Bab 3

[Mah, aku tidak mau menikah dengan lelaki tua bangka itu. Lebih baik aku mati dari pada harus menikah dengannya!] Tulis Allea di secarik kertas yang ditemukan oleh Bu Messa di dalam lemari pakaian milik anak perempuannya itu.

Hal itu tentu saja membuat Bu Messa begitu terpukul. Ia tidak terima jika putri kesayangannya sudah pergi meninggalkan rumah hanya demi menghindari persyaratan dari Tuan Abian.

Wanita paruh baya itu berteriak histeris sambil memanggil-manggil nama sang buah hati. "Alleaaaa, hiks!"

Teriakan Bu Messa terdengar hingga ke telinga Pak Herdinan yang saat itu tengah asik berpakaian dan Kalila yang sedang sibuk mempersiapkan sarapan untuk keluarga Pak Herdinan.

Mereka segera menghambur dan menuju ke arah asal suara. Di mana Bu Messa masih menangis histeris sambil memeluk secarik kertas yang berisi pesan dari Allea.

"Ada apa, Mah?" tanya Pak Herdinan, bergegas menghampiri Bu Messa lalu mendekapnya dengan erat.

"Aku menemukan pesan ini di dalam lemari pakaiannya Allea, Pah. Allea sudah pergi! Dia sudah kabur dari rumah," tutur Bu Messa di sela isak tangisnya.

Menyerahkan secarik kertas yang ia temukan di dalam lemari Allea kepada Pak Herdinan.

[Mah, aku tidak mau menikah dengan lelaki tua bangka itu. Lebih baik aku mati dari pada harus menikah dengannya!]

Tubuh Pak Herdinan bergetar setelah membaca isi pesan tersebut. Raut wajahnya seketika berubah. Kini tampak memerah, menahan amarahnya yang semakin memuncak.

Kertas itu dikepal dengan sempurna, hingga otot-otot tangannya menyembul keluar. Rahang Pak Herdinan menegas, pertanda bahwa ia benar-benar marah saat itu.

"Keterlaluan Allea! Dasar anak tidak tahu diuntung!" geram Pak Herdinan.

Seketika Bu Messa menghentikan tangisannya. Menyeka buliran bening itu, lalu menatap wajah Pak Herdinan dengan raut wajah kesal.

"Kenapa Papah berkata seperti itu? Wajar saja jika Allea pergi sebab ia tak ingin menikah dengan Tuan Abian! Dia juga punya pilihan hidup, Pah. Lagi pula ini 'kan memang salahnya Papah, jadi sepatutnya Papah lah yang bertanggung jawab, bukan dia!" Bu Messa mulai berceloteh, membela anak perempuan mereka.

"Diam kamu, Messa. Apa kamu sudah lupa. Aku menyilap uang perusahaan 'kan juga karena tuntutan gaya hidup kamu dan juga Allea. Kalian selalu minta makan di restoran mahal, beli barang branded, beli perhiasan mahal, jalan-jalan hingga ke luar negeri. Padahal kalian sudah tau bahwa gajiku tidak mencukupi untuk itu, tetapi kalian tidak pernah mau tau. Jadi, salahkah jika aku meminta sedikit bantuan kepada Allea untuk mengalah dan menikah dengan Tuan Abian?" tutur Pak Herdinan dengan suara yang meninggi.

Bu Messa menghembuskan napas berat. Ia terdiam sesaat karena apa yang dikatakan oleh suaminya itu memang benar adanya. Selama ini mereka terlalu berfoya-foya, mengikuti gaya hidup bak seorang sosialita.

"Lalu, bagaimana sekarang, Pah? Bukankah Tuan Abian akan datang sebentar lagi? Sementara Allea sudah pergi entah ke mana," tanya Bu Messa dengan lirih.

"Entahlah, aku juga bingung." Pak Herdinan menghembuskan napas berat. "Mungkin memang sudah takdirku mendekam di penjara dan membusuk di sana. Aku harap kalian semua bisa melanjutkan hidup meskipun tanpa aku," lanjut pria paruh baya itu dengan begitu pasrah.

Bu Messa kembali terisak. Tubuhnya bergetar dengan hebat dan kini berjalan menghampiri sang suami.

"Bagaimana kami bisa melanjutkan hidup tanpamu, Pah? Kami bahkan tidak bisa apa-apa. Bukankah Papah tau sendiri bahwa selama ini hidup kami bergantung padamu," tutur Bu Messa, memegangi tangan Pak Herdinan dengan erat sambil menyandarkan kepalanya di sana.

Tanpa sepengetahuan pasangan itu, Kalila mendengarkan percakapan mereka dari balik pintu.

"Ya Tuhan, ternyata inilah yang menyebabkan sikap semua orang mulai berubah. Baik Papah, Mamah dan juga Allea, akhir-akhir ini begitu sensitif," gumam Kalila dalam hati.

Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi. Baik Pak Herdinan maupun Bu Messa terlihat semakin tegang. Sebentar lagi Tuan Abian akan tiba, itu artinya habislah riwayat mereka.

"Kalila, apakah semuanya sudah disiapkan?" tanya Bu Messa kepada Kalila dengan wajah panik. Kedua tangannya saling meremas, satu sama lain dengan keringat dingin yang terus bercucuran.

"Sudah, Mah," sahut Kalila dengan begitu tenang.

Sebagai penyambutan untuk kedatangan Tuan Abian, Bu Messa meminta Kalila menyiapkan makanan ringan serta minuman untuk pria tua itu. Semua yang kini disajikan di atas meja adalah makanan dan minuman terbaik yang ada di rumah mereka.

Benar saja, hanya berselang beberapa menit kemudian, tiba-tiba terdengar suara deru mobil mewah yang ditumpangi oleh Tuan Abian, memasuki halaman rumah.

Ketegangan pun semakin terasa. Terlebih jika melihat ke wajah pasangan Pak Herdinan dan Bu Messa saat ini.

"Tuan Abian sudah tiba, Pah. Bagaimana ini?" ucap Bu Messa dengan bibir bergetar.

"Jangan panik, Mah. Terus tersenyum dan cobalah untuk berpura-pura bahwa kita baik-baik saja," sahut Pak Herdinan. Mencoba menenangkan Bu Messa, padahal ia pun sebenarnya begitu ketakutan dengan kedatangan pria berkuasa itu.

Tak berselang lama, pria itu pun akhirnya tiba dan kini berdiri tepat di hadapan Pak Herdinan dan Bu Messa yang tengah tersenyum dengan keterpaksaan.

"Selamat datang, Tuan Abian. Ma-mari, silakan duduk," ucap Pak Herdinan dengan terbata-bata, menyambut kedatangan pria tua itu dan mempersilakannya untuk duduk di sofa.

Tuan Abian, pria tua dengan rambut memutih. Tubuhnya tinggi dan masih tegap. Meskipun sudah berusia 60 tahun, tetapi wajahnya masih terlihat tampan. Ya, meskipun sudah dihiasi dengan guratan-guratan tanda penuaan di kulit wajahnya.

Pria tua itu mendaratkan bokongnya di sofa dengan raut wajah datar. Tak ada ekspresi apa pun yang terlihat di sana. Sangat tenang, akan tetapi tidak bagi Pak Herdinan dan Bu Messa. Pria tua itu terlihat begitu menakutkan dibanding apa pun saat ini.

Tepat di saat itu, Kalila datang dengan membawa sebuah nampan di tangannya. Nampan berisi minuman yang memang sudah disediakan untuk pria tua itu. Gadis itu berjongkok, lalu meletakkan gelas minuman yang tadi ia bawa ke hadapan Tuan Abian.

"Silakan diminum, Tuan." Kalila tersenyum kemudian bangkit dari posisinya.

Masih tak ada ekspresi apa pun yang terlihat di raut wajah Tuan Abian. Bibirnya pun masih merekat satu sama lain. Seolah terkunci dengan begitu sempurna. Namun, tidak dengan netra tua dengan manik berwarna abu-abu tersebut.

Ia tak bisa melepaskan tangkapan kedua netranya kepada Kalila, bahkan hingga gadis itu menghilang dari balik dinding sekat yang memisahkan satu ruangan dengan ruangan lainnya.

Tuan Abian sama sekali tak tertarik pada minuman yang kini tersaji di hadapannya. Pria tua itu lebih tertarik kepada gadis yang telah membuat minuman tersebut.

***

Terpopuler

Comments

🍁𝐀⃝🥀Angela❣️

🍁𝐀⃝🥀Angela❣️

nah lhooo 😀😀😀 tuan abiann tertarik menjadikan kalila mantunya pasti Hhhhh😁😁😁😁... aduh aduh past ending nya si alea nyesel dah 😀😀😀

2025-04-28

1

Sugiharti Rusli

Sugiharti Rusli

yah salah kamu juga kali Herdinan, udah tahu penghasilan terbatas malah dibiarkan anak-istri melakukan gaya hidup besar pasak daripada tiang,,,

2024-12-26

0

Nar Sih

Nar Sih

pasti tuan abian lebih suka kpda kalila dan pilihan nya pasti kalila lanjut kakk dobel up asyikk nih👍👍

2024-12-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!