Gema yang sedari tadi berada di belakang mereka hanya menatap Kinara dengan penuh rasa bersalah. Dia tidak berani mendekat atau berkata apapun saat ini. Pria itu hanya berdiri mematung sambil menundukkan kepalanya dalam.
"Siapa kau?" tanya Kinara menatap Gema menyelidik.
Gema terkesiap, dia menatap manik mata Kinara. Pria itu membisu dan terlihat gugup, bibirnya sedikit terbuka tapi tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya.
Kinara menatap lekat wajah Gema. Matanya sudah sangat sembab karena tangisnya yang tiada henti. Kinara melangkahkan kakinya dengan berat mendekati Gema yang masih terdiam seribu bahasa.
"Siapa Anda?" tanya Kinara lemah.
"Aku ...." Gema terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya, dia memejamkan mata sejenak berusaha menenangkan dirinya yang masih syok.
Kinara memandangi Gema dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan tatapan menyelidik. Dadanya kembali naik turun dengan cepat, dengan ekspresi wajah yang penuh tanya gadis itu mundur selangkah ke belakang.
"Kau—kau yang menabrak orang tuaku. Benar, pasti kau! Tidak mungkin mereka mengalami kecelakaan tunggal, aku mendengar sendiri suara ibu dan suara tabrakan itu." Isakan tangisnya kembali terdengar semakin memilukan.
"Katakan! Kau yang membunuh mereka, kan? Katakan brengs*k!" pekik Kinara memukul-mukul dada bidang Gema.
Pria bertubuh atletis itu hanya diam menerima setiap pukulan yang gadis itu berikan padanya. Dia bisa merasakan sakit yang sedang Kinara rasakan, gadis itu terus memberikan serangan bertubi-tubi pada Gema.
"Berhenti!" perintah Paman Sam yang baru saja tiba.
Paman Sam dengan langkah lebar mendekati mereka, dia menarik begitu saja tubuh Kinara menjauh dari tuannya. Kinara membelalakkan mata mendapatkan perlakuan kasar dari orang asing.
"Siapa kau? Apa kau tangan kanan pembunuh ini?" sarkas Kinara menunjuk ke arah Gema.
"Siapa yang Anda sebut pembunuh? Apa Anda punya bukti?" Paman Sam kembali melempar pertanyaan pada Kinara dengan sinis.
"Aku akan menelpon polisi, mereka akan mendapatkan buktinya untukku." Kinara mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya dengan cepat.
Gadis itu terlihat sudah mulai mengetik nomor di atas layar ponselnya, tapi tangannya berhenti bergerak saat pintu ruangan yang ada di hadapannya terbuka. Kinara menurunkan ponselnya dan dengan segera menghampiri seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu.
"Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?" tanya Kinara dengan tidak sabar.
Dokter itu terdiam sejenak dan menarik napas dalam-dalam menatap Kinara. Terlihat sangat jelas dia begitu berat untuk berkata pada gadis muda yang ada di hadapannya.
"Ibu saya bisa selamat kan, Dok?" terdengar nada keraguan dari pertanyaan Kinara.
"Ibu anda mengalami benturan keras, ada beberapa syarafnya yang rusak dan kerusakan organ dalam karena tulang rusuknya yang patah jadi kami tidak berhasil menyelamatkannya," ucap dokter itu dengan penuh penyesalan.
Gema tercengang mendengar ucapan dokter tersebut. Dia sangat berharap ibu itu bisa bertahan, setidaknya dia hanya berhutang satu nyawa. Namun Tuhan tidak berkehendak seperti itu. Gema menatap Kinara dengan penuh penyesalan. Paman Sam memandang Gema, dia berlalu meninggalkan tempat tersebut setelah menatap Kinara dan Gema secara bergantian.
"I—ibu? Ibu saya ... ibu saya juga meninggal? maksud anda begitu? Mana bisa seperti itu, Dok! Tidak mungkin!" Kinara syok, dia segera berlari ke dalam untuk melihat sendiri keadaan ibunya.
"Ibu? Ibu jangan tinggalkan Kinara, Bu. Kinara mohon." Tangis gadis itu pecah di hadapan jasad ibunya.
Kinara memeluk tubuh Ibu Sari yang sudah sedingin es tersebut. Dia membelai wajah ibunya, menciumi wajah pucat itu bertubi-tubi berharap ibunya bisa terbangun kembali. Namun harapan hanya tinggal harapan, keutuhan keluarganya sudah berakhir. Dalam waktu sekejap Kinara kehilangan dua sosok yang sangat berarti dalam hidupnya.
"Ibu, apa yang harus aku katakan pada Kiyana, Bu? Ayo bangun, apa yang harus aku lakukan?" Kinara dengan histeris menangis dan menggoyangkan tubuh ibunya. Dia belum bisa menerima kenyataan.
