantap bekal yang dibuatkan oleh ibunya.Tak lama berselang, Risma datang dengan senyum khasnya.

"Maaf, aku makan duluan, Mbak," kata Alena.

"Nggak apa, santai aja. Itu buatan ibu kamu?"

"Emmm."

"Kelihatannya enak," tutur Risma.

"Yaaa, masakan ibuku memang yang terbaik. Mau coba?"

"Nggak usah, makasih."

"Mbak Risma nggak bawa bekal?"

"Enggak, aku nanti mau makan di luar, udah dipesenin sama Nana duluan," kata Risma diikuti anggukan Alena.

"Aku ngomong sekarang aja nggak apa? Nggak ganggu kamu makan 'kan?" tanya Risma lagi.

"Ngomong aja, Mbak, nggak apa!" sahut Alena.

Risma mengangguk dan menatap Alena dengan pandangan yang sulit diartikan. "Soal promosi jabatan itu ... aku mau-"

Risma mengatur napasnya sebelum melanjutkan kalimat. "Kamu mundur."

Sontak Alena menghentikan suapan yang hampir masuk ke mulutnya. Dia menatap Risma dengan heran. "Aku nggak salah denger?"

"Nggak. Aku serius."

"Tap--

"Al, kamu pasti mikir aku jahat, tapi percayalah ... ini demi kebaikanmu."

Alena tersenyum kecut. "Sejak kapan orang lain lebih tau tentang hidupku? Yang terbaik buatku, cuma aku yang tau, Mbak."

"Alena, kamu nggak akan ngerti kalau aku jelasin ini."

"Gimana kalau aku memilih untuk nggak ngerti aja? Mbak, ini kompetisi! Semua orang berhak menunjukkan apa yang terbaik versi dirinya. Bersainglah secara fair!" kata Alena tegas.

Risma sudah bersiap mengatakan sesuatu, tapi saat melihat ada seseorang mengawasinya dari jauh, dia menundukkan kepala. "Aku nggak bisa bicara banyak, Al. Tapi kalau memang keputusanmu udah bulat, aku hanya mau berpesan, hati-hatilah. Nggak semua orang yang terlihat jahat itu jahat, dan- yang terlihat baik pun belum tentu baik."

Alena mengernyitkan keningnya. Dia menatap kepergian Risma dengan heran. "Maksudnya apa sih? Nggak jelas banget!"

Tak mau ambil pusing, Alena melanjutkan makan siangnya yang terhenti. Dia mengabaikan suasana yang mendadak riuh di kantin tanpa mau tau ada apa, perutnya jauh lebih penting dari sekedar gosip yang sering kali beredar di sana.

"Kok tiba-tiba aku merinding, ya? Kayak ada yang merhatiin aku deh," gumam Alena seraya mengusap lehernya. Belum sempat dia melihat sekitar untuk memastikan perasaannya, ada sosok asing dengan aroma maskulin duduk tepat di sampingnya.

"Boleh aku duduk di sini?"

Terpopuler

Comments

Pandora

Pandora

Pengen baca lagi!

2025-01-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!