Ziva terjatuh kelantai berdebu itu. Bram tidak bereaksi. Ia hanya mengira bahwa Ziva sedang berakting lagi. "Sungguh memuakkan!" gumamnya.
Ditendangnya tubuh Ziva pelan. Ia sungguh muak melihat tingkah laku Ziva. "Hei, bangun gak! Gausah akting lagi. Aku gak bakalan luluh sama anak gendut kaya kamu. Udah, anak gendut ya anak gendut aja selamanya, gausah sok polos. Bikin jijik tau gak!" bentak Bram lagi.
Namun Ziva tak juga bergerak. Ia sedikit cemas. Dihidupkannya cahaya lampu dari handphonenya. Karena, keadaan di dalam gudang lumayan gelap. Apalagi di pagi hari dengan orang yang masih sunyi. Tanpa lampu penerangan. Dilihatnya, wajah Ziva yang sangat pucat. Bram mulai cemas. Ia takut terjadi apa-apa dengan Ziva, dan ayahnya akan datang ke sekolah.
Ia mulai kalang kabut. Di cobanya untuk membuka pintu. Namun sialnya, secara misterius pintunya terkunci. Dia jadi berfikir, bukankah tadi ia melihat Lissa di kelas, dan tidak mungkin Lissa hanya melihat temannya di bully bukan?
"Kemana anak itu pergi?"
Dia mulai menatap jam lagi, ternyata di jam baru menunjukan pukul 06.45. Berarti sekitar 45 menit lagi petugas piket sekolah akan datang. Ia menggerutu sendiri. Namun, bukannya mencoba mencari jalan keluar, Bram malah mencoba untuk menyadarkan Ziva.
Ia terus memanggil-manggil missquen gendut, missquen gendut. Ia terus berusaha untuk membangunkan Ziva. Namun, Ziva tidak juga bangun. Diapun kesal. Suaranya telah habis akibat membangunkan Ziva.
Ia menatapi Ziva yang dalam keadaan pingsan dan tak berselimut. Di tariknya kaki kanan Ziva menuju dekat rak buku.
Diberikannya jaketnya untuk menyelimuti tubuh Ziva. Dan ia pun bersender di dekat pintu, agar apabila ada seseorang yang membuka akan langsung didengarnya.
Saat Bram mulai memejamkan matanya, saat itulah Ziva terbangun. Ziva menatapi Bram yang sedang bersandar di dekat pintu. Dan ia melihat, ada jaket yang menututpi setengah tubuhnya. Hatinya mulai tersentak lagi, 'apa yang sudah terjadi pada dirinya?' Ia mulai cemas. Ia merasa sangat takut apabila dalam gelap.
Ziva mulai berjalan jinjit menuju jendela, ia sangat berharap bahwasannya Bram tidak membuka matanya. Ia mulai melancarkan aksinya. Dibukanya pintu jendela persegi panjang yang ukurannya lumayan besar.
Kriet...
Suara dari gesekan engsel itu membangunkan Bram. Ziva sungguh tergidik ketika melihat Bram yang mulai terbangun. Langsung dikeluarkannya sebelah kaki kanannya menuju luar jendela. Memijakkan kakinya di teras jendela.
"Hei, tahukah kamu berada di lantai berapa kita? Seberapa jauh jarak dari sini ke bawah?" ucap Bram dengan santai tanpa mengubah posisi duduknya yang bersender di sebelah celah-celah pintu dengan dinding.
"Ja-jangan mendekat!" teriak Ziva.
Bram malah bahagia melihat hal itu. Ia tersenyum melihat Ziva merasa tersiksa. Ia bangkit dari posisinya, dilangkahkannya kakinya mendekati jendela. Ziva mulai merasa sesak nafas. Dipandanginya kebelakang. Seberapa jauhkah posisinya sekarang?
Astaga! Ternyata mereka berada di lantai 3. Ziva merasa bingung. Apa yang harus dilakukannya?
...***...
Di bandara dengan banyak pesawat yang sedang lepas landas. Banyak orang sedang menanti giliran keberangkatan mereka. Sekarang, seorang lelaki sedang menggenggam erat topi pilotnya itu. Tubuhnya dingin, dengan keringat yang terus saja menetes.
"Muhammad Sulthan Assauqi. Silahkan!" ucap seorang Pembina yang sedang mengajarkan untuk para pemagang di bandara itu. Mereka sedang belajar menerbangkan pesawat. Dan kini tiba di bagian Sulthan.
Sulthan memasuki pintu pesawat, ia memasang headset di telinganya, memasang sabuk pengaman, dan mulai menghidupkan mesin. Sulthan berulang kali menarik dan menghembuskan nafas, guna untuk menenangkan hatinya yang tegang.
Pesawat mulai berjalan, Sulthan menekan tombol-tombol yang berada di depan dan di atasnya. Entah apa fungsi ribuan tombol itu. Tetapi, Sulthan bisa mengontrol pikirannya untuk tetap fokus. Hingga pesawatnya mulai terbang. Ketika pesawat terbang lebih tinggi, Sulthan menaikkan roda pesawat.
Siiiiit....
Pesawat yang di kendarai Sulthan berhasil melandas dengan aman tanpa ada sedikit kesalahan. Akhirnya, keberhasilan Sulthan menggapai cita-citanya tinggal sejengkal lagi. Tinggal menghabiskan waktu magangnya selama 1 tahun, dan ia bisa menjadi pilot. Walau sekarang hanya sebagai pilot cadangan, tetapi ia sudah bisa naik pesawat tanpa biaya yang tinggi.
"Sulthan... besok kamu bisa berangkat ke Bali dengan pesawat sriwijaya dan jadi co-pilot saya, ya. Dan pilot utamanya adalah saya sendiri," ucap seorang laki-laki berumuran sekitar 35 tahun dengan tubuh gagah.
“Apa, Pak? Terima kasih banyak, Pak, atas kesempatannya, Pak. Terima kasih." ucap Sulthan dengan rasa syukur.
Namun teman Sulthan yang masih sama-masa magang di sana cemburu dan iri dengan kesempatan Sulthan. Ia adalah Bima Adrian Munggala. Bima memandangi Sulthan dengan dahinya yang mengernyit, giginya yang gemertak. Baginya, ini sangat tidak adil. Karena mereka magang di waktu yang sama, tetapi ia tidak pernah sekalipun mendapatkan kesempatan untuk menjadi co-pilot dan selalu jadi pilot cadangan.
Sulthan membeli makan siang, yaitu nasi goreng spesial dengan telur dadar, ayam goreng, dan seafood. Sulthan menyantap makan siangnya itu dengan Bima, tetapi Bima tidak nafsu makan karena perasaannya sedang terganggu oleh rasa iri itu. Sulthan menatapinya, Bima hanya mengacak-acak nasi gorengnya dan menjadi seperti nasi campur.
“Kenapa, Bim? Ada masalah?" tanya Sulthan khawatir.
“Banyak," ucapnya singkat.
“Mau cerita?" tawaran Sulthan kepada Bima agar Bima merasa lebih tenang.
Bima hanya diam...
“Tau gak Bim, dulu waktu kita di akademi, kamu suka ngejekin aku loh Bim waktu aku takut ketinggian. Tapi karena ejekanmu dulu, membuat aku ingin membuktikan pada semua. Kalau aku juga bisa. Makasih ya Bim, tanpa bantuan darimu dulu, aku gak akan bisa jadi diri aku yang sekarang." Ucap Sulthan setelah nasi di mulutnya habis, setelah ia selesai berbicara ia kembali memasukkan nasi goreng itu ke mulutnya kembali.
Bima hanya diam sambil mulai memakan nasi goreng spesialnya itu. Walau belum sepenuhnya, perasaan Bima sedikit membaik akibat perkataan dari sulthan.
...***...
Nanti sore, Vina, zulkarnain, dan Sulthan akan datang kerumah Ziva untuk meminangnya. Sekarang ibunya sedang sangat sedih dan takut karena harus menyerahkan putri bungsunya yang masih muda itu menikah.
Di usianya yang masih 16 tahun, apa yang harus Ziva lakukan. Walau Ziva sudah sering di ajari ibunya cara memasak, tetapi apa Ziva juga bisa mandiri jika ia tidak di temani ibunya.
