Terlambat

Semenjak dari pasar, aku terus kepikiran dengan ibu. Kenapa aku di sebut mayat hidup, sedangkan aku hidup normal. Dari mana kabar aku adalah mayat hidup padahal aku hidup. Aku hirup lagi udara untuk mengisi paru-paruku supaya penuh dengan udara. Walaupun sedikit bingung dengan semua ini. Aku mau bertanya lagi kepada ibuku.

Suasana hutan yang rimbun memanjakan mataku. Setiap aku pergi ke pasar banyak pemandangan dan juga orang - orang. Orang sibuk membawa hasil bumi dan menjualnya. Adegan tawar menawar membuatku lebih sedikit santai.

Di kejauhan sudah terhampar hutan yang menjulang tinggi. Mulai sudah terlihat rumah sederhana. Rumah yang aku tinggali dengan ibuku. Ibuku adalah harta berharga ku. Aku sambil membawa barang yang aku beli dari pasar.

" Ibu ini barang yang aku beli dari pasar" kataku sambil mencari ibu di dalam rumah.

Tak ada jawaban dari ibuku. Aku mencari ibuku tapi tidak ketemu. Aku langsung menyusun barang barang yang aku beli dari pasar tadi ke tempat penyimpanan. Aku pikir ibuku mencari bahan makanan atau mencuci di sungai. Aku langsung memakan makanan yang ada di meja makan.

Aku langsung pergi kehutan untuk menyusul ibuku. Tapi yang aku lihat adalah pemandangan yang membuatku menangis. Aku melihat darah yang mengalir di kepala ibuku. Akupun langsung memeluk ibuku.

" Ibu ...kenapa ibu begini....?" kataku dengan menahan tangis.

Dengan mata yang hampir tertutup, ibu berusaha menjawab pertanyaan ku. Ibuku memberikan sebuah buku tanganku.

" Sayang, ini pesan terakhir ibu....?" kata ibuku dengan terbata - bata.

" Ibu, aku ambilkan obat untuk ibu ya..." kataku lagi dengan derai air mata.

" Ini adalah hari terakhir ibu, tinggal saja aku di sini. Kamu harus pergi..." kata ibuku lagi.

" Aku mau sama ibu, ibu harus hidup..." kataku sambil membalut luka dengan tanaman obat dan kain.

" Pengawal ayahmu menemukan ibu di sini.. " kata ibu dengan napas yang dalam.

Aku lihat dada ibuku naik turun dengan cepat, seperti ada beban berat yang menekan paru-parunya. Setiap helaan napas terdengar serak, putus-putus, dan tidak teratur, seolah udara di sekitar tidak pernah cukup untuk mengisi paru-parunya. Dia berusaha menarik napas lebih dalam, tapi hanya menghasilkan desahan pendek yang terputus sebelum mencapai tenggorokan.

" Kamu haru pergi dari sini, tinggalkan saja ibu di sini...." kata ibuku lagi.

Sesekali, ibuku memejamkan mata, berharap bisa mengatur ritme pernapasannya kembali.

" Kita pergi sama - sama Bu ..." kataku sambil menangis pilu.

" Kalau ibu pergi, kamu akan bahaya. Kamu harus hidup..." kata ibu lagi.

" Kenapa aku harus hidup Bu... " kata ku dengan berat.

" Kamu harus balas dendam, jangan bunuh ayahmu. Tapi buatlah kamu berhasil dan umumkan pada dunia kamu adalah anak yang dibuang dan kamu berhasil menaklukkan dunia... " kata ibuku sambil mengelus pipiku.

" Ibu..." kataku lagi.

Mata ibuku tidak terbuka lagi. Nafasnya berhenti. Udara terasa tajam di hidung dan tenggorokan, membuatnya semakin gelisah. Keringat dingin membasahi pelipisnya, dan rasa pusing mulai menyerang, membuat pandangannya sedikit kabur. Tangannya menggenggam lutut, mencoba menopang tubuh yang terasa semakin berat. Jantungnya berdegup kencang, beradu dengan ritme napas yang berantakan, seolah tubuhnya bekerja terlalu keras hanya untuk tetap berdiri.

Aku yang masih pusing karena menangis pergi ke dalam hutan. Aku berjalan tanpa memperdulikan tubuhku terkena akar dan tumbuhan berduri. Dunia terasa sepi dan hancur.

Berikut deskripsi suasana masuk ke dalam hutan yang semakin dalam dan menyeramkan. Awalnya, hutan itu tampak tenang dan bersahabat. Cahaya matahari menyusup melalui celah dedaunan lebat, menciptakan pola-pola terang di atas tanah berlumut. Angin sepoi-sepoi membawa aroma segar dari pepohonan pinus yang menjulang tinggi, dan suara burung-burung bernyanyi di kejauhan melengkapi suasana damai. Namun, semakin jauh langkah menapaki jalan setapak yang sempit, kerapatan pepohonan mulai menyelimuti dunia di sekitarnya.

Bayangan pohon yang dahulu hanya membentuk garis lembut kini menjadi gelap pekat, seperti dinding hidup yang menutup pandangan. Langit biru perlahan menghilang, digantikan oleh kanopi hijau gelap yang memblokir sisa-sisa cahaya. Udara yang sebelumnya hangat dan nyaman berubah menjadi dingin menusuk, seolah hutan menyembunyikan rahasia kelam di dalamnya.

Suara burung-burung mendadak lenyap. Yang tersisa hanyalah kesunyian yang memekakkan telinga, sesekali dipecahkan oleh suara ranting patah entah dari mana. Fajar yang cerah berganti menjadi senja, dan tanpa disadari, malam mulai merayap masuk. Kabut tipis muncul dari tanah, menyelimuti pohon-pohon tua yang batangnya penuh lumut.

Kini, setiap langkah terasa berat, tidak hanya karena jalanan menjadi licin oleh dedaunan basah, tetapi juga karena rasa takut yang perlahan menyusup. Suara asing—mungkin angin, atau mungkin sesuatu yang lain—menggemakan bisikan lembut di antara pepohonan. Rasa panik semakin memuncak ketika bayangan gelap di kejauhan tampak bergerak, seperti makhluk yang mengintai dari dalam kegelapan.

Di tengah hutan, malam sepenuhnya mengambil alih. Hanya ada kegelapan yang pekat, ditemani oleh suara serangga malam yang terdengar seperti nyanyian penghantar mimpi buruk. Cahaya bulan sesekali menyelinap melalui celah-celah daun, namun terlalu redup untuk memberikan rasa aman. Hutan Eropa itu kini terasa seperti labirin tak berujung, tempat di mana waktu dan arah seolah berhenti, meninggalkan siapa pun yang masuk terperangkap dalam keheningan yang mencekam.

Aku duduk termenung sambil menggenggam buku yanga ada di tanganku. Aku tidak berpikir kehilangan ibuku secara mendadak. Aku tidak menyangka mereka memeriksa setiap rumah, apalagi rumahku yang berada di pinggir hutan.

Aku berusaha menarik nafas sedalam dalamnya. Tapi rasanya seperti ada lubang besar di dalam dada, kosong namun berat, menghimpit setiap tarikan napas. Dunia yang dulu terasa penuh warna kini memudar menjadi abu-abu, seolah kehilangan nyawa bersamanya. Setiap sudut rumah menjadi pengingat kehadirannya yang kini hanya tinggal kenangan apalagi aroma masakan ibu kemudian suara lembutnya memarahiku kerena sering berteriak atau nakal, atau tawa kecilnya yang dulu memenuhi ruangan kini tiada lagi. Aku kehilangan rumah dan juga ibu.

Aku pikir aku akan kembali ke rumah, tapi entahlah. Aku tidur dulu dan bersandar di pohon oak yang besar. Batang pohon itu besar dan kokoh, dengan kulit kayu yang kasar dan sedikit retak, memberikan kesan tua namun penuh wibawa. Pohon ini berdiri menjulang, akarnya yang besar dan menjalar mencengkeram tanah dengan kuat, seolah-olah memeluk bumi. Di bawah kanopi dedaunan yang lebat, cahaya matahari tersaring menjadi sinar-sinar lembut yang menari di permukaan tanah.

Batangnya cukup lebar untuk menahan punggung ku yang habis menangis, pohon oak ini memberikan rasa nyaman saat bersandar. Aku tertidur di dekapan pohon oak dan menunggu besok.

Terpopuler

Comments

Subaru Sumeragi

Subaru Sumeragi

Begitu terobsesi sama cerita ini, sampai lahap ngelusin buku dari layar!

2025-01-02

1

lihat semua
Episodes
1 Anak Yang Malang
2 Ramuan Elixir Lume
3 Terlambat
4 Harus kuat
5 Tinggal di Hutan
6 Pohon Aneh
7 Bangkitnya Sang Jendral
8 Pertanda dari Langit
9 Orde Cahaya Biru
10 Gosip Baru
11 Gerbang yang Terbuka
12 Propaganda Bulan Biru
13 Bayiku yang Malang
14 Kembali ke dunia.
15 Ramalan Palsu
16 Siapa Bayi Itu?
17 Rencana Pembangunan Wilayah
18 Protes
19 Rencana Pembangunan
20 Kebangkitan Rivendale
21 Pembangunan Pertama
22 Pembangunan Kedua
23 Pembangunan Ke Tiga
24 Denyut Nadi Rivendale
25 Pembangunan Dermaga dan Pasar yang Ramai
26 Rencana Jahat Raja Alistair
27 Menebar Racun
28 Restoran Sarapan Tepi Dermaga Rivendale
29 Keributan di The Morning Hearth
30 Rivendale Kota Kacau
31 Rivendale Terkepung oleh Wabah
32 Keberangkatan Rea ke Desa Elden
33 Kota Rivendale Setelah Kepergian Rea
34 Kesepian
35 Usaha Perbaikan Desa Elden
36 Mengatasi Masalah Baru
37 Pulang Kembali
38 Merencanakan Masa Depan Kesehatan
39 Pembangunan Rumah Kaca di Musim Salju
40 Harapan di Musim Salju
41 Kota Rivendale berbenah
42 Masalah Pembangunan
43 Kota Rivendale yang Maju
44 Kota Rivendale Kembali Bangkit
45 Rencana Raja Alistair
46 Infiltrator (Penyusup)
47 Rencana ke Pesta
48 Istirahat
49 Perjalanan ke Kerajaan
50 Mencari Informasi
51 Pesta
52 Pesta dimulai
53 Provokasi Raja
54 Misi di Balik Pesta
55 Siapa Aku ?
56 Dongeng Pangeran yang Hilang
57 Tunggu Aku
58 Elise dan Dongeng Rahasia untuk Kaelan
59 Aku Tahu Siapa Aku
60 Rencana Kabur 1
61 Rencana Kabur 2
62 Pergi
63 Mencari Pangeran
64 Perjalanan Menuju Markas Orde Bulan Biru
65 Pertemuan Dua Kaelan
66 Pertemuan dengan Keluarga
67 Perasaan Apa Ini?
68 Kabar Pangeran Hilang
69 Rencana Lord Adric
70 Mengganti Nama
71 Malam yang Tenang Sebelum Badai
72 Kedatangan Orde Bulan Biru di Rivendale
73 Namaku Roman
74 Desas-desus di Ibu Kota
75 Menuju Penghakiman
76 Pengadilan Terbuka di Ibu Kota:
77 Ramuan Ikatan Darah
78 Pedang Pewaris
79 Kekacauan di Ibu Kota
80 Raja yang Murka
81 Perintah Raja
82 Surat dari Bangsawan Kerajaan
83 Persiapan Perang
84 Perang akan dimulai
85 Perang di mulai
86 Bakar Perbekalan Raja
87 Perang dengan Taktik
88 Asap
89 Pasukan Zombie
90 Pasukan Raja Terdesak
91 Raja Kabur
92 Kabar Kematian Raja
93 Kematian Sang Raja
94 Kota Rivendale yang Kembali Hidup
95 Menuju Takdir
96 Kaelan Diangkat Menjadi Raja
97 Akhir yang Bahagia
Episodes