Gema yang sedari tadi hanya menatapnya dari pintu ruangan berjalan mendekat. Pria itu memegang bahu Kinara dengan kedua tangannya, dia berusaha menyangga tubuh Kinara yang sudah merosot dan hanya berpegangan pinggir ranjang tersebut.
"Lepaskan aku, pembunuh!" Kinara menepis tangan Gema.
"Berhentilah seperti ini, ibumu tidak akan bangun meskipun kau menggoyangkan tubuhnya!" seru Gema yang akhirnya membuka suara.
"Dan kau pembunuhnya!" Kinara meninggikan nada suara sambil menunjuk wajah Gema penuh emosi.
Ucapan Kinara Gema kembali terdiam seketika. Dia ingin berkata bahwa memang dirinyalah yang sudah menabrak orang tuanya, tapi dia tidak bisa mengakuinya banyak konsekuensi yang harus dia tanggung dengan pernyataan tersebut.
"Maaf kami harus segera memindahkannya," ucap seorang perawat yang sedari tadi terdiam melihat keributan tersebut.
"Tidak. Mau dibawa ke mana ibu saya? Saya masih ingin bersama ibu saya," ucap Kinara kembali memeluk erat tubuh ibunya.
"Maaf, Mbak, tapi kami harus segera mengurus jasadnya, kasian jika terlalu lama dibiarkan," bujuk perawat itu kembali.
"Tidak, biarkan ibu di sini." Kinara masih tidak mau melepaskan tubuh ibunya.
Gema yang berdiri di belakang Kinara menarik tubuh mungil Kinara agar melepaskan ibunya. Pria itu sekuat tenaga mendekap tubuh Kinara yang meronta ingin dilepaskan.
"Kau tidak bisa seperti ini, kau harus membiarkan mereka melakukan tugasnya," ucap Gema pada Kinara yang terus memukul-mukul tangannya.
"Lepaskan aku, lepaskan!" Kinara terus meronta.
Tapi tiba-tiba tubuh gadis itu lemah dan terjatuh di dekapan Gema. Gema yang panik langsung membopong tubuh Kinara dan menaruh tubuh Kinara ke ranjang kosong yang ada di samping ruangan. Seorang perawat menghampirinya dan segera memberikan perawatan pada Kinara yang jatuh pingsan.
Gema duduk di samping ranjang Kinara dan manatap wajah ayu Kinara dengan tatapan penuh penyesalan. Tanpa dia sadari tangannya menyentuh lembut pipi Kinara dan mengelap bekas air mata yang masih tertinggal.
"Maafkan aku," ucap Gema lirih bahkan hampir seperti bisikan.
Kinara mulai membuka matanya saat merasakan ada yang menyentuh kulitnya. Gadis itu mengerjapkan mata beberapa kali.
"Apa yang kau lakukan? Pergi!" seru Kinara saat mendapati Gema ada di sampingnya.
"Aku akan melaporkanmu ke polisi, akan aku pastikan kau membayar semua perbuatanmu." Kinara kembali mengangkat ponselnya untuk menghubungi pihak berwajib.
"Apa yang ingin kau lakukan?" seru seorang wanita yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan.
Kinara dan Gema mengarahkan pandangannya ke arah sumber suara. Seorang wanita paruh baya dengan dress warna moccha bermotif bunga berjalan ke arah mereka. Tampilannya begitu elegan dan berkelas, jelas sekali terlihat bahwa dia bukan orang sembarangan.
"Ibu?" gumam Gema dengan tatapan tidak percaya.
"Apa kau bilang ingin memenjarakan putraku?" tanya ibu Gema menatap tajam Kinara.
"Ya. Putra Anda sudah membuat orang tua saya meninggal. Apa lagi hukuman yang pantas untuk pembunuh seperti dia," jawab Kinara dengan yakin.
Ibu Laras membeliakkan matanya mendengar jawaban Kinara. Gadis muda itu terdengar lantang dan begitu yakin dengan keputusannya. Dada Ibu Laras terlihat naik-turun semakin cepat menahan emosi, baru kali ini ada seorang gadis yang berani berbicara tanpa sopan santun padanya.
Bersambung ....
************************
Terima kasih banyak atas dukungan kalian para pembaca setia novel Simi. Simi akan semakin semangat berkarya dengan kalian memberikan Like, Komentar, Vote, dan rating bintang 5.
Semoga kalian suka dengan setiap karya-karya Simi yaa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Palupy Setiya
duh meleleh akuh melihat tatapan matamu 😆
2021-07-14
0
Desi Anggraeni
klo visual nya pon nawash udah klepek-klepek pokonya😍
2021-04-04
0
Azz Kalif
sedih banget ...
2021-03-06
0