Sulthan beralih ke suara jatuh yang berasal dari ibu Ziva yang dikenalnya sebagai tamu momynya. Tanpa pikir panjang, ia menggendong wanita itu atau ibu Ziva dan menaikkannya ke atas sofa.
Sulthan meletakkan minyak angin pada hidung Niyah. Dan setelah ia terbangun, Sulthan langsung menyuguhkan air putih kepada Niyah. Dengan wajah sedih, matanya berkaca-kaca dan hidungnya mulai memerah. Hal itu membuat Sulthan bingung.
"Sulthan, kamu ingat, bukan? Dahulu, kita pernah kerumah bu Niyah waktu kamu berumur 12 tahun," Vina terdiam sejenak. Vina sedang bingung bagaimana caranya untuk mengatur kata-kata yang pas.
“Putri bungsu ibu ini yang akan menjadi istrimu, Sulthan. Namanya Ziva!" Ucap Vina dengan semangat, namun nada suaranya tetap terdengar lemah.
Mendengar hal itu, Sulthan sungguh terkejut. Ia ingat dengan nama familiar yang jarang dimiliki orang lain seperti Ziva. Tetapi, kenapa ia tersenyum? Sulthan tersenyum seakan merasa senang. Benarkah ia ikhlas dengan rencana ibunya? Bukankah ia sedikit keberatan?
...***...
Setelah selesai makan, Ziva, ibu dan ayahnya duduk santai di atas sofa.
"Ziva, momy masuk rumah sakit. Katanya asam lambungnya naik lagi. Sebentar lagi, umi sama abi mau jenguk. Ziva jaga rumah ya!" pinta uminya kepada Ziva sambil meminum 3 teguk air putih.
“Iya, Mi. Hati-hati, ya!” ucap Ziva dengan wajah manisnya.
“Iya, Nak. Ziva juga hati-hati di rumah, jangan bukakan pintunya untuk orang lain. Dah, umi pergi ya!" Ucap ibunya.
"Ziva kirim salam sama momy ya, Mi. Semoga momy cepat sembuh," ucap Ziva,
Ibunya menganggukan kepalanya. Ia mulai melangkah ke depan pintu kamarnya. Namun, langkahnya terhenti sejenak. Timbul khawatir di dalam hatinya. Ia takut apa yang selama ini tertunda akan mulai terjadi. Di pandanginya wajah putri bungsunya yang sedang menonton tv. Wajah polos itu, tak rela untuk di lepaskannya kepada orang lain.
Niyah berfikir untuk mengurungkan niatnya ke rumah sakit. Namun, jiwa khawatirnya tak juga hilang. Dan malah bercabang dua. Di satu sisi, Niyah takut apa yang di inginkan Vina mulai di ungkitnya kembali, ia takut Vina akan mencoba untuk mengambil Ziva kembali.
Dan di sisi lain, ia takut persahabatannya dengan Vina akan terputus apabila ia menolak datang ke rumah sakit.
Niyah tak punya pilihan lain. Akhirnya ia mulai bergegas ke kamarnya untuk bersiap-siap. Ia hanya berdoa kepada Allah swt. Supaya apa yang ditakutkannya tak terjadi. Dan bila hal itu terjadi, semoga Allah selalu melindungi Ziva-nya yang malang.
...***...
Tok..tok..tok..
“Siapa?" tanya seorang lelaki bersuara serak namun terdengar begitu tegas, tanpa ada secercah pun keraguan dari pelafalannya.
“Ini Niyah dan bang Amri, Bang. Boleh kami masuk?" tanya ibu Ziva kembali.
“Oh, Niyah, Amri. Mari masuk!" ajak lelaki tua itu sambil membukakan pintu yang awalnya sedang terkunci.
Ibu dan ayah Ziva masuk dengan langkah yang sedikit terburu-buru. Tibanya di dalam ruangan, Niyah langsung mendatangi Vina yang tengah terbaring lemah. Walau matanya tak tertutup, tapi terlihat di wajahnya yang pucat bahwa ia sedang dalam keadaan lemah.
"Niyah... kenapa kau lama sekali. Aku senang kau datang." ucap Vina. Lalu Vina mandangi sekeliling dan sedang mencari-cari sesuatu.
“Mana Ziva?" tanya Vina dengan wajah sedikit kecewa.
