Malam telah larut ketika Luna dan Xavier tiba di apartemen. Udara dingin menyelinap dari celah jendela yang sedikit terbuka, tetapi suasana apartemen terasa hangat dan nyaman. Luna melepaskan sepatunya dan langsung berjalan menuju ruang tengah, mengambil remote TV dengan penuh semangat.
“Aku butuh sesuatu yang bisa bikin mood-ku naik,” katanya sambil menyalakan TV.
Xavier mengangguk kecil, melepas jasnya, lalu berjalan menuju kamar tanpa berkata banyak. “Aku tidur dulu,” ucapnya singkat sebelum menutup pintu.
Luna hanya mengangkat bahu, tidak terlalu peduli. Ia mulai menjelajahi katalog film hingga akhirnya menemukan film komedi yang menarik perhatiannya. Dalam hitungan menit, suara tawa Luna mulai memenuhi ruang tengah.
Di dalam kamar, Xavier mencoba memejamkan mata, tetapi suara tawa Luna yang lepas membuatnya terusik. Awalnya, dia hanya membalikkan badan, menarik selimut lebih rapat, tapi suara tawa itu semakin keras—dan anehnya, menular. Bibirnya hampir tersenyum, meskipun ia tidak tahu apa yang sebenarnya membuat Luna tertawa.
Dengan enggan, Xavier bangkit dari tempat tidur, mengenakan kaus longgar, dan keluar dari kamar. Ia menemukan Luna tergeletak di sofa, memeluk bantal sambil tertawa terbahak-bahak.
“Apa yang kau tonton?” tanya Xavier, mengusap wajahnya yang masih mengantuk.
Luna menoleh, masih tersenyum lebar. “Film komedi. Mau nonton bareng?”
Xavier menghela napas panjang, lalu berjalan mendekat dan duduk di ujung sofa. “Aku tidak punya pilihan lain, kan?”
Luna hanya terkikik sambil menggeser tubuhnya sedikit, memberi ruang untuk Xavier. “Percayalah, ini bagus. Kau harus nonton.”
Xavier bersandar di sofa, matanya fokus pada layar. Butuh beberapa menit untuknya memahami jalan cerita, tetapi tawa Luna yang lepas membuat suasana terasa lebih hidup. Sesekali, Xavier mengerutkan kening pada humor yang menurutnya terlalu sederhana, tetapi beberapa adegan berhasil membuatnya tersenyum kecil.
“Apa kau selalu tertawa sekeras ini?” tanya Xavier setelah beberapa saat, matanya masih menatap layar.
“Selalu,” jawab Luna sambil menyandarkan kepalanya ke bantal. “Tertawa itu obat terbaik. Kau harus mencobanya lebih sering.”
Xavier hanya mengangguk kecil, tetapi matanya melirik Luna yang terlihat begitu bahagia. Ada sesuatu yang menyenangkan dari cara Luna menikmati momen sederhana seperti ini—sesuatu yang terasa asing namun menenangkan baginya.
Film pun mencapai klimaksnya, dengan adegan kocak yang membuat Luna kembali tertawa keras. Xavier, yang awalnya merasa terganggu, sekarang justru ikut tertawa kecil, meskipun ia mencoba menutupinya.
“Kau tertawa!” seru Luna, menatap Xavier dengan mata berbinar.
“Tidak,” bantah Xavier, berusaha menyembunyikan senyumnya.
“Oh, ayolah, aku melihatnya,” Luna menggoda, mendekat ke arahnya. “Akhirnya, Dokter Xavier yang dingin tahu bagaimana caranya tertawa!”
Xavier menggelengkan kepala, tetapi kali ini ia tidak bisa menahan senyumnya. “Hanya karena film ini terlalu bodoh.”
“Itu namanya lucu, Xavier.”
Mereka melanjutkan menonton hingga film berakhir. Luna meregangkan tubuhnya yang lelah, sementara Xavier mematikan TV.
“Jadi, bagaimana?” tanya Luna, menatapnya penuh harap.
“Cukup menghibur,” jawab Xavier dengan nada datar, tetapi senyum kecil di sudut bibirnya menunjukkan bahwa ia benar-benar menikmatinya.
Luna tersenyum puas, merasa berhasil menularkan sedikit kebahagiaannya kepada Xavier. Tanpa sadar, momen sederhana ini mempererat hubungan mereka, membuat mereka semakin nyaman satu sama lain.
“Besok, pilih film lain yang tidak terlalu bodoh,” kata Xavier sambil bersandar disandarkan sofa.
Luna tertawa kecil. “Aku akan cari yang lebih lucu. Tapi hati-hati, Xavier. Tertawa bisa jadi kebiasaan.”
Xavier hanya mendengus pelan diiringi dengan gelengan kecil.
Luna bersandar di bahu kekar Xavier, menghela napas panjang setelah tertawa puas menonton acara komedi favoritnya. “Sepertinya aku butuh asupan,” ujarnya dengan suara rendah yang hampir berbisik, mata jenakanya menatap lurus ke depan.
Xavier meliriknya sekilas. “Kau memang selalu butuh perhatian lebih, ya?” katanya sambil tersenyum tipis.
Tanpa perlu banyak kata, Xavier bangkit dari sofa, membungkuk sedikit untuk mengangkat tubuh mungil Luna dalam gendongannya. Luna spontan melingkarkan tangannya di leher Xavier, tertawa kecil. “Kau tahu cara memperlakukan wanita, Dok,” candanya, pipinya sedikit merona.
Xavier membawa Luna ke kamar tidurnya, langkah kakinya mantap namun penuh kehati-hatian. Dia merebahkan tubuh Luna di atas tempat tidur dengan perlahan, pandangan matanya berubah lebih lembut. “Kau selalu tahu cara mencuri malamku,” gumamnya pelan sebelum menunduk, mencium bibir Luna dengan kehangatan yang tak tergesa-gesa.
Luna menutup matanya, membalas dengan senyum kecil di sela ciuman itu. Tangannya yang lentik terangkat ke dada Xavier, menariknya lebih dekat. Bibir mereka bersatu dalam irama yang perlahan tapi semakin dalam, sementara jemari Luna bergerak membuka kancing kemeja Xavier.
Xavier membalas dengan mengecup sisi leher Luna, meninggalkan jejak-jejak lembut yang membuat Luna menggeliat manja. “Kau selalu membuat segalanya terasa lebih ringan,” bisiknya di sela ciuman itu, suaranya serak namun terdengar tulus.
Luna tertawa kecil. “Dan kau selalu tahu cara menghilangkan stresku, Dok.”
Malam itu, kehangatan dan keintiman memenuhi kamar mereka. Tawa kecil, bisikan lembut, dan keheningan sesekali terjalin dalam harmoni, membuat segalanya terasa begitu alami.
Ketika pagi menjelang, sinar matahari perlahan menembus tirai tipis yang menggantung di jendela kamar. Luna menggeliat pelan di atas tempat tidur, matanya masih terpejam. Tubuhnya terasa hangat, terlindung oleh selimut lembut dan aroma khas Xavier yang masih melekat di udara.
Namun, ketika ia membuka matanya, pemandangan yang ia lihat membuatnya tersenyum kecil. Xavier duduk di sisi tempat tidur, mengenakan kaus polos dan celana panjang. Secangkir kopi mengepul di tangannya, sementara mata kelamnya menatap Luna dengan tenang.
“Pagi,” ucap Xavier dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur.
Luna mengucek matanya, duduk bersandar pada kepala tempat tidur. “Kau sudah bangun lebih dulu? Tumben.”
“Aku tidak bisa tidur nyenyak. Ada seseorang yang terus bergerak sepanjang malam,” balas Xavier, setengah menggoda.
Luna mendengus sambil menyandarkan kepalanya. “Aku tidak tahu kau begitu sensitif.”
Xavier tersenyum tipis, menyerahkan cangkir kopinya pada Luna. “Minumlah. Kau terlihat seperti membutuhkan ini.”
Luna menerima kopi itu dengan senang hati, meniupnya pelan sebelum menyeruputnya. Rasanya hangat, pahit, dan pas—seperti kehadiran Xavier dalam hidupnya.
“Jadi, apa rencanamu hari ini?” tanya Xavier setelah beberapa saat.
“Biasa saja, studio.” Luna mengangkat bahu. Ia berbaring di sisi tempat tidur sambil memandangi langit-langit. “Aku harus menyelesaikan dua lukisan untuk pameran bulan depan. Kau?”
“Aku ke rumah sakit. Shift sore.”
“Sepertinya hidup kita sama-sama membosankan,” celetuk Luna sambil menghela napas panjang.
Xavier tertawa kecil. “Kau menginginkan drama, Luna?”
Belum sempat Luna menjawab, dering ponselnya yang nyaring memecah keheningan. Ia melompat dari tempat tidur dengan refleks, langsung berlari ke ruang tengah tempat ia meninggalkan ponselnya semalam.
“Klien, mungkin,” gumamnya sambil menyambar ponsel. Namun, nama yang tertera di layar membuatnya berhenti sejenak—Claire.
Ia segera menjawab panggilan itu. “Claire?”
“Hei, Lun! Aku lagi di dekat apartemenmu. Makan siang bareng, yuk? Aku mau cerita sesuatu,” suara semangat Claire terdengar di seberang.
Luna mengangguk, meski Claire tak bisa melihatnya. “Boleh. Setengah jam lagi?”
“Deal!” Claire menutup panggilan dengan cepat, seperti biasa.
Saat kembali ke kamar, Xavier sedang merapikan kasurnya. Ia menoleh ketika melihat Luna masuk.
“Claire mengajakku makan siang,” kata Luna santai, meletakkan ponselnya di meja samping.
Xavier mengangguk. “Bagus. Paling tidak kau punya alasan untuk keluar dari gua studiomu!”
Luna menjulurkan lidahnya, membuat Xavier tertawa kecil.
“Baiklah, aku bersiap dulu,” ucap Luna sambil melangkah ke kamar mandi.
Ketika pintu kamar mandi tertutup, Xavier duduk kembali di tepi tempat tidur, memandangi kopinya yang mulai mendingin. Pagi itu terasa biasa saja, namun di dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang perlahan berubah.
To Be Continued>>>
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Melda
kayaknya xavier udh lma mendam perasaan ke luna
2025-05-03
0
Nengsih Irawati
apa y yang berubah🤔
2025-05-02
1
Lea
Hayoo Xavier ..........
2025-04-26
1