Bagian II

Suasana kampus siang ini ramai sekali, apalagi di ruang kuliahku yang ku tempati ini setelah dosen pengampu keluar dari ruang kuliah bersamaan dengan teman-teman kelasku juga keluar ruangan kuliah juga. 

Kini, setelah mengikuti kuliah di ruang 1.a1 lanjut menuju ruang kuliah yang berada tak jauh dari ruang kuliah tadi. Aku dan ketiga temanku segera melangkahkan kaki menuju ruang 1.a4. Di penghujung akhir semester, jadwal kuliah semakin padat apalagi akhir bulan ini akan menyibukkan dengan skripsi.

“Gimana tuh hubunganmu dengan Nino? Masih betah kamu pacaran sama pria yang suka ringan tangan dengan cewek?” tanya Arum membuka pembicaraan.

Aku yang sedari tadi mendengarkan Fika bercerita terhenti dan kemudian menoleh kearah Arum. “Masih kok, kami baik-baik saja” jawabku santai.

“Yakin? Baik-baik saja? Sepertinya kamu beberapa hari yang lalu cerita sama kita-kita kalau kamu habis ditampar lagi sama dia” timpal Rika yang mengingat ceritaku beberapa hari yang lalu.

Kini aku menoleh kearah Rika dan hanya merespon dengan tersenyum getir.

“Terus mau sampai kapan kamu dapat perlakuan kasar dari calon suamimu itu Veli......” geram Arum sembari menggoncangkan tubuhku, “aku merasa kasihan aja masa kamu selalu dapat perlakuan kasar darinya terus” lanjut Arum dengan suara lirih.

Saat Arum berkata demikian, aku memandangi cincin tunanganku yang beberapa bulan lalu Nino sematkan di jari manisku sewaktu moment pertunanganku dengannya.

Awalnya, ekspresiku tersenyum sembari mengenang sweet moment itu. Tapi tak lama setelah itu aku langsung terdiam begitu saja dan perasaan sedih langsung bergemuruh sakit sekali di dadaku mengingat sifat Nino yang ringan tangan.

Tanpa sadar, aku mengatakan”Entahlah, Guys. Aku sendiri juga nggak tahu bisa bertahan sampai kapan kalau begini terus. Padahal awal aku pacaran dengannya sampai aku bercerita sama nisan Mama kalau aku sudah mempunyai seseorang special yaitu Nino.......”

Ceritaku terhenti karena mereka langsung memelukku dan tanpa sadar aku menitikkan air mata. “Sabar ya Vel, semua pasti ada jalan keluarnya. Tetaplah tegar kawan. Allah akan selalu bersamamu” bisik Arum sembari menenangkan perasaanku.

"Aku akan berusaha kuat untuk semua ini" balasku disela-sela isakan tangisku.

Mereka tampak mempererat pelukannya untukku.

"Sudah...sudah...cewek sepertimu tidak pantas menangis untuk urusan cinta Veliiii" celetuk Rika yang membuat kami tertawa serentak.

...****************...

Malam minggu tiba, aku yang sudah siap pergi dengan Nino untuk mencarikan kado ulang tahun si Calon Mama Mertua sekalian ber-quality time. Aku yang hendak keluar kamar, karena Nino sudah menantiku di ruang tamu, tiba-tiba aku merasa penyakit maag-ku kambuh. Rasa sakit tak terkira membuatku langsung merasa lemas sekali. Tapi aku tak peduli, kuusahan untuk bangun dari ranjang walau sakit lambungku karena maag kambuh semakin menjadi.

“Vel, kamu mau kemana?” tanya Papa saat berpapasan denganku di depan kamarku.

Aku menghentikan langkah dengan posisi masih berdiri di depan ambang pintu kamar.”Mau pergi sama Nino, Pa...” senyumku tersipu. “lagian sudah di tunggu di ruang tamu Pa. Veli pergi dulu ya” ucapku sembari mencium punggung tangan Papa dengan hormat.

Mendadak Papa menatapku lekat-lekat. “Vel, kenapa wajahmu pucat?” tanya Papa cemas karena melihatku dengan wajah yang pucat.

Aku terkejut saat beliau menanyai tentang kondisi pucatku.”Ah, Veli nggak apa kok Pa. Perasaan Papa saja kali” ujarku sembari menahan rasa perih dilambung.

Ekspresi Papa langsung manggut-manggut lalu mengindahkan permintaanku untuk pergi bersama Nino malam ini.” Ya sudah, kamu hati-hati Nak, jangan pulang terlalu malam ya” pesan Papa sembari membalai rambutku dengan sayang.

Aku mengangguk patuh dengan seulas senyum sembari menuruni anak tangga.

Saat menuruni anak tangga, rasa sakitku semakin tak tertahan. Tapi aku berusaha untuk menahan rasa sakitku.

Sementara di ruang tamu, Nino dari tadi duduk dengan memasang ekspresi tak sabar dan seperti biasa dia seperti menahan emosinya untuk memarahiku. Aku yang baru saja menemui Nino di ruang tamu, tampak ekspresi wajah Nino sudah tidak menyenangkan.

Aku tersenyum saat menyambutnya di ruang tamu, tapi yang kuterima ternyata tarikan tangan Nino yang rasanya ingin aku menjerit karena kesakitan. Aku yang akan meronta kesakitan tak membuat Nino peduli dengan rasa sakit di pergelangan tanganku. 

Nino langsung menyuruhku untuk lekas memasuki mobil, sementara Nino juga segera masuk mobil. Lalu mesin mobil dinyalakan dan mobil meninggalkan pekarangan rumahku.

Lagi dan lagi Nino mengomeliku karena keterlambatanku atas rencana malam ini. Aku hanya diam saja seperti biasa sembari menahan rasa sakit maag yang sudah kurasa sangat sakit dan memegangi pergelangan tanganku yang masih sakit karena Nino tadi meremasnya.

“Nggak bisa apa, kamu bersiap-siap lebih ontime lagi dari tadi?” cerocos Nino kesal.

“Maaf Nino, sebenarnya aku sudah siap dari tadi, tapi maag ku kambuh. Dan rasa sakit ini semakin sakit sekali. Itu yang membuatku lama untuk menemuimu di ruang tamu” ucapku tapi dari dalam hati sembari menundukkan kepala dan tidak berani menatap wajah Nino yang terlihat marah sekali. 

Kemarahan Nino membuat sakit maag-ku semakin menjadi, segera ku keluarkan obat maag dari tasku lalu meminum air putih yang sengaja kubawa dan kumasukkan di botol minum.

Saat aku menutup botol minum, Nino tampak menoleh.”Kenapa kamu? Maagnya kambuh lagi?” tanya Nino saat melihatku tengah meminum obat maag sembari mengemudi mobilnya.

Aku hanya mengangguk pelan tanpa menoleh kearah Nino yang menanyaiku sembari memasukkan botol minum di tasku lagi.

“Aaaarrrggghhhh!!!!.......” teriak Nino semakin kesal. “kenapa kamu nggak cerita padaku dari tadi kalau maag-mu kambuh?” tanya Nino sembari menoleh kearahku lagi dengan tatapan menusuk.

Kemarahannya malam ini, membuatku masih tidak berani untuk membalas menoleh kearahnya sedikitpun. Aku semakin takut karena kemarahannya. Padahal kedua orangtuaku tak pernah memarahiku sedikitpun, mereka sangat menyayangiku.

Tapi entah kenapa, aku memberanikan diri untuk memberi alasan sembari bergumam pelan.”Maaf Sayang, tadi aku mau bilang begitu sama kamu. Tapi kamu malah keburu marah sama aku sampai menarik tanganku ini” ucapku pada Nino sembari menunjukkan bekas cengkeraman tangan Nino yang membekas merah.

Ekspresi Nino tampak acuh saat kuperlihatkan tanganku memerah karena bekas cengkeraman tangan Nino yang kuat tadi.

“Ck, manja banget. Baru segitunya kamu udah protes” respon Nino cuek.

Mendengar respon Nino yang semakin tak mempedulikanku, rasanya air mataku ingin menetes lagi. Iya, menahan tangisanku yang ingin tumpah karena responnya lagi-lagi terdengar tak menyenangkan.

Setelah pertengkaran tadi, kami memilih untuk diam. Aku menikmati pemandangan di jalan dari kaca mobil, sementara Nino fokus untuk menyetir mobilnya.

Malam ini, rasanya ingin cepat pulang saja dan langsung tidur karena aku seperti diacuhkan olehnya dari tadi di mobil dan saat tengah menyantap makan malam di cafe setelah mencari kado untuk calon Mama mertua sembari memainkan ponselnya. Saat Nino melihatku tidak menyantap makanan di hadapanku, tampak langsung memelototiku.

“Makan!!!” bentak Nino menyuruhku untuk makan.

Aku membalas dengan meliriknya singkat, lalu mengaduk-aduk nasi goreng yang masih utuh di piring sembari menjawab dengan santai.”Nggak nafsu makan...”

“Makan Vel! Maag mu lagi kambuh!!!” bentak Nino lagi.

