Foto Dua Bocah

Kanaya menempelkan telunjuk pada bibirnya ketika ia berpapasan dengan pembantu rumah besar itu. Kakinya berjinjit tak ingin terdengar derap langkah ketika ia terus berjalan menuju kolam renang di belakang rumah itu. Kanaya selalu senang datang ke sana, ia bisa dengan leluasa melihat Yugi mempertontonkan keindahan tubuhnya.

Ah, benar saja. Yugi tengah menikmati derap tangan itu meluncur di dalam air. Ia masih menutup matanya, sambil terus melupakan setiap kejadian menyakitkan tentang Kanaya. Yugi hanya ingin, cukup hal baik tentang Kanaya yang ia ingat. Tak perduli jika Kanaya sudah memiliki kekasih, cukup ia hanya ingin mengingat setiap momen bahagia ketika bersyuting dengan Kanaya.

Yugi meluncur menuju pinggiran kolam renang, ia meraih handle tangga stainles, menyeka air pada wajahnya, lalu ia tersentak kaget dengan sudah adanya Kanaya di hadapannya.

"Yaampun, Mbak. Bikin kaget aja."

"Haha... Kamu udah kebiasaan ya, kalo renang suka sambil merem." Menyodorkan handuk pada Yugi.

"Dari kapan Mbak di sini?" merentangkan kedua tangannya ketika Kanaya memakaikan handuk berbentuk jubah mandi itu.

"Sejak tadi." Kanaya memasang simpul tali pada pinggang Yugi. "Seandainya kita suami istri, pasti kayak gini." Kanaya nyengir menggemaskan.

Yugi hanya tersenyum kecil, memamerkan deretan giginya yang berjejer rapih.

"Kamu gak mau nikah, Gi?"

"Mau, tapi nanti." Yugi mereguk minuman yang Kanaya sodorkan.

"Kapan?"

"Setelah Mbak mau sama aku."

Kanaya yang kembali pada simpul tali handuk di pinggang itu tampak berhenti untuk sesaat.

"Haha, bercanda aja kamuh..."

Yugi kembali pada minumannya, dan kemudian ia menaruhnya pada meja bundar di hadapannya.

"Aku beneran, Mbak."

Kanaya berhenti dari tawanya, ia menatap wajah Yugi lekat. Ada getaran dalam hatinya yang ia sulit ungkapkan.

"Kamu serius?"

Sesaat Yugi menghela nafasnya, mana bisa ia benar-benar mengungkapkan isi hatinya pada gadis cantik di hadapannya. Yugi kembali mereguk minumnya, melemparkan pandangan ke arah air itu masih beriak bekas jamahnya. Ia membiarkan Kanaya tetap terayun dalam perasaan yang sebenarnya keduanya tak berani mengakui itu.

"Enggak, aku bohong. Haha..."

Kanaya menggigit bibirnya, kemudian ia tertawa menutupi segala rasa sesak dalam hatinya yang terhimpit oleh ego karena tak sudi mengakui perasaannya sendiri. Kanaya memukul pundak Yugi gemas, ia tak jarang merasa jika semua ucapan Yugi terhadapnya itu hanya sekedar candaan dan godaan semata.

"Aku udah tau kalo kamu bakal ngomong gitu. Hem, kamu pikir aku bakal terpengaruh."

"Haha, lucu banget tadi ekspresinya, bikin gemes..." Mencubit gemas kedua pipi Kanaya.

"Aaawww... Ugi... Sakit ih.."

"Haha, merah kan? Kayak tomat, haha..."

"Ish..."

Kanaya berdiri hendak memukul Yugi lebih keras lagi. Namun ia gagal karena dengan cekatan Yugipun telah berlari lebih dulu. Kanaya mengejarnya sambil kepalan tangan itu berayun berharap akan mengena meski hanya sekali saja. Yugi tertawa, Kanaya merajuk sambil terus berusaha memukul. Yugi tertawa sambil terus berlari meniti anak tangga menuju kamarnya, Kanaya tetap mengejar mengekor di belakang Yugi. Ketika sudah sampai di depan pintu kamar, Yugi berhenti, berbalik menatap Kanaya yang hanya mengacungkan kepalan tangan tanpa memukulkannya.

"Kok gak jadi mukul?" Yugi tersenyum nyeleneh.

"Gak ah..." menurunkan tangannya.

"Mau ikut masuk?" memegang handel pintu.

"Ish.. sana kamu masuk aja, mandi."

"Lho, kan tadi udah."

"Ih, itu beda lagi..."

"Haha, yaudah, tunggu ya..."

"Iya, aku turun dulu." Sambil berbalik dan mulai menuruni anak tangga.

Yugi memperhatikan langkah kaki mungil itu, ia melihat rambut Kanaya bergoyang seiring dengan gerakan tubuhnya yang terus menuruni anak tangga. Sesaat Kanaya terdiam, ia seperti tengah hendak menoleh, namun kemudian ia urungkan juga. Kanaya melanjutkan langkah kakinya, hingga gadis itu sampai di lantai bawah dan duduk di sofa, barulah Yugi beranjak masuk ke kamarnya, menuju kamar mandi untuk membersihkan sisa-sisa air kaporit di sekujur tubuhnya.

Ah, serasa tenang dan sejuk sekali tatkala air dari shower itu menyembur menyirami seluruh tubuhnya yang indah. Yugi mengangkat wajahnya, ia memejamkan mata, merasakan setiap butiran-butiran air itu menyentuhnya dengan pijatan-pijatan ringan.

