Bab 3 : Between Us

Malam harinya, ketika Xavier akhirnya pulang, apartemen 5B tampak tenang. Dia membuka pintu dan mendapati Luna tertidur di sofa, dengan kanvas kosong di lantai dan kuas masih di tangannya.

Dia melangkah pelan, mengambil selimut bergambar bintang yang tadi pagi menyelimuti dirinya, lalu menutupkan selimut itu ke tubuh Luna.

“Selamat malam, Luna,” gumamnya sebelum melangkah menuju kamarnya.

Luna membuka matanya pelan. Jam di dinding menunjukkan pukul dua pagi. Cahaya remang-remang dari lampu meja di ruang tamu membuat suasana apartemen terasa hangat, namun ada sesuatu yang membuatnya enggan beranjak dari sofa.

Dia menyadari tubuhnya diselimuti selimut bergambar bintang—selimut yang tadi pagi ia berikan pada Xavier. Dengan dahi sedikit berkerut, Luna mengangkat bahunya. "Hmm, setidaknya dia tahu cara menjaga orang yang tertidur di sofa," gumamnya, lalu bangkit untuk merapikan meja makan yang belum sempat ia bersihkan setelah makan malam tadi.

Sementara itu, di kamar sebelah, Xavier baru saja selesai memeriksa beberapa dokumen pasien di laptopnya. Dia melirik jam digital di meja samping tempat tidurnya, lalu menghela napas panjang. Hari-harinya di rumah sakit selalu penuh, dan besok bukan pengecualian. Dia mematikan laptop, menyesuaikan alarm, lalu merebahkan diri.

Namun, suara kecil dari dapur menarik perhatiannya. Xavier bangkit dan membuka pintu, hanya untuk melihat Luna yang sedang mencoba mengangkat panci besar dengan usaha keras.

“Kau tidak bisa menunggu sampai pagi?” tanya Xavier dengan nada datar namun sedikit mengantuk.

Luna menoleh, menjulurkan lidahnya. "Aku hanya mencoba membuat semuanya rapi. Kau tahu, aku tidak bisa tidur dengan dapur berantakan."

Xavier mengusap wajahnya, lalu berjalan menghampiri. "Berikan," ujarnya, mengambil alih panci dari tangan Luna. “Kau terlalu banyak energi untuk waktu seperti ini."

"Dan kau terlalu mengantuk untuk protes," balas Luna sambil terkekeh. Dia menepuk bahu Xavier ringan. “Terima kasih, Dok. Sekarang kembali tidur sebelum kau berubah jadi zombie."

Xavier hanya mengangguk kecil sebelum kembali ke kamarnya. Malam pun berlalu tanpa gangguan.

Keesokan harinya, Xavier bangun lebih awal seperti biasa. Rutinitasnya dimulai dengan mandi air hangat yang menyegarkan, lalu mengenakan setelan kemeja yang rapi. Dia menatap cermin di kamar, merapikan dasi yang tersemat di kerahnya, memastikan penampilannya sempurna sebelum berangkat.

Saat dia berjalan ke dapur untuk mengambil kopi, Luna sudah duduk di meja makan dengan kaus tidur longgar dan rambut berantakan, menikmati semangkuk sereal.

“Kau selalu terlihat seperti seseorang yang baru keluar dari mimpi buruk di pagi hari,” komentar Xavier sambil menuangkan kopi ke dalam mug-nya.

“Dan kau terlihat seperti model iklan rumah sakit,” balas Luna sambil mengangkat sendoknya. "Hati-hati di jalan, Dok. Jangan lupa tersenyum pada pasien-pasienmu yang cantik."

Xavier hanya mendengus pelan. “Sampai nanti.”

*

Di rumah sakit, Xavier memulai harinya dengan mengecek daftar pasien yang harus ia tangani. Ruangan praktiknya selalu bersih dan rapi, mencerminkan sifat perfeksionisnya. Ketukan di pintu membuatnya mengangkat kepala.

“Xavier, kau punya waktu sebentar?” Suara itu berasal dari seorang pria berkacamata dengan jas putih yang sama rapi. Dia adalah Adrian, sesama dokter yang juga salah satu teman baik Xavier.

“Ada apa?” tanya Xavier sambil tetap memeriksa berkas di tangannya.

Adrian menyandarkan tubuhnya di meja. “Ada seorang pasien tadi di ruanganku, dan dia terus bertanya apakah kau sudah menikah.”

Xavier menghela napas panjang. “Pasien seperti itu sering muncul. Aku tidak peduli.”

Adrian tertawa kecil. “Kau harus santai sedikit, kawan. Tidak semua orang berencana membuat hidupmu lebih rumit.”

Sebelum Xavier sempat menjawab, pintu kembali diketuk. Kali ini, seorang perawat masuk untuk memberi tahu bahwa pasien pertama Xavier sudah menunggu.

“Sepertinya aku harus pergi,” kata Xavier sambil berdiri. Dia melirik Adrian. “Kita bisa membahas ini nanti.”

Adrian hanya tersenyum sambil melambaikan tangan. “Semoga harimu menyenangkan, Dok.”

Di ruang praktik, Xavier menghadapi seorang pasien muda yang datang untuk konsultasi kehamilan. Wanita itu terlihat gugup saat mulai berbicara tentang gejala-gejala yang ia alami.

“Tidak perlu khawatir,” ujar Xavier dengan suara tenang. “Gejala ini normal pada trimester pertama. Tapi pastikan untuk makan teratur dan istirahat cukup.”

Pasien itu tersenyum lega. “Terima kasih, Dokter. Anda benar-benar membuat saya merasa lebih baik.”

Xavier mengangguk kecil. Dia melanjutkan konsultasi dengan profesionalisme yang selalu membuat pasien merasa nyaman. Meskipun sifat dinginnya sering disalahartikan, di rumah sakit, Xavier adalah dokter yang sangat dihormati karena ketenangannya dan perhatian pada detail.

*

Ditempat yang berbeda, Luna duduk di depan kanvas kosong di ruang kerjanya. Jendela besar di sampingnya menampilkan pemandangan kota yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Kuas di tangannya bergerak perlahan, mencoba menggoreskan warna, namun semuanya terasa salah. Garis yang ia buat tampak kaku, tidak hidup.

“Apa yang salah denganku hari ini?” gumamnya frustrasi. Biasanya, ide-ide mengalir deras di kepalanya, tetapi pagi ini otaknya terasa seperti ruang hampa.

Dia menyandarkan tubuh ke kursi dan menatap kanvas dengan alis berkerut. Di sampingnya, ada secangkir kopi yang sudah dingin dan setumpuk palet warna yang berantakan. Sesaat kemudian, Luna berdiri dan berjalan ke dapur, menuang ulang kopinya. Sambil mengaduk, ia menatap pintu apartemen.

“Kurasa aku butuh udara segar,” katanya, lalu meletakkan cangkir kopinya. Dia mengganti kaus tidurnya dengan celana jeans robek dan sweater longgar. Setelah mengikat rambutnya dengan asal, Luna mengambil tas kecil dan kunci apartemen sebelum melangkah keluar.

Berjalan-jalan di sekitar pusat kota selalu menjadi cara favorit Luna untuk menghilangkan kebuntuan ide. Ia menyusuri jalanan yang dipenuhi toko-toko kecil, mulai dari toko buku, kafe, hingga galeri seni. Langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang pengamen di sudut jalan memainkan gitar dengan suara merdu.

Luna tersenyum kecil, mendekat sambil mendengarkan lagu yang dimainkan. Suara gitar itu membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Sesuatu yang terasa seperti percikan kecil inspirasi.

Ketika pengamen itu selesai, Luna bertepuk tangan sambil memasukkan beberapa lembar uang ke dalam kotak kecil di depannya. “Keren sekali,” katanya ramah.

Pengamen itu tersenyum. “Terima kasih. Suka musik?”

“Bukan cuma suka, aku juga butuh inspirasi,” jawab Luna sambil menunjuk ke kanvas kosong yang ada di pikirannya.

Mereka tertawa kecil sebelum Luna melanjutkan langkahnya. Kali ini, ia mampir ke sebuah toko alat lukis yang sering ia kunjungi. Aroma khas cat minyak dan kertas langsung menyambutnya begitu ia masuk. Luna mulai memilih beberapa kuas baru dan beberapa cat dengan warna-warna cerah.

Dalam perjalanan pulang, Luna berhenti di sebuah taman kecil. Ia duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang, memperhatikan sekeliling. Anak-anak berlarian dengan tawa riang, pasangan tua berjalan sambil berpegangan tangan, dan anjing-anjing kecil yang menggonggong penuh semangat. Suasana ini terasa seperti potongan kehidupan yang tenang namun penuh cerita.

Luna membuka buku sketsa kecil dari tasnya. Dengan pensil di tangan, ia mulai mencoret-coret. Garis-garis sederhana mulai membentuk figur seorang wanita yang berdiri di tengah jalan, dikelilingi lampu kota yang gemerlap. Ada sesuatu yang terasa mengalir dari tangannya, sesuatu yang hilang tadi pagi kini mulai kembali.

“Terima kasih, dunia,” gumam Luna sambil tersenyum kecil.

Sore harinya, Luna kembali ke apartemen dengan semangat baru. Ia langsung menuju ruang kerjanya, mengeluarkan semua alat yang baru ia beli. Dengan sekali tarikan kuas, ia mulai mengisi kanvas kosong yang sejak pagi membuatnya frustrasi. Warna-warna cerah memenuhi permukaan kanvas, menciptakan gambaran abstrak yang penuh emosi.

Di sela-sela pekerjaannya, Luna menyalakan musik favoritnya. Lagu ceria dari penyanyi indie favoritnya mengisi ruangan. Sesekali ia berhenti untuk meminum kopi atau memutar kuas di tangannya, tapi ia tidak lagi terjebak dalam kebuntuan.

To Be Continued>>>

Terpopuler

Comments

Nengsih Irawati

Nengsih Irawati

padahal saling melengkapi kenapa g mau ada komitmen

2025-05-02

1

Melda

Melda

semakin seru

2025-05-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!