Aku menggeleng pertanda menolak permintaannya kali ini. “Peduli apa kamu dengan penyakit maag ku ini?”  ketusku tanpa sadar, “biarin saja sampai kambuh yang parah, supaya aku lekas mati. Itu kan yang kamu mau!!!” lanjutku yang tak bisa menahan emosiku malam ini.

Tampak Nino langsung tersulut emosi juga dan hendak menamparku tapi tidak jadi.

“Tampar saja aku, lagian aku juga sudah kebal dengan tamparanmu” tantangku benar-benar marah.

Nino langsung terdiam dan tidak jadi menamparku saat aku terlihat sangat emosi darinya. 

“Kenapa diam Nino? Memang selama ini aku nggak bisa terlihat marah begitu. aku lemah gitu di depanmu???” marahku tak tertahankan tanpa mempedulikan sekeliling yang melihat pertengkaranku dengan Nino.

Kulihat Nino terdiam tak membalas memarahiku. Dia tampak kehabisan kata-kata saat melihatku tak biasanya semarah ini.

“Aku selama ini menahan semua amarahku. Aku selama ini mengalah sama kamu. Karena aku nggak ingin kita bertengkar Nino!!!! Kamu selalu mencari masalah terlebih dahulu. Mana janjimu dulu sebelum kamu melamarku” lanjutku yang masih memarahi Nino sembari menunjukkan cincin tunangan darinya yang dulu Nino sematkan di jari manisku sebelah kiri.

“Kalau kamu masih kasar padaku, lebih baik cincin ini aku lepas Nino. Aku lelah kalau kita pacaran seperti ini terus” tambahku dengan nada ketus sembari melonggarkan cincin di jari manis sebelah kiri.

Nino terkejut mendapatiku ingin melepaskan cincin tunangannya.”Vel, aku mohon kamu jangan lakukan ini ya...” bujuk Nino menyuruhku untuk merapatkan kembali cincin yang tadi aku longgarkan.”Malu Sayang, di lihat banyak orang begini” lanjut Nino merapatkan cincin di jari manisku.

Tapi aku menampik tangan Nino yang ingin merapatkan cincin di jari manisku. Kutatap Nino dengan tatapan dingin yang membuat Nino menjadi serbasalah, kemudian aku mendiamkannya tapi Nino semakin terdiam. Setelah itu tak ada respon dari Nino, aku berdecak sebal lalu segera mengemasi barang-barang di depanku untuk segera kumasukkan dalam tas. Saat aku akan meninggalkan Nino seorang diri, tiba-tiba tanganku tertahan olehnya.

Langkahku terhenti lalu menoleh malas kearahnya,”Kenapa lagi?” responku terdengar ketus.

“Jangan tinggalkan aku Sayang. Aku minta maaf” ucap Nino serak yang tangannya masih menahan tanganku.

Mendengarkannya meminta maaf, aku yang bergantian dibuat tertegun. Saat mendengar ucapannya hatiku semakin bimbang untuk segera memaafkannya atau sebaliknya.

“Oh, aku belum sepenuhnya mempercayai ucapanmu baru saja” responku masih ketus.

Aku lihat, Nino sedang memohon.”Janji Veli, aku janji” ucap Nino meyakinkanku sembari mengacungkan kelingking kanannya untuk disatukan pada kelingking jari tanganku.

Awalnya aku masih saja merasa sebal karena kejadian memalukan yang baru saja terjadi membuatku CUKUP TAU untuk hubungan ini.

Rasa kesal, emosi, dan bodo amat langsung sepenuhnya merasuk ke dadaku. Cukup kali ini amarahku terlampiaskan begitu saja. Aku memilih untuk diam dan mengalah.

Melihat ekspresi itu, Nino membujukku untuk berbaikan lagi padaku. Memohon dan memohon di depanku seperti biasa dia lakukan. Perlahan emosi itu  hilang dan entah kenapa aku kembali mempercayainya, kembali memaafkan sifat ringan tangannya lalu tergantikan oleh seulas senyuman saat Nino masih memintaku untuk mengaitkan kelingkingnya di kelingking jariku.

Aku mengangguk setuju sembari mengaitkan kelingkingku ke kelingking Nino. Kulihat Nino tersenyum juga kearahku. Setelah itu Nino memelukku dan mengecup keningku dengan lembut lalu membisikkan.”Maafkan aku ya, selama ini tak mempedulikanmu dan kasar padamu. Kali ini yang terakhir aku melakukan semua padamu.”

Aku mengangguk sembari menitikkan air mata haru saat Nino membisikkan hal tersebut padaku.”Iya Sayang, aku selalu memaafkanmu. Jangan ulangi lagi ya” balasku sembari meyakinkan hati.

Nino melepaskan pelukannya dan mengangguk sembari tersenyum manis di hadapanku. Rasanya sejuk melihatnya tersenyum seperti ini, ada energi berbeda saat Nino tersenyum padaku.

Tak lama setelah itu, aku dan Nino pulang dengan perasaan tenang. Sementara di dalam mobil kami hanya saling diam.

...****************...

Ternyata kejadian malam minggu itu tak bertahan lama. Aku dan Nino bertengkar lagi karena masalah sepele, yakni aku tidak tahu kalau Nino meneleponku saat aku tengah keluar rumah untuk membeli sesuatu di minimarket dekat perumahanku. Lagian dari tadi dia tengah sibuk kerja, mana berani aku mengganggunya. Akhirnya ponsel sengaja ku tinggal sebentar, karena pikirku hanya sebentar. Tapi ternyata sepulangku dari minimarket dan saat mengangkat telepon darinya, tampak dari telepon Nino langsung marah-marah panjang lebar. Sementara, aku sendiri hanya bisa mendengarkannya memarahiku lagi lewat telepon.

Setelah Nino berhenti memarahiku, aku langsung berkomentar.”Masih saja suka memarahiku, mana janjimu seminggu yang lalu kalau berhenti untuk marah-marah Sayang. Aku minta untuk kamu berubah” balasku dengan nada lembut dari dalam telepon. “Aku percaya Sayang, kamu yang terbaik untukku” tambahku meyakinkan calon suamiku.

Kudengar dari dalam telepon, Nino masih saja belum mengeluarkan suaranya. “Ya sudah Sayang, kalau kamu masih ragu, kamu masih bisa dipikirkan baik-baik. Atau aku ambil jalan tengahnya saja, kita jangan ketemuan dulu sebelum kamu benar-benar berubah. Love you Nino” ucapku sembari mematikan telepon dari Nino karena tak ada respon darinya lagi.

Setelah aku menutup telepon darinya, rasa sesak langsung bergemuruh di dadaku dan tak lama setelah itu aku menitikkan air mata.”Maaf Nino, tak seharusnya aku mengatakan itu padamu. Aku menyayangimu, sangat.... tapi aku selalu tak tahan dengan perlakuanmu. Semoga ini keputusan terbaik Sayang untuk kamu dan aku” ucapku sembari memejamkan mata dan langsung menghapus airmata.

...****************...

Sementara di rumah Nino, tepat di kamar pribadi Nino. Tampak Nino masih belum percaya dengan apa yang Veli katakan untuknya. Sebenarnya Nino juga menyayangi Veli, tapi kadang Nino selalu diluar batas untuk menghadapi calon istrinya yang Nino anggap kalau Veli itu cerewet. Padahal perlakuan Veli yang satu ini menandakan bahwa Veli sangat mempedulikannya.

“Tak bertemu dengan Veli sebelum aku berubah sikap? Tapi aku tak bisa melakukannya, aku tak sanggup Vel” gumam Nino larut dalam keputusasaannya.

Nino langsung mengingat saat dirinya memperlakukan Veli dengan kasar. Veli yang tengah menjerit atau meronta kesakitan tak membuat Nino peduli, malah Nino menganggapnya itu adalah cengeng.

Sebenarnya Nino tahu bahwa perlakuannya terhadap Veli di luar batas. Malam ini Nino seperti larut dalam kesedihan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Menyesali perbuatan kasarnya, “Kenapa aku lagi-lagi tak bisa mengontrol emosi lagi sih?” ucapnya sembari meruntukki diri sendiri, “Aku ini calon suaminya yang seharusnya melindungi, menyayangi dan setidaknya bersikap romantis terhadapnya. Tapi apa aku bisa melakukan untuknya” pikir Nino sembari mondar-mandir di dalam kamarnya. “Aku bertahan dengan hubungan ini karena sosoknya yang dewasa. Jujur saja, aku menyayanginya. Maaf Sayang” gumam Nino menyesali perbuatan kasarnya.

Lagi dan lagi, Nino terbawa suasana saat teringat sesuatu yang menyakitkan.

...****************...

Terpopuler

Comments

nowitsrain

nowitsrain

Bukan, bukan berusaha kuat buat tetap lanjut hubungan sama Nino, Vel. Kamu tuh harus kuat buat bisa lepas dari dia

2025-04-11

1

nowitsrain

nowitsrain

Susah kalau tabiatnya emang udah emosian dan gampang main tangan tuuuuu. Kata gue buruan putus nggak 😡

2025-04-11

1

nowitsrain

nowitsrain

Tuh, bahkan lagi di rumah ceweknya, ada bapaknya lohh, berani main tangan si lucknut

2025-04-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!