Setelah mencoba berpikir berkali-kali. Menimbang keputusan apa yang harus diambilnya. Akhirnya Della memilih untuk memberitahu Abid Pranadipta soal kehamilannya. Peduli setan soal label pelakor yang tersemat pada dirinya karena yang dibutuhkannya saat ini adalah bantuan finansial dari papa calon anaknya sampai dia menemukan perusahaan yang mau menerimanya.
Dia menelan ludah kasar saat menatap bangunan besar yang menjulang di hadapannya. Gedung pencakar langit yang tingginya sulit untuk dihitung sejauh mata memandang yang membuatnya merasa tidak pantas untuk sekedar singgah. Gedung dihadapannya ini merupakan salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Indonesia yang tentu saja untuk sekedar berkunjung ke kantornya harus memiliki izin dari pihak keamanan.
Della mencoba menenangkan diri dari tamparan kenyataan. Menghela napas perlahan dan mulai melangkah ke dalam. Perutnya bergejolak efek gugup yang melanda. Tidak dipungkiri memang karyawan perusahaan besar terlihat sangat berbeda level kehidupannya. Mereka tampak borjuis dengan sepatu mengkilat merk ternama yang setiap kali diayunkan saat melangkah mengeluarkan bunyi yang konstan, pakaian mereka dijahit rapi, dan tatapan penuh percaya diri terpancar dari diri mereka.
Beberapa orang yang berlalu-lalang menoleh kearahnya membuat Della merasa risih. Dia berbalik menatap dinding kaca yang dapat menampilkan potret dirinya secara keseluruhan. Celana jins yang sudah kusam, dengan t-shirt putih ditutupi sweater donker yang digunakannya malah menambah kesan miskin untuknya. Tidak mau terlalu ambil pusing dia segera melangkah mendekat ke meja receptionis yang diisi wanita berambut gelap dengan potongan bob itu memincingkan matanya.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya tetap dengan ekspresi wajah menjengkelkan.
Della tahu tipe wanita seperti ini merupakan seorang penjilat. "Apa ada yang namanya Abid Pranadipta di sini?"
Wanita itu mengernyitkan alis tampak tidak suka.
"Iya ada. Beliau yang punya perusahaan sama gedung ini. Ada apa?"
"Saya ingin bertemu, bisa?"
"Udah buat janji belum? Pak Abid itu sibuk. Kalau belum buat janji mending pulang."
Della mencoba bersabar menghadapi wanita mengesalkan itu, dia tidak ingin mencari ribut dan berakhir terusir dari sini.
"Bisa kasih tahu nggak di mana ruangan pak Abid? Kalau nggak nomor lantainya aja."
"Udah buat janji belum?" desaknya tidak puas. Mungkin Della terlihat seperti penganggu di mata wanita itu.
Dia menggosok pelan tengkuknya, rasanya emosinya sudah tidak dapat ditahan.
"Dengar ya mbak. Saya kesini nggak mau cari ribut. Mbak tahu ruangannya apa nggak?" Giginya sampai bergemeletuk saking emosinya.
Wanita itu menatap marah padanya tapi tetap memberitahu letak lantai dimana Abid berada, "Lantai sepuluh," ucapnya sambil berteriak. Membuat pandangan orang-orang beralih menatap aneh pada mereka.
Della menyeringai puas saat wajah wanita itu memerah karena malu. Dia menatap intens wanita itu seraya berkata. "Gaya rambut lo bagus mbak."
Bibir wanita itu sedikit berkedut menahan senyum. Dengan perlahan dia merapikan rambutnya yang tidak berantakan sama sekali, "Makasih," suaranya tidak ramah tapi terselip rasa puas.
"Iya. Favorite nenek saya!" Dia menyeringai sambil berjalan pergi setelah mengucapkan kalimat tersebut. Della dapat mendengar umpatan yang dilontarkan wanita itu saat dia menjauhi receptionis.
***
Della terdiam menatap iri para karyawan yang berjalan dihadapannya. Dia masih meratapi kesialannya karena menjadi pengangguran dalam kurun waktu yang lama. Suara dentingan lift membuat kesadarannya kembali dia segera masuk dan menekan lantai 10. Lantai dimana Suttan Askara berada kata reseptionis tadi. Meski mall dan perusahaan berada disatu gedung tapi hal itu sering mengecoh karena mall ini juga berada satu gedung dengan hotel diatasnya.
Lift yang hanya berisi tiga orang termasuk dirinya itu sangat sunyi. Kesunyian yang makin membuatnya gugup dan memikirkan banyak kemungkinan buruk yang akan terjadi nanti padanya. Dia ikut tersentak saat dering ponsel berbunyi, semua orang yang berada dalam lift menatapnya tidak suka merasa terganggu dengan canggung dia mencari-cari ponsel miliknya didalam handbag.
Nama Risa muncul di layar saat dia berhasil menarik keluar ponselnya.
"Kenapa, Ris?" bisiknya.
"Lo udah sampai?" Celline bertanya. Suaranya terdengar kencang mengisi lift yang sepi.
Dengan gugup dia melirik orang-orang yang sudah acuh dengan kehadiranya seraya berbisik kembali. "Gue udah nyampai tinggal ketemu dia aja."
"Bagus-bagus. Jangan pulang sebelum loe berhasil ngomong tentang anak yang lo kandung ke dia," ujar Risa memperingati.
Semua mata kembali menatap ke Rachel kali ini pandangan mereka lebih intens karena meneliti dari ujung kepala sampai kaki. Dia ingin menghilang dari tempat ini.
"Iya!" bisiknya kasar. "Nanti gue telfon lagi," katanya sambil mematikan sambungan telfon sepihak. Entah kenapa perjalanan menggunakan lift terasa semakin lama.
Lift berhenti dilantai 6. Penghuni yang tadi menatapnya intens keluar berganti dengan seorang pria tua dan pria muda yang sepertinya seumuran dengan Rachel atau malah lebih muda. Dia tidak tahu.
"Hai." Seseorang menepuk pundaknya membuat Rachel berbalik dan mendapati pria yang sepantaran dengannya tengah tersenyum ramah.
"Iya, hai." Della tersenyum menghilangkan kegugupan.
"Gue baru pertama kali liat loe di sini," katanya dengan suara lembut.
Kenapa pria tampan yang dia temui selalu bersuara lembut?
Della berdehem pelan. "Gue cuma mau ketemu orang disini." Dia menjelaskan singkat.
"Kirain ... "
Della mengangguk, dan kembali fokus ke depan. Lift berhenti lagi dan pria tua itu keluar.
"Emang lo mau ketemu siapa?" Pria itu bertanya. "Mana tahu gue kenal?"
Della tersenyum sopan untuk membalas, "Nggak usah. Makasih," Katanya berusaha sopan agar tidak terdengar kasar karena menolak niat baik seseorang.
Dia menggaruk kepalanya kecil seraya tertawa, "Oke. Nggak masalah, mudah-mudahan cepat ketemu ya."
Della tersenyum dan berbisik mengucapkan terima kasih saat pintu lift berdenting dan terbuka.
"Makasih. Nice to meet you," ucap Della seraya melangkah pergi. Namun langkahnya terhenti saat pria itu memanggilnya.
"Gue boleh tau nama lo nggak?"
Della ragu untuk sesaat. "Della," ujarnya sambil berlalu.
"Nama lo bagus, " teriaknya. Yang membuat Della ikut terseyum.
***
"Saya ingin bertemu dengan Bapak Abid Pranadipta," kata Della pada seorang wanita berkacamata yang duduk di depan ruangan.
Wanita itu tersenyum hangat. "Maaf dengan siapa? Apakah sudah membuat janji sebelumnya?" Dia bertanya dengan suara lembut.
"Em- belum. Tapi saya cuma mau bicara sebentar."
"Maaf sebelumnya tapi untuk bertemu Bapak Abid harus membuat janji terlebih dahulu. Tapi tunggu sebentar, kalau cuma untuk beberapa menit bisa. Bagaimana?" Wanita itu melihat ke komputer dan Della secara bergantian untuk memastikan sesuatu.
"Iya mbak. Nggak pa-pa. Terimakasih, " seru Rachel. Lega.
Untung aja dia gak sombong. Batin Della.
Della menatap wanita itu yang sibuk beralih dari komputer ke interkom. Dia menekan tombol dan tersenyum padanya.
"Maaf pak ada yang ingin bertemu dengan bapak." Dia berhenti sejenak sambil melirik ke arah Della. "Belum buat janji pak tapi ... " Dia berhenti lagi dan menunggu kelanjutan pembicaraan di sebrang sambil melihat ke arah Rachel.
"Maaf mbak kata Pak Abid nggak bisa kalo nggak buat janji." Wanita itu memberi tahu raut wajahnya merasa bersalah karena tidak bisa membantu.
Della menghela nafas. "Bisa minta tolong mbak bilangin yang mau saya sampaikan penting banget." Dia memohon.
Wanita itu mengangguk. "Pak yang mau disampaikan sesuatu yang penting," serunya sekali lagi. "Baik pak akan saya antarkan masuk."
Della tersenyum saat wanita itu menuntunya keruangan Abid Pranadipta.
"Ini mbak ruangan Pak Abid, silahkan masuk."
"Terimakasih ya mbak. Maaf udah ngerepotin."
"Nggak repot sama sekali kok. Kalau begitu saya permisi."
Della terdiam menatap pintu di hadapannya. Dadanya berdegup kencang dia amat gugup.
Dia mengetuk pintu. Setelah mendapat jawaban dengan segera masuk. Aroma segar dari campuran parfum dan pengharum ruangan saat dia berhasil masuk berhasil menetralisir rasa gugupnya. Della memandang Abid yang tampak tidak terusik dengan kehadirannya, pria itu masih asyik bergelung dengan tumbukan berkas yang tercecer dimeja.
"Anda cuma punya waktu lima menit untuk jelasin maksud dan tujuan anda," katanya. Tapi tidak berpaling sedikit pun dari kesibukannya. "Siapa nama lo?"
Della sedikit tersentak kaget mendengar suara pria itu. Meski intonasi suaranya berbeda namun nadanya tetap sama tidak diragukan lagi Abid Pranadipta adalah pria itu. Bajingan yang membuat Della menganggur selama tiga bulan.
"Gue Ardella. Gue kesini cuma mau bilang, kalo gue hamil anak loe."
Kepalanya langsung terangkat, mata hitamnya menatap telak kearah Della yang langsung membuat perempuan itu gugup setengah mati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments