Membeli Cincin

Mendengar Tiyah menolak ajakannya makan, ia kemudian mengajak Tiyah segera pergi ke toko perhiasan.

Mereka berjalan santai berdua lebih dulu, sedangkan 2 orang lainnya yang mengantarkan Tiyah tadi mengikuti dari belakang dengan jarak yang cukup jauh.

Mereka akirnya sampai di toko perhiasan yang di tuju Gibran.

Mereka masuk kedalam salah satu toko perhiasan di dalam Mall besar itu, para pelayan toko menyambut mereka dengan hangat dan sopan.

Tiyah melihat semua perhiasan itu, lihat kiri dan kanan, bergeser melihat dari yang satu ke yang lainnya, Gibran hanya melihat tujuan mata Tiyah memandang.

Beberapa kali Gibran menangkap ekor mata Tiyah melirik kalung yang terlihat berbeda letaknya, dan ia mengerti kalau Tiyah menyukai kalung itu.

“Apa kamu sudah melihat cincin mana yang kamu suka?” tanya Gibran.

“Iya, semuanya bagus. Tapi aku tertarik dengan ini, ini, dan ini.” tunjuk Tiyah.

Gibran mengangguk dan memberikan perintah melalui sorot mata, sehingga pelayan toko, ah! bukan pemilik toko sendiri yang datang meladeni mereka, ia segera mengambil yang di tunjuk oleh Tiyah, dan segera mempersilahkan Tiyah mencobanya.

“Bawakan juga cincin pesananku ke sini!” pinta Gibran.

Pemilik toko segera meminta karyawan lainnya mengambil cincin spesial yang dipesan jauh-jauh hari oleh Gibran, bisa di bilang mungkin beberapa hari yang lalu, mereka semua hanya fokus membuat pesanan yang mendadak itu dengan cepat, akirnya selesai juga.

Tiyah mencoba 3 cincin yang ia tunjukkan tadi, kemudian ia memilih yang terlihat polos dengan permata sangat kecil di atasnya.

“Aku suka yang ini.” ungkapnya, sambil tersenyum kecil memandangi cincin yang ia pakai di jari manis nya.

Gibran mengangguk tanda setuju, kemudian menyodorkan cincin yang berpasangan yang baru saja di berikan pemilik toko padanya, cincin itu adalah cincin yang ia pesan.

Tiyah melihat sepasang cincin yang cantik di dalam kotak yang diberikan Gibran di depannya dengan tatapan bengong, kedua alisnya justru terpaut, menyiratkan keheranan.

Maksudnya gimana coba? Bukankah tadi, dia ingin aku memilih cincin? Dan sekarang dia memberi aku cincin pasangan? Kalau sudah punya cincin pasangan, kenapa repot-repot suruh pilih dari tadi?! Apa ia berpikir pilihanku jelek? keluh Tiyah dalam hati.

Karena Tiyah masih menatapnya dengan mengernyitkan kening, Gibran tersenyum kecil.

“Cincin yang kamu pilih cantik dan manis, aku suka.” pujinya.

“Hm... Bagaimana dengan cincin yang ini?” sambungnya.

Tiyah memakai cincin itu, entah kenapa cincin itu bahkan sangat pas ditangannya, cincin itu sangat cantik, walaupun terlihat sedikit norak, jika di pakai laki-laki karena besar dan berpola seperti mawar, biasanya cincin nikah itu lebih simpel, elegen, manis, atau polos seperti yang dia pakai sekarang.

Tapi sejujurnya, dia sangat suka dengan cincin yang di pesan oleh Gibran, ia sangat menyukainya.

“Bagaimana? Apa kamu suka?”

“Iya, bagus.”

“Baiklah, ini cincin kawin kita.” jelasnya kemudian.

“Buat apa nyuruh milih tadi?! Kalau sudah punya pilihan! Lalu buat apa ini?” Tiyah bergumam kecil yang cukup jelas di dengar oleh Gibran.

“Ini hadiah untuk calon Istriku, karena bersedia menikah denganku, dan aku senang calon Istriku menemaniku di hari ulang tahunku.” terang Gibran.

Kemudian Gibran berjalan melangkah bererapa langkah maju kesamping depan, dan menunjuk kalung yang di lihat Tiyah tadi, pelayan toko segera mengambilnya.

“Mari Kita coba ini juga.” pintanya kepada Tiyah.

Ia menempelkan kalung itu dari luar leher Tiyah, karena Tiyah memakai hijab, kemudian ia tersenyum, cantik ucapnya.

Tiyah sekarang membeku, ia mendapatkan hadiah kalung dan cincin sebagai hadiah, yang ulang tahun Gibran tapi yang dapat hadiah dia, seharusnya dia yang memberikan hadiah untuk Gibran.

“Berapa?” tanya Gibran kepada pemilik toko sambil mengeluarkan kartu.

Pemilik toko tersenyum, tidak menerima uang dari Gibran bahkan memberikannya sebagai hadiah. Membuat Tiyah terkejut, bahkan harga kalung dan cincin yang ia pakai saja pasti mahal, setidaknya jika emas biasa yang tidak di pesan sepeti ini saja sangat mahal.

Enak sekali bisa gratis, apa pemilik tokoh ini bodoh, gak rugi apa? batin Tiyah.

Pemilik toko itu kemudian bersalaman dengan Gibran, dan tersenyum sedikit membungkukkan kepala kepada Tiyah dan Gibran, membuat Tiyah heran kenapa pemilik toko itu tidak mengajaknya bersalam juga.

Akhirnya mereka keluar dari toko perhiasan itu, kemudian Gibran mengajak Tiyah pergi melangkah masuk ke restoran.

Tiyah duduk di sofa empuk di ruang privasi restoran itu, ia duduk sambil merapikan rambut dan pakaiannya, mungkin beberapa waktu lalu ia lupa bertindak feminim di depan suaminya, ia teringat apa yang di ajarkan ibu nya tadi, tapi ia sampai lupa saat melihat perhiasan yang mempesona.

Gibran duduk berhadapan dengannya, sedangkan 2 orang yang mengikutinya juga duduk di ujung ruangan yang disediakan meja yang lebih kecil dari meja mereka.

Tiba-tiba seorang berpakaian putih dengan penutup kepala, mungkin saja koki restoran itu. Setelah ia masuk duluan, kemudian di susul beberapa pelayan menghidangkan makanan penuh di meja.

Tiyah tidak percaya dengan pandangan matanya sekarang, mereka cuma duduk berdua tapi makanan di hidangkan untuk lebih 20 orang, bahkan 2 orang yang mengikuti mereka duduk di ujung sana juga tidak kalah banyak di hidangkan para pelayan.

Setalah itu, seorang laki-laki berumur mungkin 40 tahunan memakai kemeja dan penampilan rapi, masuk dan segera menyalami Gibran, ia tersenyum ke arah Tiyah dan meminta mencicipi makanan yang telah di hidangkan.

Koki yang masuk terlebih dahulu juga mempersilahkan mereka mencicipi sambil menjelaskan bahan-bahan makanan di setiap piring yang dihidangkan.

Gibran hanya mencicipi makanan itu satu sendok atau mungkin 2 sendok di beberapa piring yang terhidang, Tiyah merasa makanan ini sangat boros, ingin rasanya dia membungkusnya pulang.

Bahkan sekarang ia ingin makan dengan banyak dan lahap, tapi ia teringat kembali pesan ibunya, makanlah dengan anggun, jangan tunjukan lapar dan rakusmu saat melihat makanan enak di depan calon suamimu.

Tiyah cukup bisa menahan diri untuk makanan pembuka dan makanan beratnya, tapi ia sungguh tidak bisa menahan makanan penutupnya, ada es krim vanilla dan puding mangga di depan mata.

Ia melahapnya dengan rakus dan cepat, bahkan wajahnya sekarang berlepotan dengan sisa ice cream.

Gibran tersenyum kecil melihatnya, kemudian ia berdiri dan berjalan mendekati Tiyah, mengelap sisa es cream itu, kemudian duduk di samping Tiyah hampir berdempetan, ia tidak lagi duduk berhadapan dengan Tiyah yang berjarak dengan meja besar yang penuh dengan piring makanan itu.

Koki dan pemilik restoran merasa canggung dengan kondisi sekarang, melihat dua insan yang akan menikah sedang dimabuk cinta pikir mereka.

Tiyah tersadar ada 4 orang yang sedang ada dalam ruangan ini selain mereka, ia berdehem dan berniat supaya Gibran pindah ke posisi semula, tapi laki-laki itu tidak bergeming dari duduk nya dengan ekspresi datar tanpa rasa bersalah.

“Bagaimana dengan makanannya, Tuan dan Nyonya Muda? Apakah bisa memanjakan selera?” tanya pemilik restoran memecahkan suasana.

“Iya, sangat enak. Semuanya sangat memanjakan selera, aku sangat suka ice cream dan puding mangganya.” Tiyah berseru ria.

Sedangkan Gibran tidak mengeluarkan komentar apapun, dia hanya melirik ke arah 2 orang di pojok itu, dan tiba-tiba mereka segera berkemas dan segera berdiri.

“Saya sangat senang Tuan dan Nyonya sudah mencicipi masakan saya, terimakasih banyak.” Sang koki berucap dengan senyuman yang sangat puas.

“Terimakasih Tuan dan Nyonya, restoran kami akan selalu terbuka dan menyambut kedatangan Tuan dan Nyonya kembali dengan senang hati ke sini.” sambung Pemilik Restoran.

Gibran membalas dengan senyuman pelitnya, tanpa berkomentar, kemudian mengajak Tiyah keluar dan meninggalkan mereka dengan bersalaman tangan, begitu pula dengan 2 orang itu mengikuti kembali.

Setelah itu 2 orang itu membukakan pintu di masing-masing pintu belakang mobil, mempersilahkan Tiyah dan Gibran masuk kedalam mobil, sedangkan mereka kemudian duduk di depan.

“Selamat ulang tahun ya, aku gak tau tadi kalau kamu ultah, semoga apa yang di harapkan terwujud. Aamiin.”

“Maaf, aku juga gak punya hadiah.” sambung Tiyah kembali.

“Gak apa-apa, hadiah paling terindah bagiku adalah kamu!” Gibran tersenyum.

“Menikah denganmu, Tiyah Citanin binti Amir Mukhlis.” balasnya.

Tiyah tersenyum malu, sampai salah tingkah.

Mereka mengantar Tiyah kerumahnya, setelah itu mobil itu segera pergi berlalu.

Tiyah masih mematung cukup lama disana, kemudian baru kembali memutar badannya, masuk ke dalam kamar membuka kalung dan cincin yang ia pakai dari pembelian Gibran.

Ia menyimpannya bersama di dalam kotak dan memasukkannya di dalam laci.

Ia masuk ke dalam kamar mandi, segera membersihkan diri sambil bernyanyi bahagia.

“La la la la...”

Terpopuler

Comments

Ratih Tiyawan

Ratih Tiyawan

jangan2 gibran ini si gendut dulu,, mantan si tiyah waktu abegeh 😕😕

2021-04-27

1

Zurriati Umar

Zurriati Umar

masak tiyah enggak penasaran sm calon suaminya, kok bisa kenal dgn tiyah

2020-11-26

0

❤️YennyAzzahra🍒

❤️YennyAzzahra🍒

Next

2020-11-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!