"Ya?" Alena masih belum bisa mencerna apa yang terjadi, terlebih bisikan-bisikan yang terdengar semakin jelas saja.
"Boleh duduk?" tanya lelaki dengan pakaian formal tersebut.
"Ya, silahkan," jawab Alena sedikit canggung, tapi tak bisa menolak. Bukan karena terpesona pada ketampanan lelaki di sampingnya, tapi karena dia memang tak ada hak menolak siapa saja yang akan duduk di tempat umum tersebut.
Alena mengabaikan keberadaan lelaki itu dengan melanjutkan makan. Dia pun tak peduli ketika beberapa orang yang biasanya acuh, kini menyapanya sok akrab.
Terdengar suara tutup botol yang dibuka diikuti suara tegukan yang cukup jelas. Alena melirik lelaki di sampingnya yang terlihat sangat kehausan, terbukti botol mineral ukuran sedang yang ada di tangan tinggal separoh.
Cuaca memang sangat tidak bersahabat. Kadang sangat panas, kadang juga mendung. Perubahan cuaca yang tak bisa diprediksi memang sering kali membuat badan terasa tidak nyaman, bahkan gampang sakit.
"Aku tunggu di kantin, cepatlah ke sini," kata lelaki tadi melalui telepon.
Tak lama datanglah seorang lelaki yang membawa payung. Dia mengedarkan pandangan ke segala arah.
"Cowok gil4 mana yang ngalah-ngalahin cewek? Perkara panas gini aja pake bawa payung? Astagaaa ...," celetuk Alena.
"Kamu ngatain aku?" Tiba-tiba lelaki di sampingnya bertanya dengan nada kesal. Dia berdiri sambil melambaikan tangan ke arah lelaki yang membawa payung tadi.
"Hah?" Sontak Alena tersenyum kaku. Dia sampai menelan saliva berulang kali karena mendapat lirikan tajam.
"Maaf lama, Pak Dimas, tadi parkir mobilnya muter dulu," kata lelaki pembawa payung. "Mari saya anter masuk."
Alena masih tersenyum kaku saat dua lelaki tadi pergi dari sana. "Pantes aja kulitnya putih mulus kayak pant4t bayi, dia takut sama matahari gitu."
"Alena, kamu kenal sama Mas yang tadi?" Salah seorang staf bagian lain tiba-tiba duduk di samping Alena dengan rasa penasaran yang besar.
Jelas saja Alena menggeleng. "Nggak, Mbak."
"Kupikir kalian saling kenal."
"Aku juga baru liat ini kok, " kata Alena. "Kayaknya sih dia tamu, wong aku liat dia bawa name tag dari security depan."
"Ohhh, apa yang dimaksud Pak Damar tadi ya?"
Alena mengernyitkan keningnya. "Emangnya apa?"
"Bukan apa-apa, nanti juga bakal tau sendiri. Aku duluan yaaa-"
"Iya," sahut Alena cepat.
Jam istirahat masih ada 15 menit lagi, tapi Alena merasa jenuh hanya duduk sendiri sambil memainkan ponsel. Dia memutuskan masuk ke ruang kerjanya, mendinginkan pikiran sejenak sebelum kembali bergelut dengan banyaknya data.
"Ngapain dia duduk di tempatku?" Alena bergegas ke kursinya dan mendapati lelaki tadi mengutak-atik laptopnya.
"Kamu siapa? Ngapain pake laptopku?" tanya Alena tak suka.
Sebelum mendapatkan jawaban, Pak Damar datang sambil tersenyum kecil. "Alena, kenalin ini Pak Dimas. Beliau ini utusan dari PT Sinar Jaya, mau melihat secara langsung data penggunaan bahan material dan proses pembuatan di sini."
"Emmm, iya, Pak, tapi--" Alena menjauh dan sedikit berbisik pada Pak Damar. "Rasanya nggak etis kalau orang luar buka-buka laptop kerja saya 'kan?"
"Ehemmm!" Dimas berdehem karena masih mendengar ucapan Alena. "Tolong lihat baik-baik ini laptop siapa."
Alena melirik ke arah Dimas dan melihat laptop miliknya ada di sisi kanan lelaki itu. Dengan rasa malu bercampur rasa bersalah, Alena meminta maaf sambil garuk-garuk tengkuknya yang tak gatal.
"Sepertinya karyawan Pak Damar ini perlu tambahan vitamin A," kata Dimas menyindir. "Oh, perlu pemeriksaan lengkap juga sih."