Updated 97 Episodes

1
Anak Yang Malang
2
Ramuan Elixir Lume
3
Terlambat
4
Harus kuat
5
Tinggal di Hutan
6
Pohon Aneh
7
Bangkitnya Sang Jendral
8
Pertanda dari Langit
9
Orde Cahaya Biru
10
Gosip Baru
11
Gerbang yang Terbuka
12
Propaganda Bulan Biru
13
Bayiku yang Malang
14
Kembali ke dunia.
15
Ramalan Palsu
16
Siapa Bayi Itu?
17
Rencana Pembangunan Wilayah
18
Protes
19
Rencana Pembangunan
20
Kebangkitan Rivendale
21
Pembangunan Pertama
22
Pembangunan Kedua
23
Pembangunan Ke Tiga
24
Denyut Nadi Rivendale
25
Pembangunan Dermaga dan Pasar yang Ramai
26
Rencana Jahat Raja Alistair
27
Menebar Racun
28
Restoran Sarapan Tepi Dermaga Rivendale
29
Keributan di The Morning Hearth
30
Rivendale Kota Kacau
31
Rivendale Terkepung oleh Wabah
32
Keberangkatan Rea ke Desa Elden
33
Kota Rivendale Setelah Kepergian Rea
34
Kesepian
35
Usaha Perbaikan Desa Elden
36
Mengatasi Masalah Baru
37
Pulang Kembali
38
Merencanakan Masa Depan Kesehatan
39
Pembangunan Rumah Kaca di Musim Salju
40
Harapan di Musim Salju
41
Kota Rivendale berbenah
42
Masalah Pembangunan
43
Kota Rivendale yang Maju
44
Kota Rivendale Kembali Bangkit
45
Rencana Raja Alistair
46
Infiltrator (Penyusup)
47
Rencana ke Pesta
48
Istirahat
49
Perjalanan ke Kerajaan
50
Mencari Informasi
51
Pesta
52
Pesta dimulai
53
Provokasi Raja
54
Misi di Balik Pesta
55
Siapa Aku ?
56
Dongeng Pangeran yang Hilang
57
Tunggu Aku
58
Elise dan Dongeng Rahasia untuk Kaelan
59
Aku Tahu Siapa Aku
60
Rencana Kabur 1
61
Rencana Kabur 2
62
Pergi
63
Mencari Pangeran
64
Perjalanan Menuju Markas Orde Bulan Biru
65
Pertemuan Dua Kaelan
66
Pertemuan dengan Keluarga
67
Perasaan Apa Ini?
68
Kabar Pangeran Hilang
69
Rencana Lord Adric
70
Mengganti Nama
71
Malam yang Tenang Sebelum Badai
72
Kedatangan Orde Bulan Biru di Rivendale
73
Namaku Roman
74
Desas-desus di Ibu Kota
75
Menuju Penghakiman
76
Pengadilan Terbuka di Ibu Kota:
77
Ramuan Ikatan Darah
78
Pedang Pewaris
79
Kekacauan di Ibu Kota
80
Raja yang Murka
81
Perintah Raja
82
Surat dari Bangsawan Kerajaan
83
Persiapan Perang
84
Perang akan dimulai
85
Perang di mulai
86
Bakar Perbekalan Raja
87
Perang dengan Taktik
88
Asap
89
Pasukan Zombie
90
Pasukan Raja Terdesak
91
Raja Kabur
92
Kabar Kematian Raja
93
Kematian Sang Raja
94
Kota Rivendale yang Kembali Hidup
95
Menuju Takdir
96
Kaelan Diangkat Menjadi Raja
97
Akhir yang Bahagia

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!