POV Yugi Valerga
Ku sediakan pundakku setiap saat untukmu. Aku senang ketika kau merasa perlu menaiki mobilku, meski itu sekedar alasan jika kau tak ingin melakukan pemborosan terhadap pengeluaranmu, dan aku senang itu. Kanaya.. aku begitu jahat pada diriku sendiri. Seolah aku selalu sedia untukmu kapan saja, ketika kondisimu dalam keadaan terburuk sekalipun, aku akan selalu ada untukmu.
Kanaya, seandainya aku dapat meluapkan segala perasaanku tanpa ketakutan sama sekali. Aku takut menyakitimu, Kanaya. Sama seperti setiap lelaki yang pernah dekat denganmu. Biarlah aku mencintaimu dalam diam, hanya menjadi penenang hatimu, ada di setiap kau membutuhkanku.
Kanaya sudah mulai kembali bersandar di bahuku. Aku cukup tahu, selanjutnya ia akan terlelap seperti biasanya. Tak ku perdulikan rasa pegal, meski ketika jauh perjalanan.
"Ugi..." ujarnya lirih.
"Iya." Aku fokus pada laju kemudi.
"Kamu gak mau cari asisten pribadi?"
"Aku masih bisa menghandle semuanya, Mbak."
"Emh, kalo kamu gak punya asisten, aku juga gak mau punya asisten."
"Kenapa harus tergantung aku?"
"Kan kamu selalu jadi lawan main aku. Di setiap film, kita selalu bersama. Dan kamu selalu mampu mengurus semuanya. Lagian kita belum perlu-perlu banget juga kan?"
Aku tersenyum. "Kalo suatu hari nanti kita udah gak satu film, atau bahkan satu management?"
"Kamu mau pindah?"
"Enggak sii..."
"Kamu harus ngundurin diri dari dunia perfilman, kamu harus banting setir jadi asisten pribadi akuh." Ia menguap dengan manja.
"Haha.. apapun untukmu, Mbak."
Tak kudengar lagi suara ia berceloteh selain hanya dengkuran halus yang setia menemani kala ia terlelap dalam hangat bahu kekar milikku. Aku toleh sekejap, ku usap-usap kepalanya, membuat surai itu terlepas dari sanggahan telinganya. Kanaya, aku cium keningnya tanpa ia sadari, tetap ku jaga supaya wajah cantik itu tak terjatuh dari tempat ia semula terlelap.
Kanaya.. oh.. ia memang senang memeluk seperti ini dalam keadaan tertidur. Aku sendiri tidak tahu apa yang ada dalam hatinya saat ini. Aku mencintaimu, Kanaya. Apa kau sendiri merasakan hal yang sama? Disaat kau memperlakukanku lebih, tapi kau pula menjalin hubungan spesial dengan orang lain. Aku tersenyum geli pada diriku sendiri. Harusnya aku sadar, mungkin Kanaya padaku hanya sekedar mencari kemistri saja.
~Yugi Valerga~
"Ugi..."
"Iya."
"Nanti pas ada scene romantisnya, kamu cium aku ya..." masih dalam keadaan mata tertutup.
"Ya emang biasanya juga kayak gitu kan Mbak?" Yugi masih fokus pada laju jalanan.
"Maksud aku, kamu ciumnya lebih lagi.. lebih.. lebih romantis.."
Sesaat Yugi menoleh pada Kanaya yang tak urung membuka matanya. Ia masih terlelap dan kembali pada dengkur halus dengan pelukan semakin erat.
"Ugi...." kembali.
"Iya.."
"Masih jauh gak?"
"Kenapa? Mau pipis?"
"Hem-em." Kanaya bangun dan menggisik matanya.
"Bentar, kita cari mesjid ya, biasanya suka sekalian ada sama toiletnya."
"Ugi..."
"Hem?"
"Yang boleh manggil kamu dengan sebutan Ugi cuman aku, yang lain gak boleh."
"Aish, monopoly rupanya. Haha..."
"Gi, pacar aku.. dia kan udah hianatin aku. Aku harus gimana ya?"
Yugi masih fokus pada laju kemudi, sambil kedua matanya melirik kanan kiri mencari adanya tempat ibadah untuk sekedar numpang ke toiletnya saja.
"Itu masalah Mbak, keputusan ada pada Mbak sendiri."
"Kamu...?"
