Ketukan di pintu ruang kerjanya membuat Luna menoleh. Xavier berdiri di sana, masih mengenakan jas putihnya. “Lukisan baru?” tanyanya.
“Yep!” jawab Luna sambil tersenyum lebar. “Tunggu sampai selesai. Aku akan memajangnya di ruang tamu.”
Xavier mendekat, mengamati kanvas dengan alis terangkat. “Kau benar-benar punya selera warna yang unik.”
“Terima kasih. Itu pujian terbaik yang pernah aku dapatkan hari ini,” kata Luna sambil menatap Xavier. “Bagaimana harimu di rumah sakit?”
“Seperti biasa, sibuk dan melelahkan,” jawab Xavier sambil melepas dasinya. “Aku akan mandi. Setelah itu, mungkin aku butuh teh.”
“Teh? Tidak kopi?” Luna menggoda.
“Cukup kopi untuk hari ini. Lagipula, aku dokter. Kau seharusnya tahu batasnya,” balas Xavier sambil berjalan ke kamarnya.
Luna tertawa kecil. Hari itu mungkin dimulai dengan kebuntuan, tapi akhirnya ia berhasil menemukan kembali aliran kreativitasnya. Dan di akhir hari, kehadiran Xavier, dengan sikap datarnya yang khas, selalu menjadi penutup yang sempurna.
*
Xavier keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah. Kemeja putih bersih yang ia kenakan membuatnya terlihat lebih santai dibandingkan seragam dokter yang biasa ia pakai. Saat berjalan ke dapur, aroma teh mint yang menyegarkan menyambutnya.
“Kau membuat teh untukku?” tanyanya sambil menatap cangkir di meja.
Luna, yang sedang menyandarkan tubuh di sofa dengan selimut tipis, menoleh sambil mengangkat bahu. “Aku hanya mencoba bersikap baik. Jangan terlalu sering, nanti kau ketagihan.”
Xavier tersenyum kecil. Ia mengambil cangkir itu, lalu duduk di kursi dekat meja makan. Sementara menyesap teh, matanya melirik ke arah ruang kerja Luna. Lukisan yang baru saja ia lihat tadi masih ada di sana, terpajang setengah jadi di atas kanvas besar.
“Lukisan itu... ada sesuatu yang berbeda darinya,” gumam Xavier.
“Berbeda? Maksudmu jelek?” Luna memutar bola matanya dengan dramatis.
“Tidak, bukan itu.” Xavier menyesap tehnya lagi sebelum melanjutkan, “Ada sesuatu yang lebih hidup. Biasanya, lukisanmu terkesan tenang dan damai. Tapi yang ini... lebih berani.”
Luna terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Mungkin karena aku sedang mencoba keluar dari zona nyaman. Aku ingin mencoba sesuatu yang baru.”
“Cukup berhasil, menurutku,” kata Xavier singkat.
Mereka terdiam beberapa saat, menikmati keheningan malam. Di luar, suara kendaraan yang melintas menjadi latar belakang yang samar.
“Kau tidak akan bekerja besok, kan?” tanya Luna tiba-tiba.
“Tidak, besok jadwal liburku,” jawab Xavier sambil meletakkan cangkir tehnya. “Kenapa?”
“Bagus. Karena aku butuh seseorang untuk membantuku memilih bingkai untuk lukisan baru ini. Kau tahu, ini proyek spesial,” ujar Luna dengan nada serius, meskipun matanya berbinar ceria.
Xavier mengangkat alis. “Kenapa aku?”
“Karena aku butuh pendapat seseorang yang jujur tapi tidak tahu apa-apa tentang seni,” jawab Luna sambil terkekeh. “Kau sempurna untuk itu.”
Xavier mendesah panjang, tapi ada senyum tipis di wajahnya. “Baiklah. Tapi jangan terlalu lama. Aku tidak suka berada di tempat ramai terlalu lama.”
“Tenang saja, Dokter. Aku akan memastikan kau bertahan hidup,” balas Luna, lalu kembali menyelimuti tubuhnya.
*
Keesokan harinya, mereka berdua berjalan menyusuri lorong sebuah toko seni yang luas. Luna tampak sibuk memeriksa bingkai-bingkai dengan berbagai warna dan bentuk, sementara Xavier hanya berdiri di belakangnya, memasukkan tangan ke dalam saku celananya.
“Kau pikir yang ini cocok?” Luna mengangkat sebuah bingkai berwarna emas dengan hiasan ukiran di sudut-sudutnya.
“Sepertinya terlalu berlebihan,” jawab Xavier tanpa ragu.
“Lalu yang ini?” Luna menunjuk bingkai kayu sederhana dengan warna cokelat gelap.
“Lebih baik,” kata Xavier. “Tapi kau harus pastikan itu sesuai dengan tema lukisanmu.”
Luna menatapnya dengan ekspresi terkejut. “Wow, aku tidak menyangka kau bisa memberi pendapat seperti itu. Kau pasti diam-diam mempelajari seni, ya?”
“Tidak,” jawab Xavier dengan datar. “Aku hanya mengatakan apa yang masuk akal.”
Mereka tertawa kecil sebelum Luna memutuskan bingkai yang paling cocok. Setelah menyelesaikan urusan di toko seni, Luna mengajak Xavier untuk makan siang di kafe kecil yang tak jauh dari sana.
“Aku suka tempat ini,” kata Luna sambil menyeruput lemon tea-nya. “Rasanya damai, seperti semua hal berat dalam hidup bisa dilupakan untuk sementara.”
Xavier menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Tempat seperti ini memang penting. Memberikan waktu untuk berhenti sejenak.”
Luna tersenyum, namun tidak mengatakan apa-apa. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah Xavier pernah benar-benar berhenti. Pria itu tampak selalu sibuk, selalu ada sesuatu yang memenuhi pikirannya. Dan meskipun mereka sering bercanda, Luna tahu ada sesuatu di balik sikap dingin Xavier yang belum sepenuhnya ia pahami.
Namun, ia tidak bertanya lebih jauh. Baginya, waktu akan menjawab semuanya. Yang penting, mereka memiliki momen-momen kecil seperti ini—momen yang membuat semuanya terasa lebih ringan.
Suasana di kafe siang itu terasa tenang. Luna dan Xavier menikmati makan siang mereka sambil berbincang ringan. Sesekali, Luna melontarkan lelucon yang membuat Xavier tersenyum tipis—sesuatu yang jarang terlihat di wajahnya.
“Aku rasa lukisan berikutnya akan jadi masterpiece-ku,” kata Luna sambil memainkan garpu di piring pastanya.
“Kalau tidak diwarnai dengan saus pasta, mungkin saja,” balas Xavier, membuat Luna tertawa pelan.
Namun, tawa Luna terhenti ketika seorang wanita menghampiri meja mereka. Rambut panjangnya tergerai rapi, senyumnya cerah, dan aura percaya dirinya langsung memenuhi ruangan. Luna mengerjap, mencoba mengenali wajah itu.
“Luna?” suara wanita itu terdengar antusias. “Ya Tuhan, ini benar-benar kamu!”
Luna butuh beberapa detik untuk menyadari siapa wanita itu. “Claire?” serunya, matanya membulat.
Claire tersenyum lebar. “Aku nggak percaya bisa ketemu kamu di sini! Apa kabar?”
Luna berdiri, memberikan pelukan hangat pada Claire. “Aku baik. Aku nggak nyangka ketemu kamu setelah sekian lama. Apa kabar kamu?”
Mereka berbicara dengan penuh semangat selama beberapa detik, mengenang masa-masa SMA mereka. Claire adalah sahabat Luna yang dekat, tetapi mereka kehilangan kontak setelah Luna pindah ke luar negeri.
“Oh, aku hampir lupa,” kata Luna, menarik Claire ke kursi kosong. “Kenalin, ini Xavier.”
