Dendam Berlian
"Alena, maukah kamu menikah denganku?"
Sebuah pertanyaan manis yang terdengar membuat Alena terdiam. Dia menatap lelaki yang kini bersimpuh di depannya dengan sebuah kotak cincin merah marun yang dibuka lebar. Namun, ada yang salah di sana.
"Za, mana cincinnya?" tanya Alena sungkan.
"Ah, astagaaa ... Maafin aku, Len." Reza bangkit dari posisinya, merogoh saku celana dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
"Ada apa?" Alena menyadari sesuatu yang tidak beres dengan kekasihnya. Bukannya mendapat jawaban, Reza malah beranjak pergi dari sana tanpa kata.
Tak lama sebuah pesan singkat masuk ke ponsel gadis dengan rambut sebahu tersebut. Dia bingung harus berbuat apa sedangkan jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 12.45, yang artinya jam istirahat akan segera berakhir.
"Apa aku harus mengejar Reza? Tapi-" Alena membaca kembali pesan yang diterima dari Reza. "Sudahlah, nanti aja pulang kerja aku mampir ke rumahnya."
Alena memilih untuk kembali ke perusahaan tempatnya mengais rezeki setahun belakangan ini. Dia bekerja sebagai salah satu staf produksi dan terlalu banyak aturan di sana. Oleh sebab itulah, dia tak mau melanggar demi gajian lancar masuk ke rekening.
Gadis dengan kemeja batik dan celana kain tersebut berjalan cepat masuk gerbang. Sebelum memasuki area produksi, seperti biasa harus melalui cek body oleh security yang berjaga, barulah bisa masuk ke ruangannya.
"Kerjain ini secepatnya!"
Sebuah map tebal dilempar begitu saja tepat saat Alena duduk di kursi. Dia seolah tidak diizinkan untuk bernafas barang sebentar, padahal jam istirahat masih beberapa menit lagi. Hal yang sudah sering dia terima sejak dirinya dipromosikan menjadi supervisor beberapa minggu yang lalu.
Kebanyakan dari teman kerjanya merasa tidak adil karena Alena termasuk junior di sana, tapi malah mendapat jalur khusus untuk naik jabatan. Persaingan tidak sehat pun muncul setelah dua nama muncul sebagai kandidat, Alena dan Risma, salah satu senior di sana.
"Tapi ini bukan kerjaanku, Mbak," kata Alena. "Kenapa nggak minta tolong sama Mas Jamal aja?"
"Aku nggak lagi ngajak diskusi kamu, paham? Lagian bukane kamu hebat makanya dipromosikan jadi spv? Buktikan dong!"
Alena menghela napas panjang. Kalau bukan karena dia ingin cari aman demi posisinya nanti, pasti saat ini dia memilih berdebat. Bahkan, kalau perlu dia akan saling jambak demi melawan ketidakadilan itu.
"Ya udah, nanti kukerjain, Mbak," kata Alena pasrah, tapi bukan berarti mengalah. Dia menyusun rencana agar seniornya mendapat ganjaran yang pas.
Gadis dengan usia matang tersebut sengaja membawa map tadi saat menemui atasan. Tentu saja dia sudah mengerjakannya lebih dulu dan berdalih meminta saran pada atasannya.
"Kenapa kamu yang kerjain ini?" tanya Pak Damar, direktur produksi yang mempromosikan jabatan spv pada Alena.
"Oh, tadi Mbak Nana minta tolong buat kerjain soalnya kerjaan dia banyak, Pak," jawab Alena.
"Kerjaanmu sendiri udah selesai?"
"Udah, Pak," jawab Alena.
Pak Damar membaca isi map tersebut dengan seksama. "Lain kali jangan kerjain apa yang bukan job desk-mu."
"Salah ya, Pak?" tanya Alena.
"Kerjaanmu nggak salah, kamu yang salah!" Pak Damar geleng-geleng kepala. Tak ada yang memungkiri bahwa lelaki berusia 45 tahun tersebut adalah pribadi yang tegas dan penuh wibawa. Apa yang keluar dari mulutnya adalah mutlak, tak ada yang berani membantah.
"Maaf, Pak," kata Alena.
"Apa kamu sering mengerjakan kerjaan yang lain?"