"Ha ha ha ... Ini pasti salah paham aja, Pak. Dia ini termasuk staf terbaik di sini," kata Pak Damar, membela Alena.
Dimas tersenyum kecut dan melanjutkan aktivitas dengan laptop kerjanya. Ada beberapa hal yang perlu pembaruan setelah melihat sekilas data yang diberikan Pak Damar tadi.
Beberapa menit berlalu, Dimas masih saja belum selesai, bahkan kini malah terlibat pembicaraan serius dengan Pak Damar. Jelas itu membuat Alena serba salah.
'Dari sekian banyak kursi dan meja, kenapa harus di tempatku sih? Mana galak banget orangnya,' batin Alena.
"Sudah bel masuk, apa karyawan di sini nggak ada kerjaan, Pak?" tanya Dimas seraya melirik Alena yang sedari tadi berdiri tak jauh dari sana. "Masak cuma berdiri aja nggak melakukan hal yang berguna untuk perusahaan?"
'Boleh njot0s orang nggak sih? Kok tanganku gatel ya?' batin Alena dengan senyum dibuat-buat.
"Oh, Alena! Kamu pakai mejaku saja dulu, tanggung ini," kata Pak Damar.
"Ta-"
"Nggak apa-apa," kata Pak Damar seraya mengambil laptop milik Alena dan menyerahkannya.
"Ini meja kerja saya, Pak, ha ha ..." kata Alena sambil melirik Dimas yang tak merasa bersalah sedikit pun sudah menuduh sembarangan.
"Nggak kreatif sama sekali jadi orang," gumam Dimas membuat Alena makin kesal.
'Sabar, sabar, Alena! Dia ini orang penting, jangan sampai kamu menyinggungnya.' Lagi-lagi Alena hanya bisa mengeluh dalam hati.
Alena masih mengomel dalam hati saat sampai di kursi Pak Damar. Baru saja dia ingin menarik kursi kebesaran atasannya, Alena mengurungkan niat tersebut. Dia bisa merasakan tatapan-tatapan yang tertuju padanya.
Sadar akan resiko yang terjadi kalau dia duduk di sana, Alena memilih duduk di kursi lain yang ada di sisi meja. Anggaplah saat ini dia sedang duduk menunggu yang punya meja datang ke sana.
Di sela kesibukannya melanjutkan laporan, Alena tak sengaja melihat sesuatu yang menarik perhatian. Ada sebuah kertas tebal berwarna di sela buku yang tertumpuk rapi di sana.
"Itu kayak kertas foto," gumam Alena sambil memperhatikan sekitar. "Apa jangan-jangan itu foto pacarnya Pak Damar? Aishh ...tahan Alenaaa ... tahan! Inget kata Ibu, harus sopan!"
Alena menggelengkan kepala. Dia berusaha keras mengubur rasa keingintahuannya. Pak Damar memang sudah bisa dikatakan berusia tua karena nyaris menyentuh angka 50 tahun, tapi lelaki berwibawa itu belum punya keluarga.
Banyak staf dan karyawan yang penasaran dengan kisah cinta dari perjaka tua tersebut. Tak sedikit yang menyayangkan karena dari segi materi, jelas Pak Damar sangat mapan. Karirnya naik dengan cepat berkat kegigihannya dalam bekerja sejak masih muda. Sayangnya, kisah cintanya tidak berjalan dengan seimbang.
Beberapa kali Pak Damar menjalin hubungan dengan staf di sana, tapi selalu berakhir dengan kandasnya hubungan. Bahkan, beberapa wanita yang sempat dekat dengan Pak Damar memilih resign dengan alasan yang tak bisa dimengerti.
"Alena!" Suara berat dari arah belakang mengangetkan Alena.
"I-iya, Pak!" sahut Alena cepat.
"Kenapa kayak kaget begitu?" tanya Pak Damar seraya duduk di kursinya.
"Ha ha ha ... Saya tadi lagi fokus ke laptop, makanya kaget. Ada apa, Pak?" tanya Alena.
"Tolong antar Pak Dimas ke area produksi."
"S-saya?" tanya Alena tak percaya.
"Iya, kamu."
"Ta-"
"Ini permintaan langsung dari Pak Dimas. Kamu jangan buat beliau tidak senang," kata Pak Damar seraya membuka buku yang sejak tadi diamati oleh Alena.
"B-baik, Pak," kata Alena. Matanya tertuju pada foto yang terjatuh ke lantai tanpa disadari oleh Pak Damar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments