Hari ini adalah hari pernikahan Tiyah, pernikahannya di majukan 2 Minggu lebih awal, mulai dari pertemuan nya dengan pemuda asing yang baru saja di jumpainya bersedia menikahinya, kini pernikahannya pun di majukan, bahkan terhitung sejak mereka berjumpa, baru saja 2 minggu, dan sekarang mereka akan segera menikah.
Semua ini terasa mendadak, membuat ia merasa di alam mimpi yang panjang, atau mungkin saja sedang berhalusinasi menikah dengan pangeran karena kelamaan jomblo.
Ia sekarang sedang di dandani oleh wanita paruh baya yang berkunjung ke kamarnya tempo hari, ia memakai gaun ke 5 yang dipakai nya waktu itu, gaun menikah yang indah.
Gaun berwarna coklat muda dengan renda-renda dan kerlipan manik-manik, memakai hijab yang senada dan selendang coklat muda tembus pandang disematkan di kepalanya, dan sekuntum bunga mawar merah yang disematkan di salah satu bahunya.
2 buah mobil telah menunggu mereka dan siap mengantarkan keluarga Tiyah, ia duduk di mobil bersama ibu dan ayahnya yang di dampingi sopir dan sekretaris pribadi Gibran. Sedangkan mobil satunya lagi di tumpangi oleh Dilla dan Khairul adiknya bersama paman dan bibinya.
Sedangkan 2 mobil Avanza dan Ayla mengiri 2 mobil itu, mobil itu milik 2 orang adik perempuan Tiyah.
Beberapa saat kemudian akhirnya mereka sampai, semua keluarga tercengang dan takjub, bahkan tempat ini seolah tersembunyi di pinggiran kota.
Mesjid megah di tepi pantai, badan mesjid tampak seolah mengapung di dasar lautan, halamannya terdapat beberapa bunga mawar yang indah, beberapa orang telah menanti di sana. Ini adalah hari yang harus di simpannya di dalam relung hati terdalam, hari yang begitu indah.
Angin laut berhembus, membisikan kabar tentang pemuda tampan yang telah berdiri di depan gerbang mesjid itu bersama kakak perempuan nya, ia tersenyum seperti pangeran.
Deg... deg... deg...
Jari-jari Tiyah gemetar, membuat jantungnya lebih cepat berpacu memompa, bahkan indahnya pemandangan laut itu sekarang tampaknya tidak menghilangkan kegugupannya. Ia menggelengkan kepalanya resah.
Ia mencoba menenggelamkan resah-resah itu agar jatuh ke tanah lalu hancur karena terpijak, atau pergi bersama hembusan angin di bawa terbang sampai ke atas awan.
Ia akan menikah hari ini, akan menjadi milik pemuda asing itu, hidup bersamanya yang belum ia kenal, tiba-tiba pikirannya mulai merasa bimbang sesaat, tapi entah kenapa hatinya bahkan bersedia dengan ikhlas di nikahi pemuda di depan itu.
Semua ini terasa berjalan lancar tanpa hambatan, seolah pemuda itu memang benar adalah jodoh yang di takdir kan Tuhan untuknya. Bukankah jodoh itu datang dengan sendirinya?
“Ya Allah, bagaimana ini aku sungguh gugup, bagaimana denganku ibu, apakah aku terlihat cantik?” bertanya dengan cemas kepada ibunya.
“Kamu sangat cantik sayang, jangan gugup. Tenanglah!” ucap sang Ibu sambil memegang tangan Tiyah menenangkan.
Dia tampan sekali, apakah aku sebanding dengannya? Lihat mereka yang disana! Mereka sungguh berkelas, sedangkan aku? Aku cuma gadis pendek yang gendut dengan wajah pas-pasan. batin Tiyah.
Gibran dan kakak perempuan nya segera menyalami Ibu dan bapak Tiyah, kemudian saudara Tiyah serta paman dan bibinya.
Gibran tersenyum melirik Tiyah, kemudian menundukkan pandangan nya berjalan terlebih dahulu memasuki ruangan mesjid yang di iringi oleh Tiyah dan keluarganya.
Tiyah berjalan beriringan dengan Ibunya yang memakai baju gamis berwarna ungu sama seperti saudara perempuan Tiyah lainnya.
Gibran dan Tiyah duduk menghadap Penghulu Nikah dan Ayah Tiyah. Giandra dan Khairul duduk berdekatan, berserta yang lainnya juga mulai duduk menyaksikan.
Penghulu menjelaskan sedikit tentang syarat dan rukun nikah, tentang hak dan kewajiban sebagai suami istri, dan beberapa nasehat. Kemudian ia meminta Ayah Tiyah dan Gibran berlatih lafaz ijab qobul beberapa kali.
Setelah mendengarkan penglafazan itu, penghulu akirnya meminta untuk memulai dan semua orang menyaksikan nya.
“Ya Ananda Gibran Devian Elv Bin Henru Jalaluddin.” Ayah Tiyah memulai sumpah nikah.
“Ya, Pak.” jawab Gibran.
“Saya Nikahkan engkau dan Kawinkan engkau dengan putri kandung saya Tiyah Citanin Binti Amir Mukhlis dengan mahar perhiasan 25 gr emas dan alat seperangkat sholat dibayar tunai.”
“Saya terima Nikah dan Kawinnya putri bapak Tiyah Citanin binti Amir Mukhlis dengan mahar perhiasan 25 gr emas dan alat seperangkat sholat di bayar tunai.” ucap Gibran mantap.
“Syah?” tanya penghulu.
“Sah.” jawab saksi dan semua yang ada di dalam ruangan itu gembira.
Kemudian Gibran tersenyum, lalu menyalami Tiyah, ia pun mencium punggung tangan Gibran, kemudian perhiasan gelang dan cincin nikah sebagai mahar tadi dipasangkan di tangan Tiyah, lalu serah terima alat seperangkat sholat.
Setelah itu, Gibran membaca sumpah sigat ta'liq dan mereka menanda tangani surat nikah mereka masing-masing.
Jantung Tiyah berdetak, ia merasa mendingin di relung jiwanya, merasa ada sesuatu yang hilang saat selesai pengucapan janji nikah itu. Kini ia sungguh-sungguh telah menjadi seorang istri.
Apakah ini yang dirasakan setiap orang menikah, ada rasa yang hilang? Bahagia dan takut, bahkan rasa sedih, aku merasa Allah sungguh menyaksikannya sekarang. Seperti kata orang, saat pengucapan kata cerai Arsy Allah berguncang. Apakah tadi Arsy Allah bergetar merestui pernikahan ini? batin Tiyah.
Kamera-kamera yang telah disewa tidak henti-hentinya dari tadi mengambil gambar dan video mereka, begitupun yang lainnya sibuk mengambil gambar dengan handphone masing-masing.
Tiba-tiba Tiyah segera berjalan dan memeluk ibunya, ia menangis, ia tidak bisa menahan perasaan yang tiba-tiba datang, seolah akan berpisah.
"Sudah jangan menangis sayang, ayo cepat kita rayakan dan berfoto-foto," ucap ibu nya dengan mata menahan tangis.
Gibran dan Tiyah berfoto berdua di dalam mesjid, bahkan sekarang diminta fotografer berfoto di luar dan halaman mesjid, di tepi pantai nan indah juga.
Tiyah berganti gaun berwarna putih, begitu pula dengan baju Gibran senada dengan gaun istrinya di tempat wudhu mesjid, kemudian di rias kembali di halaman mesjid, mereka di foto dengan nuansa pantai yang begitu menenangkan mata.
Sekarang mereka terlihat seperti sepasang pengantin yang berikrar di atas samudra dengan kerlipan bintang di atas batu karang yang di hempas ombak itu, semua mata terpana melihat mereka dengan bahagia.
Ditambah dengan percikan bunga mawar yang indah menambah bagusnya foto bak Raja dan Ratu.
Setelah berfoto, mereka kembali ke rumah masing-masing, sedangkan Gibran dan Sekretaris nya pulang ke rumah Tiyah karena esok akan melanjutkan sukuran dan pesta kecil-kecilan di rumahnya, sesuai dengan permintaan Ayah dan ibu Tiyah.
Mereka diantar oleh sopir sampai ke rumah Tiyah.
Sesampainya dirumah, Tiyah segera masuk ke dalam kamarnya membuka gaun yang membalut tubuhnya, kemudian ia mandi, ia melupakan suaminya, ia meninggalkan pemuda itu setelah sampai di rumah.
Gibran dan Sekretaris nya duduk di sofa, membuat Ibu Tiyah ingin menjewer daun telinga putrinya.
Dasar anak bodoh! Wajar saja dia lama laku, bagaimana mungkin dia masuk sendirian ke dalam kamar dan tidak melayani suaminya dengan baik! umpat sang Ibu, memaki Tiyah dalam hati, sembari menyusul Tiyah kedalam kamar dan menggedor-gedor pintu kamarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Stefani Pandita
saking bahagianya tiyah lupa jdbya klu dia udh nikah😍🤣🤣🤣😍😍😍😍
2022-03-16
0
Dian Anggraeni
lanjuut kak 👏👏👏👏
2021-01-19
1
Rahil Ramadhani
sepertinya kebalik ini
2021-01-04
1