Ibu Ziva telah memanggil kedua kakak-kakak Ziva yang mengikuti jejak suami mereka diluar daerah. Ibu Ziva ingin menceritakan apa yang direncanakan oleh Vina Julaiha. Ia sangat tidak ingin putri bungsunya itu lepas tanggung jawab darinya. Namun, ia juga tidak sanggup melihat putrinya menderita seperti itu. Ia ingin putri mengetahui, bahwa tidak semua lelaki itu jahat. Dan ia juga takut, Ziva tidak memiliki sandaran lain kecuali ayahnya nanti ketika ia mungkin akan pulang ke sisi Allah.
Ibu Ziva sedang berada di ruang tamu bersama ayah Ziva serta kedua kakak-kakak Ziva. Kania Azzahra dan Alya humairoh.
“Umi, Lia juga setuju kalau untuk rencana penyembuhan Ziva. Tapi yang gak Lia setuju itu, kenapa harus menikahkan Ziva? Kan masih banyak tatacara lain. Mungkin Lia kurang sopan, tapi Lia kurang suka sama rencananya bu Vina. Bisa aja ini rencana dia untuk merebut Ziva dari umi." ucap Alya humairoh dengan amarahnya. Tetapi ia tetap berusaha sopan di depan ibunya tercinta.
"Gak boleh begitu. Bu Vina itu niatnya baik. Dia bilang mau menyembuhkan umi dan Ziva. Secara ekonomi, keuangan kitakan juga sedang kurang baik," ucap ibu Ziva, Syahrotul Zabaniyah.
"Umi sakit? Sakit apa?" tanya Kania Azzahra panik.
Ibu mereka sedikit kikuk. Tak disangkanya ia akan membocorkan rahasia yang sudah disimpannya sekian lamanya.
"U-umi..." ucap ibu kikuk.
"Jawab, Mi!" teriak Kania Azzahra agak kencang. Ibu terkejut mendengar Kania bisa berbicara sekencang itu padanya.
"Umi, umi sakit kanker,"
"Ha. Umi bercandakan, Mi? Kenapa umi gak pernah ceritain hal ini sama kami? Apa umi gak percaya sama kami? Umi!" ucap Kania yang mulai menangis.
Ibu hanya terdiam. Tampak dari mimik wajahnya, kalau ibu adalah seorang wanita yang sangat kuat.
"Bukan. Ini adalah salah umi. Ini salah umi. Jadi, umi sendirilah yang harus menanggungnya. Kalian hanya perlu mengurus adik kalian. Umi, akan tanggung sendiri penyakit umi,"
"Umi. Kami begini bukan karena merasa disalahkan. Kami sakit hati karena umi gak percaya sama kami. Kami putri umi, bukan rentenir. Umi juga harus mengandalkan kami sekali-sekali. Jangan terus berusaha tegar, Mi. Andalkan Nia atau kak Lia, Mi," ucap Kania Azzahra sambil menggenggam erat tangan uminya yang tengah duduk di sofa ungu bersejarah.
"Kania, Alya, jangan salahkan umi. Salahkanlah abi yang telah gagal sebagai kepala keluarga. Salahkanlah abi sebagai abi yang payah. Abi telah menjual kalian terlalu cepat. Di usia kalian masing-masing baru 20 tahun. Dan abi juga telah lalai dalam menjaga Ziva, sehingga ia menjadi begini," ucap ayahnya yang berusaha meredakan kekecewaan kedua putrinya.
"Abi, jangan bilang begitu. Ini semua salah Lia. Sebagai kakak tertua, Lia sudah gagal dalam menjaga Ziva. Lia juga gagal dalam mengerti umi. Lia terlalu tidak peka dengan dunia kita, Lia hanya memperdulikan dunia Lia sendiri. Maafkan Lia Yah, Mi, Nia."
Alya Humairoh mulai seperti namanya. Wajahnya memerah akibat kesedihan yang tak sanggup dikeluarkannya. Ia berusaha untuk tidak menangis. Karena ialah satu-satunya yang bisa menjadi sandaran bagi ibunya dan kedua adiknya selain ayah mereka.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Heni Lestari
hai salam kenal aku Heni lestari mapir juga ya kak ke novel ku kisah cintaku dengan adik kelas ku aku juga dah like kak sampai 6 back y author 😂
2021-02-17
1