"Astaga raga naga...," lirih kakek dengan mata mendelik.
Begitu banyak Peta telah berkerumun di sekeliling halaman rumah kakek dan nenek. Ada di antara mereka yang saling bertarung, ada pula yang dengan tenang berdiam di dekat pohon pisang milik kakek dan nenek itu.
Peta yang berdiri tenang di dekat pohon pisang pun tidak selamanya bisa tenang. Karena Peta lain akan menyambar dan merebut posisi mereka.
Posisi terdekat dengan jantung pisang emas adalah posisi terbaik yang diincar setiap peta. Dengan begitu mereka bisa menghirup banyak aura manis yang terpancar dari jantung pisang emas tersebut dengan leluasa. Itulah alasan kenapa para peta tersebut berkelahi.
"Kenapa makhluk-makhluk astral ini mendadak pesta di rumah kita sih, Ki?" tanya si Nenek.
Ya. Peta di sini bukanlah gambaran tentang suatu wilayah tertentu. Melainkan sejenis makhluk astral yang hidup berdampingan dengan manusia.
Bukan setan, bukan iblis, bukan pula jin. Kendati sebagian dari Peta tersebut memiliki wujud yang sama dengan makhluk astral lainnya, mereka tetaplah makhluk berbeda yang tercipta dari unsur yang berbeda pula.
Ada tanda di kening mereka yang membuat manusia bisa membedakan peta dan jenis makhluk astral lainnya dengan mudah. Selain itu, peta juga tidak bisa mewujud ke dalam sosok manusia.
"Mana Aki tahu," jawab si Kakek.
"Bagaimana ini, Ki? Kalau begini terus, mereka bisa meruntuhkan dataran tebing ini dan menghancurkan rumah kita," kata si Nenek dengan raut muka khawatir.
Sambil terus memperhatikan kawanan peta tersebut, si Kakek memikirkan bagaimana caranya mengusir peta-peta tersebut. Mustahil bagi si Kakek dan si Nenek untuk menghadapi peta sebanyak itu. Ditambah lagi dengan banyaknya peta berukuran besar.
"Hm...," dengan suara lirih si Kakek bersenandung.
Sebuah alunan irama yang terdengar seperti lagu kematian yang memberikan suasana mencekam. Benar-benar sebuah lagu latar yang cocok dengan adegan di hadapan mereka saat ini.
"Aki ini gimana sih?! Keadaan genting kayak gini malah nyanyi!" tegur si Nenek geregetan seraya mencubit lengan atas si Kakek.
"Aw, aw. Ini juga lagi mikir, Nini!" tegas si Kakek seraya mengelus lengan yang dicubit.
"HUWA!" sontak si Nenek menutup hidungnya dan berjalan mundur saat satu peta tiba-tiba mendekat.
Peta berlubang hidung sebesar bola basket itu mendenguskan napasnya di hadapan si Kakek, menebarkan aroma yang menusuk hidung manusia. Angin yang berhembus dari lubang sakral si Makhluk tersebut membuat rambut si Kakek rapi ke belakang seketika. Bahkan cairan yang menyertainya bisa dijadikan alternatif pengganti gel rambut.
"Napasmu bau sekali. Kau pasti tidak pernah pergi ke tempat pencucian hidung untuk membersihkan hidungmu, iya kan?" tukas si Kakek sambil menunjuk-nunjuk peta tersebut dengan jari telunjuknya.
Lalu ia gunakan tangannya itu untuk membelai rambutnya yang terasa basah. Tangan keriputnya bisa merasakan cairan lengket nan dingin itu menempel ke telapak tangannya.
"Iuh. Menjijikkan," gumam si Kakek merasa risih saat menatap telapak tangannya penuh dengan ingus si Makhluk yang terlihat berkilau.
Si Kakek mencoba mengendus tangannya itu. Seketika si Kakek pun muntah. Rupanya perut si Kakek pun menolak aroma busuk yang menyengat itu.
"Uuehihihi," si Makhluk menyunggingkan senyuman yang menunjukkan deretan gigi emas berongganya.
Melihat si Kake yang meringkuk mengeluarkan seluruh isi perutnya, si Nenek pun merasa khawatir.
Lalu, dengan suara sengau si Nenek bertanya, "Aki, Aki, Aki tidak apa-apa?"
Si Nenek masih memijit hidungnya dengan ibu jari dan jari telunjuknya untuk menghalangi bau busuk masuk ke saluran pernapasannya. Itulah yang membuat suara si Nenek terdengar berbeda.
"Hoek, Hoek, uhuk, hoooek."
Si Kakek belum bisa menjawab karena ia tidak henti-hentinya memuntahkan isi lambungnya. Bau busuk itu bekerja seperti neiro toxic--racun yang menyerang sistem syaraf bagi tubuh si Kakek. Tubuh si Kakek benar-benar terasa lemas.
"Gung, Gung, Gung, kikikiki," sorak gembira si Makhluk seraya memperhatikan si Kakek.
Si Makhluk itu terus saja mengeluarkan suara aneh sambil bertepuk tangan dan melompat-lompat kegirangan.
"Ada apa denganku? Tubuhku rasanya aneh," batin si Kakek.
"Apa itu?" tanya si Nenek di dalam hati.
Si Nenek melihat seperti ada asap hitam yang keluar dari tubuh si Kakek.
"Jangan-jangan itu...."
Si Nenek pun mulai berpikir bahwa itu mungkin sajaa adalah kekuatan dari si Makhluk Peta yang mulai menyerang si Kakek.
"Tapi, bagaimana bisa? Peta itu bahkan tidak menyentuh Aki sama sekali," batin si Nenek penasaran dengan cara si Peta membuat si Aki tidak bisa bergerak.
Sudah lama si Nenek tidak menghadapi hal semacam ini. Jadi, tidak banyak yang bisa ia ingat. Apalagi di usianya yang memasuki kepala delapan, pastilah banyak hal yang terlupakan.
"Ah. Sudahlah! Ini bukan waktunya untuk berpikir. Si Aki sedang dalam masalah. Aku harus menjauhkan peta itu darinya!" lanjutnya di dalam hati.
Si Nenek pun celingukan mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk menyerang si Peta. Ia melihat cerek yang terbuat dari tanah liat di atas meja. Ia pun mengambil cerek itu, lalu melemparnya ke arah peta berkepala segitiga, bermata satu itu.
Lemparan cerek si Nenek menghantam bibir peta tersebut, kemudian mental dan mengenai kepala si Kakek sebelum akhirnya pecah berkeping-keping menghantam lantai tanah.
Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, si Kakek berusaha menoleh ke arah si Nenek, memberikan tatapan tajam yang menyiratkan kata, "Nini, awas ya! Sakit tahu kepala Aki!"
Si Nenek pun langsung memasang pose meminta maaf seraya berkata, "Ampun berjuta ampun, Aki! Sungguh Nini tidak bermaksud untuk melukai Aki."
Peta itu pun menggerakkan matanya, berali memandang si Nenek yang jauh berada di dalam rumah.
"Gung, gung, gung, gung," si Makhluk memiringkan kepala ke kiri dan ke kanan.
"Apa lihat-lihat?! Nggak pernah lihat nenek-nenek cantik melempar cerek ke muka peta, hah?" celetuk si Nenek menyambut tatapan si Makhluk seraya mengibaskan rambut putih panjangnya ke belakang.
"Atau kau mau marah karena ciuman pertamamu dicuri oleh sebuah cerek yang sudah almarhum, hah?" lanjutnya.
Si Makhluk hanya diam, lalu melesat masuk ke dalam rumah, melewati si Kakek yang masih meringkuk di depan pintu.
"Eh. Gawat! si Bau malah mendekat!" kata si Nenek dengan panik.
Spontan si Nenek pun berkomat-kamit, merapalkan apapun yang terlintas di kepalanya.
Mendadak makhluk tersebut terpental ke luar rumah. Ia langsung disantap peta berukuran raksasa saat sampai di halaman.
Si Kakek pun terlepas dari pengaruh si Makhluk begitu makhluk tersebut mati.
"A...a...aaa...tes, tes, ehm," si Kakek mencoba berbicara setelah tadi kesulitan mengeluarkan suara.
"Fiuh," si Nenek sedikit lega bisa menjauhkan peta tadi dengan mantra pelontar yang ia rapalkan.
Bunyi dentuman keras, raungan, serta gemuruh yang memekakkan telinga masih terus terdengar. Adeegan saling menyerang antar sesama peta pun masih terus berlangsung di halaman rumah nenek dan kakek.
"ROOOAARRR!"
"GOOOOOO!"
"KAAAAA!"
"PIUIUI!"
"Aaaaah. Berisik amat sih mereka!" geram si Kakek seraya menutup telinganya.
"Mungkin kita harus pergi dari sini sebelum peta-peta itu berbalik menyerang kita. Bisa gawat kalau semua peta mendadak menyerang kita seperti si Hidung Bau tadi," ujar si Nenek.
"Ngomong-ngomong soal nyanyi," dengan suara keras si Kakek berkata kepada si Nenek.
"Aki ini bagaimana sih?! Bukannya memikirkan bagaimana caranya agar bisa selamat, malah mau nyanyi lagi!" sentak si Nenek.
"Bukan seperti itu, Nini! Tapi mantra. Ya. Mantra yang terdengar seperti nyanyian kematian yang bisa mengusir makhluk semacam mereka," tegas si Kakek.
"Kalau begitu cepat bacakan mantra itu, Ki!" pinta si Nenek.
"Hm...masalahnya aku juga tidak ingat mantra apa itu. Hehe," kekeh si Kakek.
Sejenak keduanya terdiam, memanggil segala hal yang pernah mereka pelajari di masa muda mereka.
"Pancarupa...," celetuk si Nenek.
"Nah, itu dia!" si Kakek menjentikkan jari setuju.
"Cepat ambil kitab itu dan bacakan mantranya, Nini!" lanjutnya.
Si Nenek pun mengangguk dan langsung pergi ke kamar untuk mengambil kitab tersebut.
Sementara itu, si Kakek mencoba berdiri, lalu ia menuliskan sesuatu di depan pintu, membentuk pagar ghaib agar peta tidak bisa masuk lagi.
Tidak lama kemudian si Nenek kembali dengan membawa kitab Pancarupa.
"Ini, Ki!" ucap si Nenek menyodorkan kitab tersebut kepada si Kakek.
Si Kakek hanya menoleh tanpa kata. Si Nenek pun memperhatikan tubuh si Kakek.
"Eh, tapi sayang kitabnya ya kalau sampai kotor dan bau. Tadi kan Aki kena ingus si Bau," ucap si Nenek seraya menarik kembali kitab yang ia sodorkan.
"Makanya Nini saja yabng baca," balas si Kakek.
"Ia deh, iya."
Si Nenek langsung membuka halaman yang dimaksud si Kakek sebelumnya. Kemudian ia mulai membaca apa yang tertulis di sana.
"Rupa, arupa ciptaning karsa...."
Tidak lupa ia bersihkan pikirannya atau mantranya hanya akan menjadi kalimat kosong dan tidak bekerja. Baris demi baris berhasil ia baca dengan lancar.
Sebuah cahaya abstrak mulai terbentuk di hadapan si Nenek. Cahaya itu melesat keluar, mengejar setiap peta yang ada di halaman.
Cahaya itu memusnahkan setiap peta yang berhasil disentuhnya. Para peta pun kocar-kacir melarikan diri saat menyadari bahaya sedang mengincar mereka.
Semakin jauh mantra dibaca, cahaya tersebut pun semakin membesar, lalu masuk ke dalam tanah, membuat tanah malam itu bersinar dengan terang, siap membentuk penjara yang akan mengurung makhluk-makhluk astral.
"Woah. Mujarab juga mantranya," decak kagum si Kakek seraya bertepuk tangan menyaksikan para peta yang berlari tunggang langgang ketakutan.