Claire memutar tubuhnya, matanya langsung tertuju pada Xavier. Tatapan terkejut melintas di wajahnya sebelum berubah menjadi kagum. “Hai, aku Claire,” katanya sambil mengulurkan tangan.
Xavier menyambut tangannya dengan sopan. “Xavier.”
“Wow,” gumam Claire sambil tersenyum lebih lebar. “Aku nggak tahu kamu punya pacar, Luna.”
Luna terbatuk kecil, wajahnya sedikit memerah. “Dia bukan pacarku, Claire. Dia temanku.”
“Teman?” Claire menatap Xavier lebih lama, senyum misterius di wajahnya. “Hmm... menarik.”
Xavier hanya mengangguk kecil, kembali fokus pada makan siangnya. Namun, Claire tampak tidak terganggu. Dia terus berbicara dengan Luna, sesekali menyelipkan komentar atau pertanyaan yang melibatkan Xavier.
Luna, justru tampak terhibur. Dia sesekali mencuri pandang ke arah Xavier dan Claire, menikmati interaksi mereka. Dalam benaknya, dia berpikir, Ternyata Xavier punya pesona yang tidak bisa ditolak.
Namun, tidak demikian dengan Xavier. Cara Claire berbicara dan sesekali menatapnya terasa terlalu akrab untuk seseorang yang baru saja dikenalnya.
“Jadi, Xavier, kamu tinggal di sini?” tanya Claire, menyandarkan dagunya pada tangannya sambil menatapnya penuh perhatian.
“Ya,” jawab Xavier singkat, tanpa menatap langsung.
“Dan kamu dokter, kan?” lanjut Claire, suaranya terdengar terlalu ramah.
Xavier berhenti sejenak, menatap Claire dengan ekspresi datar. “Ya, aku dokter. Tapi aku tidak terbiasa dengan sesi tanya jawab saat makan.”
Claire tertawa kecil, tidak terlihat tersinggung. “Maaf, aku hanya penasaran. Kamu terlihat sangat menarik untuk ukuran dokter.”
Luna menahan senyum mendengar respons Xavier yang langsung. Dia tahu betul bahwa pria itu tidak suka basa-basi atau perhatian berlebihan dari orang asing, dan melihat bagaimana Claire terus mencoba mendekat, Luna justru merasa ini momen yang menghibur.
Setelah beberapa saat, Claire melirik jam tangannya. “Ah, aku harus pergi sekarang. Tapi, Luna, kita harus ketemu lagi. Kita punya banyak hal untuk diceritakan. Dan, Xavier...” Claire berhenti sejenak, memberikan senyuman manis. “Senang bertemu denganmu. Semoga kita bertemu lagi.”
Xavier hanya mengangguk singkat. “Sama-sama.”
Setelah Claire pergi, keheningan menggantung di meja. Luna akhirnya tak bisa menahan tawanya.
“Kenapa kamu tertawa?” tanya Xavier, mengerutkan kening.
“Tidak ada. Hanya saja... kamu benar-benar tidak pandai berurusan dengan orang seperti Claire.”
Xavier meletakkan sendoknya dengan gerakan tegas. “Dia terlalu cepat akrab. Aku tidak suka itu.”
Luna terkikik lagi. “Santai saja, Xavier. Itu hanya Claire. Dia memang selalu seperti itu sejak dulu.”
Xavier mendengus pelan, kembali fokus pada makanannya. “Aku harap dia tidak seperti itu lain kali.”
Luna menggeleng sambil tersenyum kecil, merasa aneh melihat sisi Xavier yang sedikit terusik. Namun, di sisi lain, dia menikmati dinamika ini—sesuatu yang baru dan menghidupkan harinya.
To Be Continued>>>
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Nengsih Irawati
sepertinya Xavier menarik perhatian Claire
2025-05-02
1
Melda
aduh xavier, kamu sangat jujur dan berterus terang /Facepalm/
2025-05-03
0
Lea
Wowww wowww ...
2025-04-26
2