Jemari itu cekatan memainkan setiap busa lembut melekat pada tubuhnya, kedua tangan menyapu setiap kimia kaporit yang semula melekat pada tubuhnya. Kepalanya mendongak, menepis semua bayangan tentang Kanaya. Ia ingin biasa saja, ia ingin selalu tetap profesional. Tapi.. ah, kenapa rasanya begitu menyakitkan? Yugi menghela nafas dalam, ia raih kembali keran yang membuka air pada shawer di atasnya itu.

Sekali lagi buliran air itu keluar dengan dorongan yang cukup kuat, membersihkan perlahan setiap sisa busa pada tubuh Yugi. Dari mulai, rambut gondrongnya, hingga unjung kakinya, busa itu mengalir masuk bersama air ke dalam lubang tertutup jaring plastik.

Yugi mematikan keran air pada shawer itu, seraya ia mengibaskan rambutnya, membuat butiran air itu berhambur ke segala arah. Yugi meraih handuk, mengeringkan seluruh tubuhnya. Lalu ia mengenakannya, melilitkan handuk itu pada pinggang setelah ia mengenakan celana dalam.

Sesaat langkahnya terhenti ketika pada awalnya ia hendak meraih handel pintu, Yugi mendengar suara isak tangis seseorang. Timbul amarah dalam hatinya selaras dengan keyakinan pendengarannya bahwa itu adalah isak tangis Kanaya. Yugi meraih pintu dengan segera, tak sadar jika ia hanya mengenakan handuk saja. Ia segera keluar kamar dan turun meniti anak tangga, tepat di belakang Kanaya ia hanya mampu berdiri sambil meremas tangan menatap Kanaya terisak sambil menenteng ponsel tertempel di telinganya.

"Enggak... Bukan begitu.." lirih Kanaya. "Aku cape sama kelakuan kamu yang kayak gitu. Kamu tuh gak ngerti... Dia? Dia cuma teman, hanya lawan main akuh.. lha kamu, kamu udah jelas selingkuh di belakang aku.. dia partner aja. Iya, kamu percaya dong... Sayang..."

Tangis Kanaya semakin pecah seiring ia banting ponselnya di atas sofa. Kanaya meraup wajahnya, ia tertungkup di atas lutut yang ditekuk.

Oh... Sial... Yugi benar-benar tak mampu berbuat apa-apa. Kanaya menyeka air matanya, kenapa ia begitu cengeng? Oh...

"Aaaa...!!!" Kanaya menutup matanya sambil menghadap ke arah Yugi berdiri. "Kamu ngapain? Kenapa gak pake baju?" Kanaya mengintip di balik celah jemari.

"Oh, shit!"

Yugi buru-buru berlari menuju kamarnya, merasa merona pipinya karena malu. Ia bersandar di balik pintu yang sudah tertutup rapat, mendongak, tersenyum bahagia. Ia menekan dadanya, membayangkan ketika tadi Kanaya sempat mengintip keindahan tubuhnya di balik celah jemari lentik kecantikan tubuh Kanya.

"Ugi..." Kanaya mengetuk pintu. "Hari ini ada syuting lho, cepetan ya..."

"Iya..."

Kanaya menunggu di luar kamar itu. Ia duduk di bangku yang tersedia di balik tembok pembatas antara dirinya dan Yugi. Sebuah foto terpampang pada tembok polos berwarna putih, dua bocah laki-laki tersenyum manis saling berpegangan tangan. Keduanya memamerkan deretan gigi tersusun rapih.

"Itu Kakak aku." Yugi dengan tiba-tiba datang mengagetkan Kanaya.

"Emh, kamu bikin kaget aja."

"Aku ganteng kan?"

"Yang mana?"

"Itu," menunjuk seorang bocah berambut godrong.

"Kamu dari dulu emang suka rambut gondrong ya?"

"Iya, karena aku ada kelainan."

"Kelainan?"

"Iya, jadi kalo rambut aku dipotong kayak anak pada umumnya, aku bakal jatuh sakit."

"Kok bisa?"

"Entahlah, mungkin memang udah takdir."

"Sampai sekarang masih kayak gitu?"

Yugi mengangguk.

"Terus Kakakmu sekarang kemana?"

Yugi hanya mengangkat bahu. "Aku di sini tinggal sendiri, dan itu sudah berlangsung selama beberapa tahun setelah aku bergabung dengan Dee Management, bergabung dengan dirimu."

"Aku?" Kanaya menunjuk dirinya sendiri.

"Emh, maksudku banyaknya peran denganmu."

"Oh.. eh, kita berangkat sekarang yuk. Nanti keburu telat."

"Iya."

"Ugi..."

"Hem...?"

"Emh....." Kanaya memilin ujung bajunya.

"Kenapa? Hem?" menatap Kanaya penuh kelembutan.

"Gak papa, he..."

Kanaya meraih lengan Yugi dan bergelayut di sana. Ia tersenyum sepanjang perjalanan menuju mobil sport milik Yugi.

"Aku satu mobil sama kamu ya, lagi ngirit bahan bakar soalnya..." merengek.

"Oh, oke." Tersenyum.

Yugi sudah tidak asing dengan tingkah Kanaya yang seperti itu. Baginya, tingkah itulah yang kerap membuatnya merasa rindu dikala mereka berjauhan. Oh... Kanaya... adakah sepintas dalam dirimu perasaan tentang seorang Yugi Valerga? Setitik saja rasa yang mungkin bisa diraih menuju kebahagiaan yang hakiki atas dasar saling mencintai.

Kanaya.. ia sengaja duduk di samping Yugi, kerap berpura-pura tidur dan bersandar di pundak laki-laki di sampingnya. Itu sudah menjadi hal lumrah yang tak pernah dipermasalahkan sama sekali. Yugi senang, Kanayapun nyaman. Sandaran itu seolah menjadi obat dari segala kelelahan yang Kanaya rasakan.

***

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!