"Dia ngapain?" Risa berdesis cepat saat Della menceritakan apa yang terjadi tadi di kantornya Abid.
"Dia nyuruh gue gugurin kandungan gue," ucap Della tenang sambil mengunyah kembali kentang goreng pesanannya yang baru saja tiba.
"Terus lo nggak ngomong apa-apa?" tanyanya dengan mata mendelik tajam
"Gue bilang nggak," gumannya nyaris tidak terdengar karena mulutnya yang dipenuhi makanan.
Wajah Risa menggelap. Dia menggelengkan kesal karena kebodohan sahabatnya. "Lo gila?!" jeritnya.
"Kenapa?"
"Lo yang kenapa! Lo bodoh atau gimana sih sebenarnya? Harusnya lo kasih dia tawaran lain yang nggak mungkin bisa dia tolak, kalau perlu lu ancam aja supaya dia ngeluarin banyak uang buat lo. Tujuan utama lu datang ke sana kan emang soal uang?"
Della mendengus tidak percaya dengan cara berpikir Risa. "Dia udah skeptis duluan soal gue yang datang tiba-tiba. Dia udah anggap nyawa bayi yang gue kandung itu nggak berharga di mata dia dan lo mau gue tawar-menawar soal keberlangsungan hidup anak gue sama orang kayak gitu? Gue emang bodoh tapi gue nggak mau berurusan lebih lama lagi sama orang kayak dia," serunya tegas.
Risa menggeleng tidak percaya dengan tingkah Della. "Naluri keibuan lo udah muncul ternyata. Gue nggak nyangka sih lo bisa berpikir sampai segitunya, tapi masalahnya karena penolakan lo yang tanpa berpikir panjang itu lo mau gimana buat ngelanjutin hidup lo? Lo butuh biaya buat makan dan kasih nutrisi buat bayi lo."
Della meletakkan kentang goreng belum masuk ke mulutnya kembali ke dalam bucket, "Gue udah berpikir buat cari kerjaan. Gimanapun caranya gue harus menghasilkan uang buat gue sendiri dan juga buat membesarkan bayi ini."
"Lo kira cari kerjaan gampang di zaman sekarang? Kalau gue jadi lo gue bakal terima uang itu dan beli rumah selama gue nggak ketemu sama Abid masalah bayi itu kelar. Nggak perlu pakai digugur-gugurin segala," kata Risa. Bahkan tangannya sampai mengepal di udara karena gemas.
"Sayangnya ini gue bukan lo." Della memutar matanya malas. "Lagian uang banyak nghak menjamin kehidupan lo kedepannya bakal baik-baik aja, Sa. Iya kalau emang nantinya kita nggak bakalan ketemu. Kalau ketemu Terus dia tahu gue bohong kasusnya bakal lebih rumit. Makin riweh dan gue dituduh penipu jadinya."
Risa menatap Della dengan mulut terbuka. Sahabatnya ini pasti sudah kehilangan kewarasannya. "Lo bisa ngomong gitu sekarang. Coba kita lihat sampai lo di Depok keluar dari apartemen ini dan berakhir di jalanan apa setelahnya lo bakal bisa berpikir kayak gitu!" semburnya.
Della mendengus. Dia menggelengkan kepalanya. Hal itu tidak akan terjadi dan tidak boleh terjadi karena dia tidak akan membiarkan kemalangan mendatangi dirinya. Lagi.
Risa hanya bisa menghela nafas pasrah. "Gue juga nggak berharap hal buruk itu menimpa lo. Tapi lo sendiri tahu gimana kehidupan gue kan, Dell?"
***
Abid menghela nafas lega saat akhirnya dia sampai di rumah. Setelah wanita itu meninggalkan kantornya tadi dia benar-benar tidak bisa kembali berkonsentrasi untuk menyelesaikan tumpukan pekerjaannya. Dia merasa Jika dia teramat kelewatan. Tapi apa mau dikata karena perempuan itu tidak mengajukan penolakan dan malah pergi begitu saja. Menurut Abid itu merupakan penawaran terbaik yang bisa dia berikan. Namun jika wanita itu tidak mau menerima tawarannya ya sudah.
Dia mencoba menyunggingkan senyum saat memasuki rumahnya. Abid sudah merasa cukup dengan kehidupan yang sekarang dan dia tidak berencana untuk memiliki anak laki dari wanita lain. Saat dia melewati home theater, dia menemukan Sindya yang tengah asik menonton drama favoritnya.
Tunangannya itu balas tersenyum padanya ketika tatapan keduanya bertemu.
"Aku baru aja mau chat kamu," ucapnya ceria sambil mulai beranjak dari sofa
Abid tersenyum kaku. "Sorry kerjaan numpuk," jelasnya datar tanpa minat.
"Sudah aku duga. Harusnya aku bilang ke Papi supaya nggak memfosir kamu," katanya sambil mengusap pelan jas Abid seraya tersenyum manis.
Abid hanya mengelola nafas lelah. Dia meletakkan tasnya di atas sofa dan mulai menatap menatap Sintya intens. "Bukannya kita udah sepakat soal kamu yang bakal pindah ke rumah ini setelah pernikahan?"
Sintya mengerutkan keningnya tampak keberatan. "Kenapa nggak sekarang aja? Kita kan udah pasti bakalan nikah?" tanyanya.
Abid tidak langsung menghiraukan protestan wanita itu. Dia melepaskan jasnya dan meletakkannya ke atas tas kerjanya. Matanya tertuju pada majalah langganan Sintya. Wanita di hadapannya itu pasti sudah membaca artikel itu.
"Kamu masih baca majalah itu?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan.
Sintya memutar bola matanya malas. Tangannya bersedekap dengan acuh tak acuh. "Iya aku baca. Aku kesal setiap kali lihat berita tentang kamu yang isinya affair kamu sama cewek-cewek gatel di luaran sana. Tapi mau gimana lagi, saingan bisnis kamu banyak pasti banyak juga yang mau jatuhin kamu."
"Jadi kamu nggak marah?" ucapnya sedikit terkejut.
Sintya mendengus. " Aku marah. Tapi mau gimana lagi. Aku harus terbiasa. Ngomong-ngomong susternya Nana pergi beberapa menit yang lalu. Terus anak kamu sekarang lagi di kamar," kata Sintya sambil melangkah menuju dapur
Bibir Abid melengkung saat nama putrinya disebut dan dia langsung melangkah cepat untuk menghampiri Nana.
Abid membuka pintu yang memiliki warna paling berbeda di antara pintu-pintu yang lain. Pintu berwarna pink dengan desain ala-ala negeri dongeng. Saat ruangan itu terbuka Abid langsung disuguhi oleh kamar yang penuh dengan ornamen-ornamen kupu-kupu ala fairy tale. Dia langsung menutup pintu ruangan itu saat kakinya sudah melangkah ke dalam dan terkekeh geli saat menemukan Nana terlihat meringkuk di bawah selimut.
Ajid mendekat. "Hai Sweety," katanya lembut. Dia tahu Nana tidak tidur karena gundukan itu tampak bergerak dan terbuka saat dia masuk.
Nana menatapnya dengan raut wajah sedih. Mata coklatnya berkabut dan bibir mungilnya mengerucut.
"Kenapa sayang?" tanyanya tiba-tiba. Khawatir karena Nana tidak terlihat baik-baik saja.
"Papa nggak datang buat lihat Nana lomba tadi..." gumamnya dengan suara pelan.
Brengsek! Abid mengumpat dalam hati.
"Maafin Papa sweety," ucap Abid sambil bergerak maju untuk mendekap Nana. "Lain kali Papa pasti bakal datang."
Nana berbalik untuk menatap wajah Abid. "Tapi lombanya cuma sampai hari ini."
Abid mengumpati dirinya lagi berkali-kali. Dan dia melupakan satu lagi momen penting yang sangat dinantikan Nana.
"Maaf ya sweety. Papa bakal belikan Nana hadiah buat nebus semua kesalahan Papa. Nana mau apa?"
"Nggak usah! Nana nggak mau apa-apa," dengusnya.
Menghela nafas pelan. "Terus Nana maunya apa? Bilang ke Papa nanti pasti Papa bakal belikan," ucapnya mencoba membujuk kembali.
Nana sedikit menurunkan kewaspadaanya. Dia menatap Abid sambil menghapus air matanya menggunakan punggung tangan. "Aku pingin punya kucing. Boleh?" Dia bertanya dengan ada gembira yang terdengar jelas dari suaranya.
Abid ingin sekali mengiyakan tapi sayangnya dia tidak bisa. "Tante Sintya alergi bulu sayang. Jadi nggak boleh ya?"
Raut wajah Nana berubah menjadi murung kembali. Dia mengalihkan pandangannya dari Abid dan kembali masuk ke dalam selimut. "Aku cuma mau ada yang main sama aku waktu Papa nggak ada. Nana kesepian!"
Abi tidak tahu harus berkata apa. Tapi dia tahu apa yang harus dia lakukan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Eemlaspanohan Ohan
nyesel tuh sih abid kalau anak dari dela.laki
2025-03-27
1