Selamat, Bangun

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar akses area, mohon coba beberapa saat lagi.

"Nyonya, Tuan Handi tidak bisa di hubungi," Bibi merasa cemas di samping Marva yang sedang kesakitan.

"Bi, aku sudah tidak kuat lagi." Marva meringis tidak dapat menahan rasa sakit teramat sangat dari dalam perutnya, air ketuban sudah pecah sementara dokter Lefrando masih ada di perjalanan.

"Cepat persiapkan alat yang saya pesan tadi. kita. Akan melaksanakan persalinan Marva!" di saat sampai di rumah Marva, Dokter Lefrando langsung memerintahkan satu orang perawat yang di bawanya untuk membantu.

Sementara diluar kamar bersalin, Bibi terus mencoba menghubungi Tuannya beberapa kali. Tetapi, tetap saja tidak ada jawaban dari sana. Wanita setengah tua itu ikut menangis mendengar teriakan dari dalam kamar, mulutnya komat kamit membaca ayat ayat menemani Marva melahirkan. Dalam hati, Bibi memohon agar keduanya bisa selamat.

Sudah hampir dua jam berlalu, Dokter Lefrando terus berusaha memberi semangat untuk Marva. Wanita itu terlihat kelelahan, keringat membasahi baju bahkan menembus sprei. Suaranya hampir serak karena terus berteriak, mata Marva menyorot ingin menyerah. Entah mengapa persalinan ini berjalan begitu lambat "Marva. Kau harus kuat. Sebentar lagi. Ok. Tarik nafas lagi!"

Marva juga merasakan ada yang aneh pada bayinya. Mengapa bayi ini menolak untuk keluar, padahal sudah waktunya ia keluar. Seolah olah bayi ini ingin menunggu seseorang. Marva mengumpulkan nafas mengumpulkan nyawa agar dapat mendorong bayi untuk keluar. Kata kata dari Dokter Lefrando tadi mampu menyeret alam sadar Marva agar segera bangun.

"Keluar lah, sayang. Bunda berjanji akan menjadi ibu sekaligus ayah untukmu. Kita akan berjalan bersama sama seiring waktu. Percayalah, ayahmu suatu saat nanti pasti menerimamu." lirih Marva dalam hati.

"Hhhuuuaaaaaaaa!!"

"Oowwekk oowekkk oowekkk!!"

Suara bayi mengelegar memenuhi seisi rumah. Di luar sang Bibi bersujud menyentuh lantai menangis haru "Nyonya Marva berhasil, cucuku juga selamat," lagi lagi Bibi menumpahkan air mata untuk Nyonyanya.

Tangannya kembali meraih ponsel, menyentuh nomor yang sama untuk di hubungi. Bibi menghela nafas kecewa karena tidak ada jawaban dari sana.

Menyentuh huruf demi huruf merangkai sebuah kalimat mengirim pesan kepada Tuan Handi. Lagi dan lagi, tanda seru di layar ponsel menandakan pesan itu belum terbaca. Ok satu kesempatan lagi. Bibi menyentuh pilihan pesan suara di menu pesan teks, berharap Tuannya akan mendengar dari seberang sana.

"Tuan Handi kau akan menerima balasan atas perbuatanmu nanti. Nyonya Marva semoga engkau bahagia bersama cucuku nanti, bibi menyertaimu sayang." sambil terus menangis Bibi berkata lirih dalam hati.

Marva terbaring tak berdaya setelah berhasil melahirkan, menutup mata menghilangkan rasa pusing di kepala. Tulangnya terasa seperti ditarik paksa keluar, kakinya beku tidak bisa di gerakkan. Ia pasrah membiarkan seorang perawat menyentuh membersihkan sisa persalinan tadi. Cengkraman sprei Marva perlahan melolonggar, ia kelelahan. Sangat kelelahan di tambah, Handi suaminya tidak berada di samping Marva saat ini.

Baru saja mata Marva terpejam, dirinya terbangun merasakan sesuatu menyentuh pipinya. Perlahan ia membuka mata melihat sosok mungil berkulit putih di sampingnya "Bayi ku."

"Kau melahirkan seorang putri yang sangat cantik, Marva. Lihatlah," Dokter Lefrando membaringkan bayi perempuan terbungkus hangat, disamping Marva. Ia baru saja selesai memandikan bayi.

"Ia, Lef. Dia cantik sekali." Marva menyentuh pipi mulus bayi itu, menelusuri setiap sisi wajah. "Lef, dia sangat mirip dengan ayahnya. Bibirnya, matanya. Astaga!" perasaan Marva campur aduk. Sementara si bayi hanya merespon seadanya, wajah bayi begitu teduh tertidur.

"Kau beri nama bayi ini siapa?" tanya Lefrando lembut. Jika boleh berkata, perasaan Lefrando saat ini entah bagaimana,. Apakah ia masih memiliki harapan untuk mendapkan hati Marva, wanita yang di sukainya sudah memiliki buah hati. Lefrando berpikir, bisa saja Handi berubah setelah mereka di karuniai anak. Bukan biasanya begitu?, entahlan, yang pasti ia masih memiliki rasa pada Marva.

"Narra Maresha Hutama." Marva mengecup kening bayi yang sudah memiliki nama Narra penuh kasih sayang "Bunda, berharap agar Narra tetap gigih menjalani hidup nanti."

"Humm. Sepertinya nama Narra cocok untuknya. kesenian 'kan, bukankah kau juga menyukai hal hal berseni? seperti menghias roti. Bukankah itu juga termasuk kesenian?" Lefrando ikut ikutan mengecup kening Narra. Posisi mereka seperti sepasang suami istri sungguhan yang merasakan kebahagiaan.

"Ia." jawab Marva singkat,

"Oh, kau belum memberi dia ASI pertama. Mari kubantu angkat bayinya. ya," tiba tiba saja Lefrando mencetuskan hal tidak senonoh menurut Marva.

Sebelum mulai bergerak Marva terlebih dulu menghalangi niat modus Lefrando "Tidak, aku sendiri bisa kok." tenaga Marva langsung pulih membawa Narra ke dalam pelukannya, "keluar sana. Biar perawat itu yang bantu aku."

"Hah, baiklah." sebelum beranjak keluar, Lefrando menyempatkan waktu mencium kening Narra lagi "Bundamu galak kan dek." goda Lefrando pada si bayi. Setelah itu ia berjalan keluar sambil terkekeh geli.

"Bangun sayang, ayo minum susu dulu."

🌹🌹🌹

"Dokter,,,Dokter,, Dokterr!" Handi berteriak memanggil Dokter perawat disana.

Tadi saat Handi bercerita seperti biasa pada tubuh Franda, ia merasakan mata Franda bergerak gerak mencari cahaya. Jari Franda yang ada dalam gemgaman Handi bergerak pelan pelan. Franda mulai bangun.

Dokter Lisa datang bersama dua suster perawat langsung cekatan memeriksa Franda. Sementara Handi menanti berdiri di sekitar brankas Franda, ia merasa bahagia sekarang ini, sampai sampai lupa menghidupkan ponselnya yang sudah mati.

"Selamat Pak Handi. Anda adalah orang pertama yang mengetahui Franda sadar, pasti anda merasa bangga bukan?" Dokter Lisa berkata penuh maksud. Tangannya berbohong menyalam Handi yang kelewat bahagia.

"Terima kasih Dokter Lisa." sifat Handi justru tetap riang. Entah mengerti atau tidak dengan nada suara Dokter Lisa.

"Sudah menghubungi keluarga Franda?"

"Belum Dokter. Saya ingin menghabiskan waktu bersama Franda tanpa penghalang dari om Darwin. Nanti saya hubungi mereka."

"Terserah anda saja. Tetapi saya akan tetap menjelaskan keadaan Franda saat ini kepada orang tuanya, bukan kepada anda. Saya permisi dulu."

Sepeninggalan dokter Lisa, Handi buru buru mendekati brankas Franda, mengecup kening Franda penuh cinta "Selamat bangun sayang, aku sudah menunggumu setahun lebih. Aku merindukanmu." sekali lagi Handi mengecup kening Franda.

Mata Franda memang sudah terbuka berputar kesana kemari mencerna ia sekarang ada di mana. Suaranya belum bisa keluar karena masih terasa kering, masker oksigen menjadi penghalang untuk ia berbicara.

"Ini aku Handi kekasihmu. Lihat aku sayang,"

Pandangan Franda beralih kepada suara seorang pria di sampingnya. Mulutnya ingin mengeluarkan kata kata. Tapi sungguh, tenaganya tak ada untuk sekedar berbicara.

"Kau haus sayang? tunggu setelah kau merasa sendawa, baru aku kasih minum ya. Sabar sayang." Handi membaca gerak gerik Franda terfokus ke arah air minum diatas nakas.

"Hahhhhhh, ahhh!" akhirnya Franda berhasil mengeluarkan sisa endapan obat bius yang membuat tubuh Franda menjadi kaku. Franda minum sangat rakus begitu bibirnya dan bibir cangkir bertemu membasahi tenggorokan yang sudah menyerupai pasir padang gurun yang kering.

"Cukup segini dulu ya, sayang. Aku tidak berani bertindak lebih tanpa anjuran Dokter Lisa." Handi meletakkan gelas kosong keatas nakas.

Sebenarnya Franda masih bingung entah siapa orang yang berada di dekatnya saat ini. Tetapi, sepertinya lelaki ini begitu perhatian padanya, ya pasti laki laki ini mengenalinya. Franda baru bangun dari tidur panjangnya.

Mungkin belum waktu yang tepat bagi mereka untuk saling bercerita. Rasa ngantuk menyerang Franda, ia kembali tertidur, hanya tidur biasa saja.

Handi berjalan kearah sofa setelah memastikan Franda sudah terlelap, tadi ia merasa sedikit kecewa mengapa Franda tak mau berbicara dengannya. Tapi, ia berpikir positif saja, wajarlan Franda baru saja bangun dari masa koma.

Mengisi waktu, Handi menghidupkan ponselnya. Beratus panggilan tak terjawab dari bibi pekerja rumah, membaca pesan teks, Handi tercengang;

"Cepatlah pulang Tuan. Nyonya Marva melahirkan sekarang."

"Anak Tuan berjenis kelamin perempuan, sangat mirip dengan Tuan. Pulanglah Tuan."

"Narra Maresha Hutama, marga keluarga Tuan ada di belakang nama bayi kalian. Pulanglah tuan."

Deretan pesan teks dari Bibi. Satu lagi yang membuat hati Handi begitu dilema, jemarinya menyentuh pesan suara. Suara teriakan perempuan siapalagi jika bukan istrinya. Disusul suara tangisan bayi.

Handi tahu hari ini Marva melahirkan, tetapi dengan egois ia memilih menjenguk Franda. Handi bahagia melihat Franda bangun tetapi Handi melupakan rasa bahagia menyambut anak pertamanya.

👇👇👇

Marva love Handi

atau

Marva Love Lefrando.. ????

Terpopuler

Comments

triel

triel

bukannya bunyinya
"nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan"
nanya doang



yang penting semangat 😇

2020-08-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!