Mobil itu perlahan terhenti tepat di depan gerbang sebuah mesjid bertingkat. Yugi menoleh, ia tersenyum.
"Aku tak punya hak apa-apa untuk melarang kamu, Mbak. Kamu punya hati, punya perasaan dan harusnya sudah bisa memutuskan segalanya sendiri."
"Haha, iya. Kita kan cuma teman." Kanaya menepuk lutut Yugi dan meremasnya gemas. "Aku turun sebentar. Kamu jangan ninggalin ya.." menuding wajah Yugi seolah tengah mengancam.
"Haha, oke Tuan Putri..." mengangkat jempol.
Kanaya tersenyum sambil ia berlalu menekan dadanya. Merasakan ada yang sesak atas apa yang terjadi pada hatinya. Tentu saja ia dan Yugi hanya sekedar teman, apa lagi?
POV Kanaya
Aku berjalan keluar dari dal mobil itu. Aku memang sengaja kerap meminta tumpangan hanya sekedar ingin selalu dekat dengannya. Dia begitu tampan, ya Tuhan... Aku mendongakan kepalaku, sekilas menoleh ke arah pohon rindang di depan gerbang mesjid itu. Rasanya mungkin aku memang terbilang kurang ajar, ketika orang-orang datang ke mesjid untuk beribadah, aku justru mendatangi tempat ini untuk membuang ketidak nyamanan saja.
Ku tatap langit yang tampak biru menaungi teriknya. Adakah ia pernah mengucapkan kata cinta untukku? Aku rasa tidak pernah. Dia memang kerap mengatakan suka padaku, tapi selalu di akhiri dengan pernyataan jika ia tak serius dengan apa yang di ucapkannya.
Hah, akupun terlalu malu untuk mengatakan perasaanku yang sebenarnya. Ia terlalu sempurna untuk ku raih. Apa lagi dengan telah terjalin ikatan persahabatan sejak lama, aku tak ingin merusak ikatan suci ini.
Aku menghela nafas, ku lanjutkan langkahku menuju tempat yang memang biasa aku gunakan sebagai alasan untuk meneteskan air mataku. Ya, Yugi tak tahu jika alasan terbesarku ke toilet ketika dengannya adalah untuk menutupi jika aku merasa begitu miris dengan hatiku sendiri.
~Kanaya Adistia~
Yugi memperhatikan gerbang mesjid yang tak kunujung datang juga Kanaya dari sana. Entah sudah berapa kali manager mereka menghubungi karena tak kunjung datang pula ke lokasi. Ah, rasa khawatir mulai meliputi hatinya. Yugi buru-buru turun dari mobilnya, mencari lokasi toilet, tempat wudhu atau apapun yang berkaitan dengan air di tempat itu.
Matanya yang bulat melirik kian kemari. Hingga ia temukan sebuah pitu bertuliskan "Ladies" terpampang di depannya.
Yugi ingin melangkah, tapi ia takut jika di tempat itu masih ada wanita lain yang bisa saja memukulinya karena salah masuk ruangan.
"Mbak..." Yugi mencoba untuk memanggil. "Mbak Kanaya..." ragu ia ingin mengetuk pintu itu.
Ceklek! Pintu ruangan terbuka. Kanaya sudah dengan keadaan yang kusut, matanya sembab dan basah. Ia hanya terdiam sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke dalam pelukan Yugi.
"Kamu sakit, Mbak?"
"Iya, aku sakit hati."
"Pacar kamu..."
"Aku udah putus..." lirihnya dengan suara parau.
"Ssttt.. jangan sedih ya, kita harus segera berangkat untuk syuting hari ini. Dari tadi manager kita sudah menghubungi terus."
Kanaya melepaskan pelukannya, ia menyeka air matanya. Seperti timbul semangat dalam hatinya, binar matanya sudah tampak terlihat lagi. Ia tersenyum, mengangkat bahu.
"Kamu benar, ngapain juga aku nangisin dia? Memang kalo gak ada kamu itu aku gak bisa..."
Ah.. kau selalu membuatku semakin ingin memilikimu___Yugi.
Mengertilah.. tak bisakah kau ucapkan bahwa dirimu menyayangiku, mencintaiku? Kenapa kisah cinta kita harus hanya dalam naskah saja?____Kanaya.
"Berangkat sekarang yuk?"
"Ayo."
...