"Ziva di rumah. Dia sangat khawatir sama momynya. Cepatlah membaik dan datang ke rumah kami, biar dia gak khawatir lagi," pinta Niyah pada Vina yang mulai gembira mendengar perkataan Niyah.
“Memang gak salah aku memilih kamu sebagai sahabatku Niyah. Reaksimu selalu membuatku kagum dan bahagia bila bersamamu dan Ziva." Jeda momy.
"Aku sangat percaya padamu, Niyah. Tapi kenapa kau menyembunyikannya?" Vina terus menerka-nerka apa yang akan dikatakan Niyah.
Senyum Niyah mulai hilang dari bibirnya yang coklat dan tipis. Pipinya yang mengerut mulai sedikit basah akibat keringat dinginnya. Alisnya mulai mengerut, bibirnya sedikit gemetar. Niyah tahu kemana Vina akan membawa arah pembicaraan mereka. Kali ini pikirannya beralih ke masalah lain.
"Apa ini? Apa yang tidak aku beritahukan kepadanya?" gumam Niyah dalah hatinya. Sepertinya hatinya sedikit mereda karena berfikir Vina tidak berfikir untuk mengambil Zivanya lagi.
“Niyah, kenapa kau tidak pernah memberitahuku? Apa aku adalah sahabat yang paling tidak pengertian? Bahkan kau bisa merahasiakan kanker payudaramu? Sudah berapa lama? Kenapa kau tidak memberitahuku, Niyah?" ucap Vina.
Dalam hati ibu, ia hanya berfikir, "Bagaimana kau bisa mengetahuinya, Vina?" batinnya.
“Niyah! Jawab aku, apa aku terlalu buruk sebagai kakakmu? Walau dulu kita hanya tetangga, tetapi aku sudah menganggapmu sebagai adikku sejak kita masih kecil. Apakah kau rela membohongi kakakmu ini?" tanya Vina.
“Apa yang harus ku lakukan, Vina? apa? operasi? Kemudian membiarkan Ziva dan bang Amri tunggang-langgang mencarikan biayanya untukku? Aku terlalu egois bila melakukan itu. Aku memang bodoh namun tidak egois. Biarkan aku sendiri yang menanggungnya. Aku akan baik-baik saja. Aku tetap berobat dengan pengobatan tradisional. Jangan khawatirkan aku, aku baik-baik saja,” ucap Niyah berkaca-kaca.
“Aku tahu apa masalahmu, Niyah. Kau tidak usah berpura-pura, aku akan menanggung semua biaya pengobatanmu, aku juga akan membantumu mengurus Ziva. Dan aku juga akan menyembukan Ziva dengan metodeku." ucap Vina.
Vina terdiam sejenak, mengambil nafas dalam dan melanjutkan kata-katanya, "Nikahkanlah Ziva dengan Sulthan!"
Niyah melototkan matanya menatap Vina yang tersenyum. Begitu pula dengan Amri, ayah Ziva dan Zulkar, suami dari momy.
“Apa maksudmu, Vina?" Tentu saja, Niyah merasa syok mendengar permintaan halus dari Vina.
"Ya, menikahkan Ziva dengan Sulthan,” Vina menghentikan kata-katanya agar bisa merangkai kata-katanya dengan sedemikian rupa.
"Dengan menikahhan mereka, bukannya kita sama-sama bahagia? Aku jadi bisa merawatmu dan kau pun bisa merawat dirimu sendiri tanpa mengkhawatirkan biaya. Aku aku akan merawatmu dan bang Amri. Dan Ziva, biarlah Sulthan yang merawatnya, kita hanya akan mengawasi perkembangan mereka. Dan Ziva, ia bisa bermetamorfosa dan menikmati masa muda berbunganya dengan halal. Bukankah itu indah bagi kita yang melihatnya?”
"Apa begini caramu membuatku luluh? Selamat Vina, selamat! Kau tahu, aku sudah sangat luluh kau buat. Bagaimana kau menemukan cara ini? apakah kau tidak pernah memikirkan persahabatan kita lagi? Segitu inginnya kah kau mengambil Ziva?" Niyah berdiri dari kursi itu.
Vina tetap menjawabnya dengan tenang, "Niyah, cobalah kau pahami. Aku, hanya ingin yang terbaik. Aku tidak ingn membuatmu berfikir aku merebut Ziva. Aku hanya mencoba mencari cara yang terbaik bagi kita semua. Tolong Niyah, sebagai sahabatku, biarkanlah aku melakukan ini untuk kalian. Kumohon!"
