Jari Alena sudah bersiap menggulir ikon berwarna hijau di layar, tapi suara ketukan pintu membuatnya mengurungkan niat. Dia segera merapikan baju dan membuka pintu.
"Aku kayak denger suara telepon," kata Reza buru-buru.
"Ya," jawab Alena singkat seraya menyerahkan ponsel Reza. "Siapa Yayang?"
"Oh, Yayang itu teman kampusku."
"Emang harus ya dikasih nama Yayang?" tanya Alena sinis.
"Kamu mikir apa sih? Namanya emang beneran Yayang, terus aku harus kasih nama apa?" tanya Reza sambil geleng-geleng kepala.
Sadar dicurigai oleh kekasihnya, Reza menghela napas panjang dan menunjukkan sebuah foto proposal dengan nama kelompok yang tertera jelas di sana.
"Nih, kamu baca baik-baik. Namanya Yayang Saputri," kata Reza diikuti senyum Alena.
"Nggak usah curigaan deh sama orang," imbuh Reza lagi.
"Iya, maaf," kata Alena. Dia sudah berusaha keluar dari kamar dengan cepat untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, tapi Reza bergerak jauh lebih cepat darinya.
"Kenapa buru-buru?" Reza mendorong Alena ke pintu hingga tak bisa bergerak.
"Nggak baik kita di kamar berduaan, Za, apalagi sekarang nggak ada orang," kata Alena.
Reza terkekeh. "Kenapa kamu tegang gitu sih?"
"Aku--"
"Tenang aja, aku nggak bakal macam-macam, Al. Tapi masak ini aja nggak boleh?" Reza mengusap bibir Alena dengan ibu jarinya.
Alena tersenyum tipis dan mengecvp pipi Reza sekilas. "Nanti yaaa...."
"Hahhh ... Kita udah pacaran lama, tapi kamu nggak pernah izinin aku buat sekedar, ahhh- tauk lahhh!" Reza menggerutu dan membiarkan Alena keluar dari kamarnya.
Alena memang menjaga diri dengan sangat hati-hati. Meski sudah berhubungan kurang lebih 3 tahun lamanya, Alena enggan melakukan di luar batas. Dia tak peduli ketika disebut kampungan karena menjaga kegadisannya di tengah pergaulan bebas yang marak terjadi sekarang.
Satu hal yang Alena pegang teguh sampai saat ini adalah pesan ibunya untuk menjaga kehormatan sebagai seorang wanita. Dia tak mau mengecewakan perjuangan ibunya yang berjuang seorang diri membesarkannya setelah sang ayah tiada.
Reza melempar ponselnya ke ranjang, tak mood lagi menelpon Yayang. Dia menyusul Alena yang sudah duduk manis di ruang tamu.
"Kamu laper nggak?" tanya Reza.
Alena menggeleng cepat. "Daripada itu, aku lebih ingin mendengar maksud pesanmu tadi."
"Soal itu ... Sebenarnya aku kepikiran sama ucapan ibumu soal hubungan kita," kata Reza.
"Kamu masih mikirin itu?"
"Yaaa, mau gimana lagi? Lagian yang dibilang ibumu benar. Kita udah cukup matang untuk menikah."
"Kamu serius?"
"Ya, tapi-"
"Tapi apa?" tanya Alena.
"Jujur aku belum siap," jawab Reza. "Kamu tau sendiri aku belum dapat kerjaan yang menjanjikan. Mana mungkin aku bawa kamu hidup susah?"
"Kamu ngomong apa sih? Lagian aku yakin kamu bakal jadi lelaki yang penuh tanggung jawab kalau kita menikah nanti," ujar Alena.
Tiba-tiba Reza bersimpuh di depan Alena, kembali melakukan hal yang siang tadi gagal total karena masalah cincin. Kali ini Reza tidak membawa apa-apa, hanya meraih tangan Alena dan mengecupnya lembut.
"Saat ini aku memang nggak punya apa-apa buat melamarmu, tapi aku harap kamu bisa sabar sampai waktu itu tiba," kata Reza.
"Kamu nggak usah sampai kayak gini, Za. Aku percaya kok sama kamu," kata Alena.
"Serius?"
"Ya"
"Kalau gitu, soal pembahasan kemarin?" tanya Reza penuh harap. "Aku pengen punya sertifikasi resmi biar bisa melamar kerja di perusahaan besar. Dengan begitu aku bisa segera melamarmu, Al."
Alena menghela napas panjang. "Emang butuh biaya berapa?"
"Nggak banyak kok, cuma sekitar 10 juta," jawab Reza.
"Akan kuusahakan secepatnya," kata Alena dengan senyum manisnya.
"Kamu memang yang terbaik!" seru Reza. Dia kembali mengecvp tangan gadis yang sudah membantu biaya kuliahnya dulu. Bahkan, setelah Reza lulus, Alena juga yang membiayai biaya kursus dan banyak workshop lainnya untuk Reza.
"Aku akan terima apa pun kondisimu, semoga nanti saat kamu sukses, kita bisa segera merealisasikan pernikahan sesuai keinginan ibuku," tutur Alena.
"Ya, itu pasti."
Keduanya sempat ngobrol beberapa saat sebelum akhirnya Alena memutuskan pamit pulang. Dia masih harus membantu ibunya menyiapkan pesanan catering untuk besok pagi. Sesaat sebelum pergi, Alena melihat sesuatu yang jatuh dari saku celana Reza.
"Za, itu tadi apa?"
"Mana?"
"Tadi kayak ada yang jatuh dari sakumu deh," jawab Alena sambil berjongkok, melihat ke bawah kursi dan menemukan sebuah cincin. "Ini?"
Reza tampak panik. Dia merampas cincin tersebut dan segera menyimpannya kembali di saku.
"Sebenarnya aku tadi mau melamarmu pakai cincin ini, tapi setelah kupikir-pikir rasanya nggak pantas."
Jelas Alena bingung dengan penjelasan tersebut. "Maksudnya?"
"Cincin ini palsu, aku belum sanggup beli yang asli."
Alena tidak marah, dia malah tersenyum tulus. "Semua itu butuh persiapan, Za. Kalau memang belum mampu, nggak usah dipaksa. Toh, aku siap menunggumu sukses dulu."
"Aku memang nggak salah pilih," tukas Reza.
"Berhenti memujiku terus menerus," kata Alena. "Ya udah, aku pulang dulu."
"Iya."
Sepeninggal Alena, Reza kembali ke kamar. Dilihatnya layar ponsel menyala dengan nada panggilan telepon masih berlangsung. Cepat-cepat dia ambil benda pipih tersebut dan menjawab panggilan telepon.
["Halo?"]
["Kamu dari mana aja sih, Za?"] tanya seorang gadis di seberang sana.
["Ah, tadi lagi ada tamu di rumah, maaf yaaa,"] jawab Reza.
["Nanti jadi, kan? Aku udah pesan tempat loh!"]
Reza melirik jam dinding di kamarnya. ["Jadi dong! Aku siap-siap dulu."]
Lelaki yang kini berusia 27 tahun itu memakai kemeja kotak-kotak dan celana jeans. Rambutnya yang sedikit panjang terombang-ambing terkena kipas angin. Aroma parfum maskulin menyebar ke seisi kamar.
"Mau ke mana?" tanya Bu Titik yang tiba-tiba saja masuk ke kamar Reza.
"Ibu apaan sih? Ngagetin aja deh!" Reza protes sambil mengusap dada. "Mau keluar bentar sama temen."
"Temen apa temen?"
"Temen, Buuu! Nggak percayaan banget sih sama anak sendiri," tutur Reza.
"Justru karena anak sendiri makanya nggak percaya. Saking apalnya sama kebiasaan kamu itu!" omel Bu Titik.
"Ha ha ha ... Mau ketemu Yayang, Bu."
"Kannn ...."
"Ya, gimana? Dia itu ibaratkan berlian yang harus dijaga, Bu. Aku baru tau kalau ternyata dia itu anaknya Pak Surya," terang Reza.
"Surya Adinata?" tanya Bu Titik memastikan.
"Iya! Pemilik PT Nusa Bakti."
Raut wajah Bu Titik seketika berubah sumringah. "Ini baru anak Ibu! Harusnya kamu sama Yayang aja, daripada sama anak penjual catering yang cuma jadi staf kecil itu!"
"Sabar dong, Bu. Aku harus main cantik dulu kalau mau dapetin Yayang. Nggak mungkin juga aku gas sekarang buat deketin dia dengan kondisi sekarang. Minimal aku harus punya kualifikasi mumpuni dulu kan? Orang kaya seperti mereka pasti standarnya tinggi."
"Emang rencana kamu apa?" tanya Bu Titik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Listy Airyn
Terima kasih 🥰 ditunggu kelanjutannya yaaa
2025-01-04
0
Washi
Aku senang banget tidak salah pilih membaca cerita ini, semoga selalu berlangsung terus thor!
2025-01-03
1