Dalam keadaan terselubung di bawah selimut tebal di atas ranjang dengan penuh kehangatan yang romantis, Yugi memeluk Kanaya dari belakang, membiarkan gadis pemakai dress putih tipis itu menikmati dalam pejam matanya. Kanaya terbangun sambil menggeliat, ia berbalik dan mencium kening Yugi.
"Morning, honey... apa tidurmu lelap?" Yugi menyibak surai menutupi wajah Kanaya.
Kanaya tersenuyum. "Sangat lelap, sayang."
"Aku bersyukur ketika kau bisa menjadi milikku seutuhnya. Setelah sekian kita berjuang."
"Sekian lama!" sutradara yang duduk memperhatikan itu berteriak pada sebuah toak. "Naskahnya ketinggalan, wajahnya kaku, cemistrinya gak dapet. Sudah kalian datangnya telat!"
Yugi menggaruk tengkuk tak gatal, Kanaya hanya terdiam tak lagk bersuara.
"Ulang!" teriak sutradara itu.
"Action!" Clapper board itu melintas sesaat di hadapan mereka.
Yugi kembali memeluk Kanaya dari belakang, mencoba untuk membalikan tubuh gadis berpakaian dress putih tipis di hadapannya.
"Cut! Cut! Ck, ah.. gimana ini? Kita harus deadline sekarang. Kalian cemistrinya dimana?! Woy! Kalo punya masalah pribadi jangan bawa-bawa ke tempat kerja! Profesional dong!"
"Maaf, Bang. Aku yang kaku." Kanaya menunduk sambil duduk di kasur yang lembut itu.
"Loe masih mau main gak?! Kalo enggak, kita bisa ganti pake artis yang laen!"
"Lho, gak bisa gitu dong." Yugi menuding sambil mendelik matanya. "Ini dari awal penonton udah tau kalo kita pemerannya. Nanti kalo salah satu pemain diganti, rating kita bisa turun, Bang."
"Yugi, sabar." Wanita berambut sebahu itu yang tak lain adalah managernya mencoba menenangkan.
"Mbak, gak bisa gitu. Mbak mau artisnya diperlakukan kayak gini. Kalo Mbak Kanaya diusir dari film ini, aku juga bakal keluar!"
"Ya loe harusnya profesional dong..."
"Mbak Niken benar, Gi." Kanaya turut bicara.
"Benar apanya? Mbak Niken itu manager kita, harusnya ia lebih berpihak sama kita. Kita kurang gimana lagi coba?"
"Mbak, sorry. Kanaya minta maaf."
"Bang Tigor." Niken mencoba menarik sutradara itu ke sudut ruangan.
Tampak Tigor menggeleng kepala beberapa kali. Entah apa yang Niken bisikan pada laki-laki bertubuh tambun itu.
"Kita udah ngambil scene ini beberapa kali." Sayup terdengar suata Tigor menyanggah pendapat Niken.
"Tapi Bang..." tak lagi terdengar apa yang Niken katakan.
"Oke, oke kita coba sekali lagi."
Semua crew sudah siap di tempatnya masing-masing. Kanaya dan Yugi mulai naik lagi ke atas tempat tidur itu, kembali pada posisi dimana Yugi diharuskan memeluk Kanaya dari belakang.
"Coba improf!" seru Tigor sang sutradara.
Papan film itu mulai kembali melintas. Pertanda jika peran harus segera dimulai. Suasana terasa berbeda saat Yugi memejamkan matanya. Ia mencoba mengumpulkan kembali perasaannya untuk Kanaya. Seketika ada desir melintasi batas kesadarannya.
Yugi mencium bahu Kanaya dengan mesra, lalu ia memeluk erat tubuh gadis itu. Sekali lagi Yugi mencium pundak yang terbebas daru surai itu. Pada crew terutama sutradara sendiri merasa takjub dengan adegan yang ada di hadapannya.
Kanaya berbalik dengan sendirinya. Ia memeluk Yugi dengan kepala itu bersembunyi di balik dada bidang Yugi. Kanaya membuka mata, ia tersenyum.
"Pagi..." Yugi mencium kening Kanaya. "Morning, honey. Apa tidurmu lelap?" Ragu tapi pasti, entah ada dorongan dari mana jika Yugi dengan tiba-tiba tak dapat menahan lagi segala hasrat dalam hatinya.
***
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments