NovelToon NovelToon

Dosa Dibalik Kebangkitan

Anak Yang Malang

Rea adalah seorang gadis sederhana yang tinggal di tepi hutan lebat di desa Rivendale. Hidupnya dipenuhi kerja keras, mengumpulkan tumbuhan obat dan kayu bakar untuk dijual di pasar. Dengan rumah kayu kecil yang ia tinggali bersama ibunya, Amelia, mereka menjalani hari-hari yang penuh tantangan, meski hutan di sekitar mereka menyimpan legenda yang mencekam.

Pagi itu, embun masih menetes di daun-daun ketika Rea melangkah masuk ke hutan. Dengan keranjang anyaman di punggung, ia memetik daun-daun tanaman herbal yang tumbuh liar di antara semak-semak.

"Semoga ini cukup untuk dijual besok," gumamnya, mengusap keringat di dahi. Matahari belum tinggi, tetapi tubuhnya sudah terasa lelah.

Ketika Rea kembali ke rumah, ia melihat ibunya sedang menjemur pakaian di halaman. Rumah mereka, yang terbuat dari kayu cokelat tua, tampak sederhana tetapi kokoh. Jendela kecil di dinding depan dihiasi kotak bunga lavender yang menyebarkan aroma menenangkan. Di sebelah rumah, sebuah sumur tua berdiri tegak, menjadi saksi bisu perjalanan hidup mereka.

“Ibu, aku pulang!” seru Rea sambil menurunkan keranjang penuh tanaman dan kayu bakar.

Amelia menoleh dan tersenyum lelah. “Kau cepat hari ini. Cepatlah masuk dan makan. Ibu sudah menyiapkan roti lapis.”

Rea mengangguk dan berjalan menuju dapur. Setelah menyimpan hasil panennya di gudang kecil di belakang rumah, ia duduk di meja kayu yang penuh goresan. Roti lapis sederhana itu terasa seperti hidangan mewah setelah pagi yang berat.

“Ibu, besok kita akan ke pasar, kan?” tanya Rea di sela-sela gigitan.

“Iya, kita perlu menjual ini semua sebelum layu. Lagipula, persediaan tepung kita sudah hampir habis,” jawab Amelia sambil merapikan rambutnya yang mulai beruban.

Malam itu, setelah makan malam sederhana, Rea berbaring di tempat tidurnya. Ia menatap langit-langit kayu, pikirannya melayang ke berbagai hal. Hidup di desa memang tenang, tetapi terkadang terasa sunyi. Ia merindukan sosok ayahnya, Darian, yang hanya ia kenal melalui cerita ibunya.

Desa Rivendale, tempat Rea tinggal, bukanlah desa biasa. Di dalam hutan yang mengelilingi desa, terdapat sebuah legenda yang sudah berumur ratusan tahun. Konon, seorang jenderal hebat yang setia pada kerajaan dikuburkan di sana. Ia tidak benar-benar mati, melainkan tertidur, menunggu darah seorang pemberani untuk membangkitkannya kembali.

Legenda itu sering diceritakan oleh penduduk desa, tetapi Rea menganggapnya hanya sebagai dongeng belaka. Namun, setiap kali ia melangkah lebih dalam ke hutan untuk mencari tanaman obat, ia merasa ada sesuatu yang mengawasinya—seperti bayangan yang bergerak di antara pepohonan.

Amelia sering menceritakan kisah masa lalunya kepada Rea, terutama di malam-malam dingin ketika mereka duduk di dekat perapian. Biasanya, ia akan menatap api yang menari-nari, suaranya tenang, tetapi penuh emosi yang dalam.

“Ibumu ini pernah menjadi wanita yang sangat bahagia, kau tahu?” katanya suatu malam, sembari menyesap teh hangat. “Ayahmu, Darian, adalah pedagang kaya yang terkenal di Ashbourne. Saat ia melamarku, aku merasa seperti wanita paling beruntung di dunia. Kami jatuh cinta pada pandangan pertama, dan segalanya tampak seperti mimpi yang indah.”

Rea duduk di lantai, menyandarkan punggungnya ke kaki ibunya, mendengarkan dengan saksama seperti anak kecil yang mendengar dongeng.

“Tapi, kebahagiaan itu tidak bertahan lama,” lanjut Amelia, suaranya merendah. “Keluarga ayahmu tidak pernah benar-benar menerima kehadiranku. Aku hanya bangsawan tingkat rendah, sedangkan mereka adalah keluarga terpandang. Bagiku, cinta sudah cukup. Tapi, mereka memandangku sebagai noda dalam darah mereka.”

Amelia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Ketika kau lahir, semuanya berubah. Ayahmu yang dulu penuh cinta mulai menjauh. Ia lebih sering berada di luar rumah, meninggalkan kita. Pada akhirnya, keluarganya memutuskan bahwa aku harus pergi. Mereka memalsukan kematianku agar Darian bisa menikah lagi tanpa melanggar hukum Vordania.”

Rea menggigit bibirnya, menahan perasaan marah yang mulai timbul dalam dirinya. Ia tahu ibunya selalu mencoba terlihat kuat, tetapi luka itu jelas masih membekas dalam hatinya.

“Aku tidak ingin kau mengulang kesalahan yang sama, Rea,” kata Amelia, menatap putrinya dengan mata yang penuh kasih. “Cinta memang indah, tapi kau harus berhati-hati. Jangan pernah menyerahkan dirimu kepada seseorang hanya karena janji manis. Lihatlah apa yang terjadi pada ibumu ini. Aku kehilangan segalanya hanya karena aku terlalu percaya.”

Rea menatap ibunya dengan serius. “Aku mengerti, Bu. Aku tidak akan mudah percaya kepada siapa pun. Aku janji.”

“Bagus, sayang. Ingat, seorang wanita harus menjaga kehormatannya. Jangan pernah biarkan dirimu hamil di luar nikah. Kau tahu betapa sulitnya hidup sebagai ibu tunggal. Dunia ini tidak adil bagi wanita seperti kita. Kita harus melindungi diri kita sendiri.”

Rea mengangguk, menyimpan setiap kata ibunya dalam hati. Pesan itu bukan hanya peringatan, tetapi juga pelajaran berharga dari seorang wanita yang telah berjuang melalui kesulitan hidup. Baginya, ibunya adalah simbol kekuatan, meski di balik semua itu tersimpan luka yang dalam.

 Meski hidup mereka sederhana, Amelia selalu menekankan pentingnya pendidikan dan kerja keras. Ia ingin Rea tumbuh menjadi wanita yang mandiri dan kuat, tidak seperti dirinya yang harus bergantung pada orang lain.

“Rea, ingatlah ini,” katanya suatu pagi ketika mereka sedang mengemas hasil panen untuk dibawa ke pasar. “Jangan pernah menyerahkan seluruh hidupmu pada seseorang, bahkan jika kau mencintainya. Kau harus selalu memiliki sesuatu untuk dirimu sendiri.”

Rea mengangguk. Ia tahu ibunya berkata demikian karena pengalamannya sendiri, tetapi di dalam hatinya, ia masih menyimpan harapan untuk menemukan cinta sejati—cinta yang tidak hanya memberi, tetapi juga menerima.

Pasar di desa Rivendale selalu ramai pada hari pasar. Para pedagang dari berbagai daerah datang membawa barang dagangan mereka. Rea dan Amelia menjual tanaman obat dan kayu bakar di salah satu sudut pasar.

“Daun ini bagus untuk menyembuhkan luka,” kata Rea kepada seorang pelanggan, seorang pria paruh baya yang tampak seperti petualang.

“Berapa harganya?” tanyanya.

Rea menyebutkan harga, dan pria itu membelinya tanpa tawar-menawar. Setelah itu, ia berbincang sebentar dengan Rea tentang hutan di sekitar Rivendale.

“Kau tahu, aku pernah mendengar cerita tentang jenderal yang tertidur di hutan ini. Apa kau percaya itu?” tanyanya sambil tersenyum.

Rea hanya menggeleng. “Itu hanya cerita lama. Tidak ada yang benar-benar percaya.”

Dalam mimpinya, ia melangkah di tengah hutan yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya rembulan yang samar menembus dedaunan. Udara di sekitarnya terasa dingin dan lembap. Langkahnya terhenti ketika ia melihat mulut sebuah gua yang tampak mencurigakan. Mulut gua itu dihiasi akar-akar besar yang menggantung, seolah menantangnya untuk masuk.

Dengan ragu, Rea melangkah ke dalam gua. Suara langkah kakinya bergema di dinding batu yang basah. Semakin dalam ia melangkah, udara semakin berat, namun anehnya, ia merasa ada sesuatu yang menuntunnya.

Setelah beberapa saat berjalan, Rea tiba di sebuah ruangan besar di dalam gua. Di tengah ruangan itu berdiri sebuah pohon besar yang aneh. Pohon itu bercahaya keemasan, tetapi auranya terasa dingin dan misterius. Daun-daunnya tidak seperti daun biasa; mereka berkilauan seperti kristal, dan akar-akarnya menjalar ke seluruh lantai gua, seolah menyatu dengan tempat itu.

Rea mendekati pohon itu dengan hati-hati. Ia merasa pohon itu memancarkan kekuatan yang luar biasa. Saat tangannya hampir menyentuh batang pohon, tiba-tiba, dari balik pohon itu, muncul seorang laki-laki.

Wajah laki-laki itu tidak jelas. Seolah-olah kabut mengelilingi wajahnya, menyembunyikan identitasnya. Namun, tubuhnya tinggi dan tegap. Rambutnya panjang dan berkilau seperti benang perak yang memantulkan cahaya dari pohon. Ia mengenakan pakaian kuno dengan jubah yang berkibar meskipun tidak ada angin.

Laki-laki itu tersenyum lembut, tetapi senyumnya menyiratkan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan—antara kehangatan dan bahaya.

“Kau datang,” katanya dengan suara dalam yang menggema di seluruh gua. “Aku sudah menunggumu.”

Rea tertegun, tidak tahu harus berkata apa. Ia mencoba melangkah mundur, tetapi akar pohon itu tiba-tiba merayap dan melingkari kakinya, memaksanya tetap di tempat.

“Siapa... siapa kau?” suara Rea bergetar.

Laki-laki itu tidak langsung menjawab. Ia hanya mengulurkan tangannya ke arah Rea, seolah mengundangnya untuk mendekat.

“Bukan aku yang penting, Rea,” katanya pelan.

Seketika, ruangan gua itu berubah. Cahaya dari pohon semakin terang hingga hampir menyilaukan. Akar-akar di sekitar mulai bergerak, seolah hidup, dan suara gemuruh terdengar dari dinding gua.

Rea menjerit, “Apa yang kau lakukan?!”

Laki-laki itu hanya tertawa kecil. “Aku tidak melakukan apa-apa. Semua ini sudah menjadi takdirmu.”

Rea terbangun dengan napas terengah-engah. Tubuhnya basah oleh keringat, dan hatinya berdetak kencang. Ia menggigil, meski selimut menutupi tubuhnya. Matanya liar memindai setiap sudut kamar, memastikan bahwa ia benar-benar berada di tempat yang aman.

“Ini... hanya mimpi,” gumamnya pelan, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Namun, saat ia melongok ke arah telapak tangannya, tubuhnya membeku.

Di sana, di tengah telapak tangan kirinya, ada tanda merah kecil—seperti bekas luka bakar. Bentuknya melingkar dengan pola aneh, seolah-olah ukiran kuno yang membara telah menempel di kulitnya. Rea terkejut, matanya membelalak.

“Apa ini?” bisiknya panik. Ia menggosok tangannya dengan keras, berharap tanda itu akan hilang. Namun, tanda itu tetap ada, merah menyala seperti bara api.

Tiba-tiba, tanda itu memudar perlahan-lahan, seperti tinta yang diserap oleh kulitnya. Rea hanya bisa menyaksikan dengan perasaan campur aduk antara lega dan ketakutan. Dalam hitungan detik, tanda merah itu benar-benar menghilang, meninggalkan telapak tangannya bersih seperti sebelumnya.

Namun, Rea masih merasakan sensasi hangat di tempat tanda itu berada, seperti bayangan yang tidak terlihat namun terus membekas. Ia meraih tangannya, menggenggamnya erat, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.

“Ini tidak mungkin hanya mimpi…” pikirnya, matanya terpaku ke arah jendela. Bulan yang sama seperti dalam mimpinya tampak bersinar redup di langit malam. Tapi kini, Rea tahu ada sesuatu yang lebih besar sedang menantinya. Sesuatu yang tidak bisa ia abaikan.

Ramuan Elixir Lume

Matahari pagi mulai menyentuh dedaunan hutan yang rimbun. Rea, gadis muda yang tinggal di pinggir hutan, memulai harinya seperti biasa. Ia duduk di meja kecil di dapur rumah kayu sederhana miliknya bersama ibunya, Amelia.

Rea menyuapkan nasi ke mulutnya, lalu menatap ibunya yang sedang sibuk mempersiapkan bahan makanan untuk hari itu. Ia mencoba menenangkan pikirannya, tetapi rasa penasaran yang terus menggelitik tak bisa ia abaikan.

"Ibu, bolehkah aku bertanya sesuatu?" Rea membuka percakapan dengan hati-hati.

Amelia menghentikan kegiatannya sejenak. "Tentu saja, Sayang. Apa yang ingin kau tanyakan?"

Rea menarik napas dalam-dalam. "Apa benar aku adalah... mayat hidup?"

Amelia terkejut. Sendok yang dipegangnya jatuh ke lantai. Ia menatap putrinya dengan mata yang penuh keterkejutan dan kesedihan. "Darimana kau mendengar itu, Rea?"

"Aku tahu dari pasar, Bu," kata Rea pelan. "Ada selebaran yang menyebutkan seorang wanita yang memelihara mayat hidup. Aku mendengar orang-orang berbicara. Mereka bilang aku seperti itu."

Amelia menundukkan kepala, air mata mengalir di pipinya. "Rea... sebenarnya, itu benar. Kau memang meminum ramuan Elixir Lume saat kau masih kecil."

Rea terdiam, hatinya seakan berhenti berdetak. "Kenapa aku harus meminum itu, Bu?"

Amelia menghapus air matanya. "Kau terlahir prematur, Rea. Tubuhmu sangat lemah, dan dokter mengatakan kau mungkin tidak akan bertahan hidup lebih lama. Ibu tidak bisa kehilanganmu, jadi ibu mencari cara untuk menyelamatkanmu."

"Ramuan itu?"

Amelia mengangguk. "Ramuan Elixir Lume dibuat dari bahan-bahan yang mengerikan, termasuk mayat musuh pembuatnya, tetapi itu satu-satunya harapan ibu. Ramuan itu dapat menyembuhkan penyakit parah, bahkan membangkitkan yang sudah mati. Namun, ramuan itu juga membawa kutukan."

Rea terdiam, mencoba mencerna semuanya. "Jadi, aku ini sebenarnya apa, Bu? Apakah aku masih manusia?"

Amelia menggenggam tangan putrinya erat-erat. "Kau adalah anakku, Rea. Itu yang terpenting. Jangan biarkan kata-kata orang lain merusak hatimu. Kau adalah alasan ibu masih hidup sampai sekarang."

Rea menatap ibunya, matanya berkaca-kaca. "Aku akan pergi ke pasar hari ini, Bu. Kau jangan keluar rumah. Wajah ibu ada di selebaran itu. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu."

Amelia ingin protes, tetapi ia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan putrinya yang keras kepala. "Baiklah, Rea. Tapi hati-hatilah di pasar. Jangan terlalu lama di sana."

Rea mengambil keranjang kecil berisi tanaman obat dan kayu bakar, lalu melangkah keluar rumah. Jalan setapak dari batu kecil mengarah ke hutan yang lebat. Udara pagi terasa segar, tetapi ada sesuatu yang membuat langkahnya terasa berat.

Di sepanjang perjalanan, ia melihat pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, dahan-dahannya membentuk kanopi yang menghalangi sinar matahari. Suara gemericik sungai kecil di kejauhan menemaninya, tetapi keindahan ini tidak mampu menghapus kegelisahan di hatinya.

Setelah hampir setengah jam berjalan, Rea mulai mendekati desa. Rumah-rumah dengan atap jerami mulai terlihat, dan suara aktivitas pasar mulai terdengar.

Pasar itu ramai seperti biasa. Para pedagang menjajakan dagangan mereka, dari sayuran segar hingga kain tenun. Aroma roti baru yang dipanggang bercampur dengan wangi rempah-rempah, menciptakan suasana yang hangat.

Rea langsung menuju toko obat langganannya, Apotek Lumina.

"Selamat pagi, Kak Jasmine," sapa Rea dengan senyum kecil.

"Oh, Rea! Apa yang kau bawa kali ini?" Jasmine menyambutnya dengan ramah.

"Ini ada nettle, lemon balm, dan hawthorn. Semuanya baru kupetik pagi ini."

Jasmine memeriksa tanaman itu dengan teliti. "Tanaman ini sangat bagus, seperti biasa. Totalnya satu perak lima puluh sen."

Rea tersenyum lega. "Terima kasih, Kak Jasmine."

Namun, sebelum pergi, Jasmine mendekatinya. "Rea, hati-hati ya. Ada rumor di pasar tentang seorang penyihir hitam dan mayat hidup yang dipeliharanya. Mereka bilang orang itu tinggal di dekat hutan."

Jantung Rea berdegup kencang. Ia hanya mengangguk dan cepat-cepat meninggalkan toko itu.

Setelah selesai berbelanja, Rea melangkahkan kakinya meninggalkan pasar. Keranjang kecil di tangannya terisi penuh dengan bahan makanan—roti gandum, mentega, daging asin, dan beberapa bumbu dapur. Namun, meskipun tangannya penuh, pikirannya kosong. Kata-kata Jasmine tentang penyihir hitam dan mayat hidup terus menghantui benaknya.

Rea melewati jalan tanah yang menghubungkan pasar dengan pinggiran hutan. Udara sore terasa hangat, tetapi angin yang bertiup membawa aroma tanah yang basah setelah embun pagi. Ladang-ladang kecil di pinggir jalan mulai sepi, para petani sudah kembali ke rumah masing-masing. Di kejauhan, burung-burung gereja terbang membentuk formasi, pulang menuju sarang mereka.

Langkah Rea membawa dirinya ke tepi hutan, tempat pohon-pohon besar menjulang tinggi membentuk bayangan yang panjang. Jalan setapak mulai terasa lebih sunyi. Sesekali, ia mendengar suara gemerisik dedaunan di atas kepalanya—mungkin hanya angin, mungkin juga tupai kecil yang sedang melompat di antara dahan-dahan.

Di sisi jalan, ia melihat bunga liar berwarna-warni bermekaran di sela-sela rumput. Bunga itu tampak begitu cerah di bawah cahaya senja, seolah mencoba memberikan kehangatan di tengah kesunyian yang mendalam.

Namun, semakin jauh ia melangkah ke dalam hutan, suasananya berubah. Udara yang hangat tadi mulai terasa dingin. Sinar matahari yang menyusup di antara celah-celah dedaunan semakin redup. Rea merasa ada sesuatu yang mengawasinya, meskipun ketika ia menoleh, tak ada apa pun selain pepohonan tua dan bayangan mereka yang memanjang.

Di tengah perjalanan, Rea berhenti sejenak di tepi sebuah sungai kecil. Sungai itu mengalir tenang, dengan air yang jernih hingga dasar berbatu-batunya terlihat jelas. Ia berjongkok untuk mencuci tangan yang lengket karena memegang keranjang terlalu lama. Saat air menyentuh kulitnya, rasa dinginnya membuatnya sedikit gemetar.

Ketika ia menatap bayangannya di permukaan air, tiba-tiba ada perasaan aneh yang menyelusup ke dalam dirinya. Seolah-olah bayangan itu bukan dirinya, tetapi seseorang atau sesuatu yang lain. Ia buru-buru berdiri dan melanjutkan perjalanan, mencoba mengabaikan perasaan tak nyaman itu.

Saat jalan setapak mulai mendaki, pemandangan di depannya berubah. Dari ketinggian kecil itu, ia bisa melihat cakrawala yang mulai memerah, tanda bahwa matahari hampir tenggelam. Langit yang berwarna jingga berpadu dengan kabut tipis yang mulai turun di atas hutan. Jauh di kejauhan, terlihat desa kecil yang tadi ia tinggalkan, kini hanya tampak seperti titik-titik kecil dengan asap dari cerobong dapur yang mengepul ke udara.

Rea menarik napas panjang, mencoba menikmati ketenangan ini. Tetapi, semakin ia mendekati rumah, semakin kuat perasaan aneh itu. Seolah-olah langkahnya membawa dirinya menuju sesuatu yang tidak ia pahami—sesuatu yang telah menunggunya selama ini.

Setelah melewati pohon terakhir di tepi jalan, rumah kayu sederhana miliknya akhirnya terlihat di depan. Cahaya dari perapian yang menyala di dalam rumah memancar lembut melalui jendela kecil, memberikan rasa hangat di tengah suasana yang dingin dan sunyi.

Rea mempercepat langkahnya, rasa cemas menguasai pikirannya. Ia ingin segera tiba di rumah, merasakan kehangatan pelukan ibunya, dan menyingkirkan semua kekhawatiran yang menghantui benaknya. Namun, di lubuk hatinya yang terdalam, ia tahu bahwa keheningan malam ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.

Saat jarak dengan rumah semakin dekat, perasaan aneh mulai merayap di tubuhnya. Jantungnya berdegup lebih cepat, dan udara terasa semakin berat untuk dihirup. Napasnya memburu, seperti ada yang mendesaknya untuk terus berlari, menjauh dari sesuatu yang tak kasat mata namun terasa begitu nyata.

"Apa ini?" gumam Rea, merasakan getaran samar di dalam dirinya. Ia menggenggam keranjang erat-erat, mencoba menenangkan hatinya, tetapi rasa asing itu tidak kunjung hilang.

Dengan napas terengah-engah, ia akhirnya tiba di depan pintu rumah. Rea berhenti sejenak, tubuhnya berkeringat meski udara malam semakin dingin. Ia memandang pintu kayu tua itu, berharap menemukan ketenangan di baliknya. Namun, perasaan aneh dalam dirinya justru semakin kuat, seolah ada sesuatu yang bergejolak di dalam darahnya, menunggu untuk dilepaskan.

Terlambat

Semenjak dari pasar, aku terus kepikiran dengan ibu. Kenapa aku di sebut mayat hidup, sedangkan aku hidup normal. Dari mana kabar aku adalah mayat hidup padahal aku hidup. Aku hirup lagi udara untuk mengisi paru-paruku supaya penuh dengan udara. Walaupun sedikit bingung dengan semua ini. Aku mau bertanya lagi kepada ibuku.

Suasana hutan yang rimbun memanjakan mataku. Setiap aku pergi ke pasar banyak pemandangan dan juga orang - orang. Orang sibuk membawa hasil bumi dan menjualnya. Adegan tawar menawar membuatku lebih sedikit santai.

Di kejauhan sudah terhampar hutan yang menjulang tinggi. Mulai sudah terlihat rumah sederhana. Rumah yang aku tinggali dengan ibuku. Ibuku adalah harta berharga ku. Aku sambil membawa barang yang aku beli dari pasar.

" Ibu ini barang yang aku beli dari pasar" kataku sambil mencari ibu di dalam rumah.

Tak ada jawaban dari ibuku. Aku mencari ibuku tapi tidak ketemu. Aku langsung menyusun barang barang yang aku beli dari pasar tadi ke tempat penyimpanan. Aku pikir ibuku mencari bahan makanan atau mencuci di sungai. Aku langsung memakan makanan yang ada di meja makan.

Aku langsung pergi kehutan untuk menyusul ibuku. Tapi yang aku lihat adalah pemandangan yang membuatku menangis. Aku melihat darah yang mengalir di kepala ibuku. Akupun langsung memeluk ibuku.

" Ibu ...kenapa ibu begini....?" kataku dengan menahan tangis.

Dengan mata yang hampir tertutup, ibu berusaha menjawab pertanyaan ku. Ibuku memberikan sebuah buku tanganku.

" Sayang, ini pesan terakhir ibu....?" kata ibuku dengan terbata - bata.

" Ibu, aku ambilkan obat untuk ibu ya..." kataku lagi dengan derai air mata.

" Ini adalah hari terakhir ibu, tinggal saja aku di sini. Kamu harus pergi..." kata ibuku lagi.

" Aku mau sama ibu, ibu harus hidup..." kataku sambil membalut luka dengan tanaman obat dan kain.

" Pengawal ayahmu menemukan ibu di sini.. " kata ibu dengan napas yang dalam.

Aku lihat dada ibuku naik turun dengan cepat, seperti ada beban berat yang menekan paru-parunya. Setiap helaan napas terdengar serak, putus-putus, dan tidak teratur, seolah udara di sekitar tidak pernah cukup untuk mengisi paru-parunya. Dia berusaha menarik napas lebih dalam, tapi hanya menghasilkan desahan pendek yang terputus sebelum mencapai tenggorokan.

" Kamu haru pergi dari sini, tinggalkan saja ibu di sini...." kata ibuku lagi.

Sesekali, ibuku memejamkan mata, berharap bisa mengatur ritme pernapasannya kembali.

" Kita pergi sama - sama Bu ..." kataku sambil menangis pilu.

" Kalau ibu pergi, kamu akan bahaya. Kamu harus hidup..." kata ibu lagi.

" Kenapa aku harus hidup Bu... " kata ku dengan berat.

" Kamu harus balas dendam, jangan bunuh ayahmu. Tapi buatlah kamu berhasil dan umumkan pada dunia kamu adalah anak yang dibuang dan kamu berhasil menaklukkan dunia... " kata ibuku sambil mengelus pipiku.

" Ibu..." kataku lagi.

Mata ibuku tidak terbuka lagi. Nafasnya berhenti. Udara terasa tajam di hidung dan tenggorokan, membuatnya semakin gelisah. Keringat dingin membasahi pelipisnya, dan rasa pusing mulai menyerang, membuat pandangannya sedikit kabur. Tangannya menggenggam lutut, mencoba menopang tubuh yang terasa semakin berat. Jantungnya berdegup kencang, beradu dengan ritme napas yang berantakan, seolah tubuhnya bekerja terlalu keras hanya untuk tetap berdiri.

Aku yang masih pusing karena menangis pergi ke dalam hutan. Aku berjalan tanpa memperdulikan tubuhku terkena akar dan tumbuhan berduri. Dunia terasa sepi dan hancur.

Berikut deskripsi suasana masuk ke dalam hutan yang semakin dalam dan menyeramkan. Awalnya, hutan itu tampak tenang dan bersahabat. Cahaya matahari menyusup melalui celah dedaunan lebat, menciptakan pola-pola terang di atas tanah berlumut. Angin sepoi-sepoi membawa aroma segar dari pepohonan pinus yang menjulang tinggi, dan suara burung-burung bernyanyi di kejauhan melengkapi suasana damai. Namun, semakin jauh langkah menapaki jalan setapak yang sempit, kerapatan pepohonan mulai menyelimuti dunia di sekitarnya.

Bayangan pohon yang dahulu hanya membentuk garis lembut kini menjadi gelap pekat, seperti dinding hidup yang menutup pandangan. Langit biru perlahan menghilang, digantikan oleh kanopi hijau gelap yang memblokir sisa-sisa cahaya. Udara yang sebelumnya hangat dan nyaman berubah menjadi dingin menusuk, seolah hutan menyembunyikan rahasia kelam di dalamnya.

Suara burung-burung mendadak lenyap. Yang tersisa hanyalah kesunyian yang memekakkan telinga, sesekali dipecahkan oleh suara ranting patah entah dari mana. Fajar yang cerah berganti menjadi senja, dan tanpa disadari, malam mulai merayap masuk. Kabut tipis muncul dari tanah, menyelimuti pohon-pohon tua yang batangnya penuh lumut.

Kini, setiap langkah terasa berat, tidak hanya karena jalanan menjadi licin oleh dedaunan basah, tetapi juga karena rasa takut yang perlahan menyusup. Suara asing—mungkin angin, atau mungkin sesuatu yang lain—menggemakan bisikan lembut di antara pepohonan. Rasa panik semakin memuncak ketika bayangan gelap di kejauhan tampak bergerak, seperti makhluk yang mengintai dari dalam kegelapan.

Di tengah hutan, malam sepenuhnya mengambil alih. Hanya ada kegelapan yang pekat, ditemani oleh suara serangga malam yang terdengar seperti nyanyian penghantar mimpi buruk. Cahaya bulan sesekali menyelinap melalui celah-celah daun, namun terlalu redup untuk memberikan rasa aman. Hutan Eropa itu kini terasa seperti labirin tak berujung, tempat di mana waktu dan arah seolah berhenti, meninggalkan siapa pun yang masuk terperangkap dalam keheningan yang mencekam.

Aku duduk termenung sambil menggenggam buku yanga ada di tanganku. Aku tidak berpikir kehilangan ibuku secara mendadak. Aku tidak menyangka mereka memeriksa setiap rumah, apalagi rumahku yang berada di pinggir hutan.

Aku berusaha menarik nafas sedalam dalamnya. Tapi rasanya seperti ada lubang besar di dalam dada, kosong namun berat, menghimpit setiap tarikan napas. Dunia yang dulu terasa penuh warna kini memudar menjadi abu-abu, seolah kehilangan nyawa bersamanya. Setiap sudut rumah menjadi pengingat kehadirannya yang kini hanya tinggal kenangan apalagi aroma masakan ibu kemudian suara lembutnya memarahiku kerena sering berteriak atau nakal, atau tawa kecilnya yang dulu memenuhi ruangan kini tiada lagi. Aku kehilangan rumah dan juga ibu.

Aku pikir aku akan kembali ke rumah, tapi entahlah. Aku tidur dulu dan bersandar di pohon oak yang besar. Batang pohon itu besar dan kokoh, dengan kulit kayu yang kasar dan sedikit retak, memberikan kesan tua namun penuh wibawa. Pohon ini berdiri menjulang, akarnya yang besar dan menjalar mencengkeram tanah dengan kuat, seolah-olah memeluk bumi. Di bawah kanopi dedaunan yang lebat, cahaya matahari tersaring menjadi sinar-sinar lembut yang menari di permukaan tanah.

Batangnya cukup lebar untuk menahan punggung ku yang habis menangis, pohon oak ini memberikan rasa nyaman saat bersandar. Aku tertidur di dekapan pohon oak dan menunggu besok.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!