"Ya."
"Kenapa nggak kamu semua aja yang kerjain? Lumayan kan perusahaan nggak perlu bayar gaji buta buat mereka yang malas!"
Alena menundukkan kepala. Dia tau Pak Damar sedang sangat murka sekarang.
"Jadi supervisor bukan hanya soal kepintaran seseorang, tapi juga sikap dan perilaku. Kalau kamu gampang ditindas dan dimanfaatkan, gimana kamu bisa memimpin tim?" tanya Pak Damar dengan nada datar, tapi terasa sangat tegas.
"Yang kamu pimpin nanti adalah para staf dari berbagai divisi. Aku jadi ragu kamu nggak bisa menerima jabatan ini nantinya," imbuh Pak Damar.
Alena tersenyum sinis. Bukan karena mendapat teguran keras dari Pak Damar, tapi karena salah mengambil sikap. Dia pikir dengan mengikuti alur, semua akan baik-baik saja. Ternyata itu salah besar.
"Maafkan saya, Pak. Ke depannya tidak akan terjadi lagi," kata Alena. "Terima kasih atas masukannya."
"Aku percaya pada kemampuanmu."
Alena mengangguk dan undur diri. Tak lama setelah sampai di meja kerjanya, si senior datang dan menanyakan map tadi.
"Udah selesai belum?"
"Udah," jawab Alena tanpa menoleh.
"Mana?!"
"Di meja Pak Damar."
"Ap-"
"Ah, aku lupa bilang. Pak Damar udah nungguin daritadi tuh," sela Alena dengan senyum manis.
"Kamu!"
Alena mengibaskan tangannya seperti sedang mengusir si senior yang semena-mena itu. Dia benar-benar merasa puas sekarang, bisa membalas perilaku senior tak tau diri itu.
Di sana Alena memang belum begitu lama, tapi dia adalah lulusan terbaik di jurusannya. Dia mampu mengoperasikan komputer lebih baik dibanding para senior yang kebanyakan hanya berjibaku dengan satu atau dua macam pekerjaan. Kemampuannya mengolah data dengan cepat menjadi poin utama dipromosikannya jabatan tersebut.
--
Alena menaiki motornya dengan kecepatan sedang menuju rumah Reza. Dia sempat berhenti di jalan karena tiba-tiba hujan deras dan memaksanya memakai mantel.
"Ya ampun, bajuku basah gini," ujar Alena begitu tiba di teras rumah dua lantai milik keluarga Reza. Gadis itu melepas mantel dan menggantungnya di sisi dinding.
"Rezaaa!" Dipanggilnya sang kekasih yang belum juga membuka pintu meski sudah berulang kali diketuk.
"Ngapain datan ke sini?" tanya Reza sewot setelah membuka pintu.
"Aku nggak boleh masuk dulu?"
Reza melirik baju Alena yang basah dan menghela napas panjang. "Masuklah, kuambilkan baju ganti dulu."
Alena tersenyum tulus dan mengikuti langkah kaki Reza ke ruang tamu. "Om sama Tante mana? Kok sepi?"
"Mereka lagi menghadiri acara keluarga di perumahan seberang," jawab Reza. "Ke kamarku aja biar nggak bolak balik."
"Baiklah." Alena tak ada pikiran buruk sedikit pun pada Reza karena selama ini lelaki itu memang tidak pernah berbuat macam-macam selama pacaran.
"Pakailah kaosku dulu daripada kamu masuk angin," kata Reza setelah mengambil sebuah kaos hijau.
"Iya."
"Kenapa kamu liatin aku kayak gitu?" tanya Reza.
"Kamu nggak mau keluar dulu? Aku kan mau ganti baju."
"Baiklahhhh," ujar Reza dengan berat hati.
Alena memastikan pintu terkunci sebelum mengganti bajunya. Saat itulah, dia mendengar suara notifikasi di ponsel Reza yang tergeletak di meja. Awalnya Alena mengabaikannya dan memilih segera ganti baju, tapi saat nada notifikasinya berubah menjadi panggilan telepon, Alena mendekat dan mengambil ponsel tersebut.
Kening Alena mengerut melihat nama yang muncul di layar ponsel. "Yayang? Siapa Yayang?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments