Luna menggerakkan tubuhnya lebih dekat ke arah Xavier. Wajahnya menyiratkan rasa penasaran yang kerap muncul di tengah malam seperti ini, ketika batas-batas antara candaan dan kenyataan mulai kabur. Dia menatap Xavier yang masih bersandar di sofa, matanya setengah terbuka, menatap balik tanpa ekspresi yang bisa ditebak.
“Kau tahu, Dok,” Luna memulai dengan nada lembut, “kadang aku heran kenapa kau tidak pernah benar-benar menolak setiap kekonyolanku.”
“Karena aku sudah menyerah mencoba,” jawab Xavier, bibirnya melengkung tipis, hampir seperti senyum.
Luna terkikik pelan, lalu tanpa peringatan, ia bergerak mendekat dan mendaratkan ciuman lembut di bibir Xavier. Itu bukan sesuatu yang baru di antara mereka—mereka sudah melintasi garis-garis itu lebih dari sekali, dan tidak ada yang berubah setelahnya. Tapi setiap kali, momen itu tetap terasa seperti kilatan yang menggairahkan, seolah-olah untuk sesaat dunia hanya milik mereka.
Xavier tidak bereaksi selama beberapa detik, tetapi kemudian tangannya terangkat, menyentuh pinggang Luna, menariknya lebih dekat. Bibir mereka bergerak dengan ritme yang akrab, tanpa keraguan atau kecanggungan. Ini adalah bagian dari mereka—bagian yang tidak pernah dibahas di siang hari, tetapi selalu terasa alami saat malam tiba.
Luna tersenyum di sela-sela ciuman mereka, lalu menyandarkan dahinya ke dahi Xavier. “Kau benar-benar tidak pernah protes, ya?”
“Aku tahu kau tidak akan berhenti meskipun aku melakukannya,” jawab Xavier tenang, tapi ada secercah kelembutan di suaranya yang biasanya datar.
Luna tergelak kecil, lalu bergeser hingga berbaring di sofa dengan kepala bersandar di dada Xavier. Mereka tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu, membiarkan keheningan dan detak jantung Xavier yang stabil menjadi latar suara malam mereka.
“Xav?” Luna memanggilnya pelan.
“Hm?”
“Kau tahu, kau adalah orang paling membosankan yang pernah kutemui... tapi entah kenapa aku tidak bisa pergi dari sini,” katanya dengan nada setengah bercanda.
Xavier tidak menjawab. Dia hanya menarik selimut kecil yang tergeletak di ujung sofa dan menutupinya dengan lembut. Luna tersenyum kecil, memejamkan mata. Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, mereka mengukuhkan hubungan unik mereka yang berada di antara persahabatan dan kebiasaan yang tidak pernah benar-benar diberi nama.
*
Sinar matahari menembus tirai tipis apartemen 5B, memantulkan cahaya lembut di dinding putih bersih. Xavier membuka matanya perlahan, kepalanya terasa sedikit berat akibat wine yang diminum semalam. Dia mendapati dirinya berbaring di sofa, dengan selimut bergambar bintang yang entah bagaimana berakhir menutupi tubuhnya.
“Luna,” gumamnya pelan, memijat pelipis.
Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu dan mendengar suara gemericik dari dapur. Di sana, Luna berdiri dengan rambut yang sedikit acak-acakan, mengenakan piyama kebesaran bergambar kucing lucu, sambil sibuk mengaduk sesuatu di dalam panci. Aroma kopi dan pancake memenuhi udara.
“Selamat pagi, Dok!” seru Luna ceria, tanpa berbalik. “Kopi hitammu ada di meja. Pancake-nya sebentar lagi.”
Xavier mendengus kecil, lalu bangkit dari sofa. Dia merapikan rambutnya dengan tangan sambil melangkah ke arah dapur, mengambil cangkir kopi yang mengepul di meja. Xavier menggerakkan lehernya yang terasa sedikit kaku, lalu duduk tegak. “Kau menyelimutiku?”
“Siapa lagi?” Luna tertawa kecil, mengambil spatula dan memutar badannya ke arahnya. “Aku tidak ingin dokter hebat seperti kau masuk angin. Kau harus menyelamatkan dunia hari ini, bukan?”
Xavier hanya mengangguk. Dia tahu Luna selalu bercanda, tetapi di balik itu ada perhatian tulus yang membuatnya sulit membalas apa pun.
“Semalam, kau mabuk atau hanya kelelahan?” tanya Luna, menumpuk pancake di atas piring lalu menghiasnya dengan potongan stroberi dan sirup maple.
“Aku tidak mabuk.” Xavier mengambil tegukan kopinya. “Hanya terlalu banyak bekerja.”
“Begitulah kau. Hidupmu seperti mesin. Kalau bukan aku yang menyeretmu untuk menonton film, mungkin kau sudah melewatkan makan malam juga.”
Xavier mengangkat alisnya, mengingat semalam. “Kau terlalu banyak bicara tentang aku. Bagaimana denganmu? Apa kau juga mesin yang membuat pancake setiap pagi?”
Luna tertawa, lalu membawa piring pancake ke meja makan. “Kalau aku mesin, aku pasti mesin yang rusak. Karena, percayalah, aku tidak pernah membuat sarapan seperti ini untuk siapa pun kecuali kau.”
Xavier menatap pancake di depannya. Stroberi tersusun rapi membentuk wajah tersenyum, seolah-olah Luna sengaja mencoba membuat pagi menjadi lebih cerah. Dia tidak berkata apa-apa, tetapi mulai menyantap sarapan itu perlahan.
“Jadi, ada jadwal operasi hari ini?” Luna bertanya sambil menuangkan segelas jus jeruk untuk dirinya sendiri.
“Dua operasi, satu konsultasi dengan pasien baru,” jawab Xavier singkat. “Kau sendiri? Apa kau punya rencana besar untuk hari ini?”
Luna mengangkat bahu. “Hanya deadline biasa. Aku harus menyelesaikan lukisan untuk klien sebelum akhir minggu. Tapi setelah itu, aku akan bebas!”
“Apa itu artinya aku harus menyiapkan diriku untuk film lain?” Xavier bertanya dengan nada setengah serius.
“Oh, tentu saja!” Luna menjawab dengan senyum lebar. “Tapi jangan khawatir, kali ini aku akan memilih sesuatu yang lebih sesuai dengan seleramu. Mungkin film dokumenter... tentang pancake?”
Xavier hanya mendesah pelan, lalu menyelesaikan sarapannya. “Aku mandi dulu,” katanya singkat sebelum menuju kamar mandi.
Luna melirik sekilas ke arahnya, “Pastikan kau tidak ketiduran lagi di bawah pancuran seperti terakhir kali!”
Xavier tidak menjawab, tetapi senyum kecil terukir di sudut bibirnya.
Di dalam kamar mandi, Xavier berdiri di bawah pancuran air hangat. Air mengalir di atas tubuhnya, membilas rasa lelah yang masih tersisa dari semalam. Namun, pikirannya tidak bisa berhenti memutar momen tadi—pancake bergambar wajah tersenyum, senyuman Luna, dan betapa santainya mereka menjalani rutinitas ini.
Ketika dia keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah dan handuk tergantung di lehernya. Dia mengenakan kemeja putih yang rapi dan dasi biru gelap, mematut diri di depan cermin. Xavier adalah tipe pria yang selalu terlihat sempurna, meskipun sebenarnya dia tidak terlalu peduli dengan penampilan.
“Siap menyelamatkan dunia?” suara Luna terdengar dari belakang.
Xavier hanya mengangguk singkat. “Aku akan pulang larut malam, jadi jangan tunggu aku.”
Luna mengangkat bahu. “Kau tahu aku selalu begadang, jadi aku tidak perlu menunggumu.”
Dengan itu, Xavier keluar dari apartemen, meninggalkan Luna yang melanjutkan aktivitasnya sendiri.
*
Di rumah sakit, Xavier melangkah masuk dengan langkah percaya diri. Staf dan perawat menyapanya dengan hormat, sementara dia memberikan anggukan singkat sebagai balasan.
“Xavier!” Sebuah suara memanggilnya dari arah lobi. Dr. Leo, kolega sekaligus teman baiknya, menghampiri dengan setumpuk berkas di tangan.
“Pagi,” sapa Xavier singkat.
“Kau kelihatan lebih lelah dari biasanya. Tidur cukup?” tanya Leo, sambil memberikan salah satu berkas kepada Xavier.
“Seharusnya aku yang bertanya itu padamu,” balas Xavier, sedikit mengangkat alis. “Dua operasi hari ini, bukan? Kau siap?”
Leo tertawa kecil. “Aku selalu siap. Kau yang harus hati-hati. Kadang aku heran bagaimana kau bisa bertahan dengan jadwal seperti ini.”
“Sama seperti kau. Kopi dan... sedikit wine,” jawab Xavier sambil melirik ke arah jam dinding. “Aku harus ke ruang operasi. Kau?”
“Pasien anak-anak pagi ini,” jawab Leo. “Oh, dan dengar-dengar, ada obrolan di kantin tentang kau. Sesuatu tentang dokter obgyn dingin yang mendadak terlihat... lebih ramah?”
Xavier hanya mendengus. “Obrolan di kantin tidak relevan.”
“Kalau kau bilang begitu,” Leo mengangkat tangan tanda menyerah, sebelum melangkah pergi.
Setelah selesai dengan dua operasi paginya, Xavier kembali ke ruangannya. Ruangan itu sederhana namun teratur, dengan beberapa sertifikat yang tergantung di dinding dan rak penuh buku referensi medis. Saat dia memeriksa jadwalnya, perawat mengetuk pintu dan berkata, “Dokter, pasien konsultasi Anda sudah menunggu.”
“Bawa dia masuk,” jawab Xavier, lalu mengenakan jas putihnya.
Seorang wanita muda masuk, wajahnya tampak gugup. Dia memegang dokumen medis dengan tangan yang sedikit gemetar.
“Silakan duduk,” kata Xavier, suaranya tenang namun tegas.
Wanita itu duduk perlahan, lalu menjelaskan masalah yang dialaminya. Xavier mendengarkan dengan saksama, mencatat beberapa hal di berkasnya, sebelum memberikan penjelasan yang rinci namun mudah dipahami.
“Jadi, tidak ada yang serius, Dok?” tanya wanita itu dengan nada ragu.
Xavier mengangguk. “Tidak, tetapi kita tetap akan melakukan beberapa pemeriksaan tambahan untuk memastikan. Jangan khawatir, semuanya di bawah kendali.”
Ekspresi lega tergambar di wajah wanita itu. “Terima kasih, Dokter. Anda benar-benar membantu.”
“Ini pekerjaan saya,” jawab Xavier singkat, namun ada senyum tipis di bibirnya.
To Be Continued>>>
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Melda
cerita yang menarik
2025-05-03
0
Agus Tina
Mampir ... sepertinya bagus
2025-05-02
1