"Halaman kita bersih lagi, Ni," lanjutnya.
Si Nenek pun menghentikan bacaannya saat mendengar tidak ada lagi peta di halamannya.
"Sekarang Aki mandi kembang sana! Bau," perintah si Nenek.
"Iya, iya. Aki juga nggak tahan ini. Siapkan airnya dong, Nini!" sahut si Kakek berbalik memerintah si Nenek.
"Siap, suamiku tercinta."
Si Nenek pun langsung mengambil keranjang dan memetik bunga mawar pemikat yang ada di belakang rumah. Ia memenuhi keranjang tersebut.
Sebagian dari bunga tersebut ia rebus, dan sebagian lagi ia gunakan untuk taburan. Bunga mawar jenis ini adalah bunga yang aroma wanginya akan semakin keluar bila direbus.
Sementara si Kakek mandi, si Nenek membersihkan rumah, membereskan bekas keributan tadi.
Setelah selesai mandi, kini giliran si Kakek memperbaiki kerusakan, dan menyiram air mawar ke seluruh area rumah untuk menghilangkan bau tidak sedap.
Setelah semuanya selesai, si Kakek mengambil kitab Pancarupanya, lalu ia pergi ke pohon pisangnya. Ia menggambar pola mengelilingi pohon tersebut dengan kakinya. Setelah itu, ia membuka salah satu halaman dari kitab tersebut dan membacanya.
Lukisan cahaya kehijauan bercorak alam membubung ke atas mengitari pohon pisang. Cahaya tersebut pun memudar seiring selesai dibacanya mantra.
Itu adalah mantra untuk menyembunyikan pohon pisang tersebut dari para makhluk astral.
Kakek menutup kitabnya, lalu memperhatikan pohon pisang setinggi dua setengah meter itu.
"Memang indah dan menawan," decak kagum si Kakek menatap jantung pisang emas yang bersinar.
"Tapi kenapa nggak berubah jadi buah pisang ya? Padahal ontong di sebelahnya sudah jadi buah pisang suluh yang sebentar lagi siap makan," gumam si Kakek penasaran.
"Hoam," si Kakek menguap.
Kejadian malam itu membuat si Kakek harus terjaga melakukan ini/ itu sepanjang malam hingga tanpa ia sadari fajar pun akan segera berakhir berganti cahaya terang sang Surya yang mulai meninggi.
"Tidur sajalah. Ngantuk," ucap si Kakek meninggalkan pohon pisang tersebut.
Sementara itu, si Nenek sudah sibuk di dapur mempersiapkan sarapan. Dengan penuh semangat dan ceria ia berdendang, melupakan kejadian tidak menyenangkan semalam.
"Lalalala nanana ninini," si Nenek terus melantunkan lirik tidak jelas itu.
"Oek, oek, uuuu, oooek."
Kesenangan si Nenek dihentikan oleh suara tangisan bayi tersebut.
"Bayi ?" batin si Nenek.
"Mana ada bayi di puncak gunung tanpa pemukiman seperti di sini?" lanjutnya.
Ia pun berdiam sejenak, mencoba mendengarkan dengan seksama. Namun, suara tangisan itu tidak terdengar lagi.
"Ah, sudahlah! Mungkin hanya imajinasiku."
Si Nenek pun melanjutkan aktivitasnya kembali.
"Oek, oek, oek."
Suara tangisan itu kembali membuat si Nenek mematung. Suara tangisannya terdengar semakin keras.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Marconah💕
walaupun sdh digambarkan scara detail tp masih belum ngena diotak sosok peta tu kaya apa,yg trlintas adalah makhluk orc yg ky dipilem2 fantasi musuhnya para hobbit dn elf tu😆😆
2021-06-08
0
Sis Fauzi
jangan kendor 👍 semoga sukses selalu
2021-04-04
0
🏵️ Haksara 🏵️
Dalam kondisi runyam si kakek dan si nenek masih sempat-sempatnya ngelawak😂😂
2021-03-01
1