Niyah kembali menghela nafas sedih, wajahnya terlihat murung menjawab perkataan yang seharusnya membahagiakan. Niyah menatap Amri untuk meminta persetujuan dari sang kepala keluarga. Mereka berdua menganggukan kepala dan membalas dengan senyuman tipis.
"Baiklah, Vina. Kami... setuju."
Brak...
Terdengar suara gebrukan di luar pintu. Pintu terbuka, dan ada seorang lelaki berumur akhir belasan tahun. Ia sedang menatap momy dengan cemas. Ya, itu adalah Sulthan. Ia ternyata sangat menghawatirkan momynya. Belum lagi Vina menanggapi persetujuan Niyah, sang calon langsung memaski ruangan.
Lalu Niyah menyaksikan adegan ibu dan anak yang telah lama tak bertemu. Sesekali matanya bertemu dengan anak muda itu. Dan ternyata itulah Sulthan, laki-laki yang akan menjadi pemersatu keluaga mereka. Air matanya mulai menetes tanpa di sadarinya. Berulang kali ia menyebut nama Ziva dan meminta maaf.
Sontak, kepala Niyah langsung terasa pusing dan sakit, matanya berkunang-kunang, kakinya bagai tak mampu lagi untuk mengangkat bobot tubuhnya, dan akhirnya Niyah terjatuh tak sadarkan diri di lantai rumah sakit itu.
Saat ia membuka matanya, ia mencium bau minyak angin yang sangat di bencinya. Sejenak, Niyah merasa tenang karena ia berfikir bahwa hal yang baru saja di alaminya itu hanya mimpi. Tetapi, ketenangannya itu buyar setelah melihat seorang anak muda yang memanggilnya. Dan anak muda itu persis seperti yang ada di mimpinya itu.
Di tambah lagi, ia mendengar suara Vina yang tengah berbicara. Tetapi Niyah seolah-olah tidak dapat mendengar yang di katakan Vina. Hanya terdengar suara Vina yang samar. Dan tiba-tiba, Niyah melihat mata anak muda itu terbelalak dan terkejut ketika menatapnya dan bang Amri. Lalu menyalami tangan Niyah.
Niyah kembali memikirkan Ziva. Apakah anak gadisnya itu dapat dan mampu menerima berita pernikahan itu? Niyah tidak sanggup membayangkan perasaan Ziva yang akan ketakutan nantinya. Air matanya menetes, tentu saja tanpa keinginannya. Ia sangat memilih untuk menahan tangisnya di depan seseorang.
Keadaan sempat hening ketika Niyah menangis. Tetapi, Vina mulai membuka mulut lagi. Entah apa yang sedang di pikirkannya. Kata-kata Vina terkadang selalu membuat Niyah bersedih dengan sengaja atau tidaknya.
“Tenang, Niyah. Sulthan tidak akan merenggut masa depannya. Karena Ziva akan tetap sekolah meskipun sudah menikah. Dan Sulthan tidak akan menyentuh Ziva sebelum ia tamat MAN, benarkan Sulthan?" Ucap Vina di tengah-tengah keheningan. Keputusan Vina membuat semua orang terperanjat. Termasuk dengan lelaki muda itu Sulthan
“I, iya, Momy,”
Niyah mengamati calon menantunya. Wajah Sulthan terlihat sedikit merona dan senang. Suaranya ketika menjawab Vina sungguh lembut dan penuh malu-malu.
Niyah menatap keluar jendela, menatap awan biru yang terlihat sangat mendukung. Sebenarnya, hatinya tidak menentang penyatuan putri bungsunya, tetapi naluri keibuannya muncul. Hatinya merasa tidak nyaman ketika melihat perawakan tenang Sulthan. Wajah berseri milik calon menantunya itu sungguh sangat dikhawatirkannya.
Wajah itu, sangat mengkhawatirkan hatinya. Ia takut putrinya terluka, karena apapun faktornya. Tetapi, kekhawatirannya itu tak mungkin dibicarakannya kepada Vina. Karena kekhawatirannya dirasakannya tak mendasar dan tak berbukti ketat.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Aci Asmarah
alur crtanya sbtlnya bgs, cm kalimatnya sdkt ribet
2021-01-15
6
Dedeck AZza
author yang terhormat, perbaiki lagi ya, supaya lebih menarik tulisannya.
mampir juga yuk ke karya q... salam dari AKIRA
2020-10-06
2