Dia menatap Kiyana yang sudah terbangun dan menatapnya dengan mata polosnya. Kinara dengan cepat mengelap air mata yang masih tersisa di pipi mulusnya.
"Tidak, Dek. Tadi Kakak habis makan pedes," kilah Kinara sambil menyunggingkan senyum tipis.
"Apa kau haus?" Kinara mengusap lembut rambut Yana.
"Di mana ibu, Kak?" tanya Kiyana melihat ke sekeliling ruangan.
"Ibu sedang membeli obat dengan ayah, sebentar lagi mereka kembali."
"Kenapa ibu meninggalkanku, aku mau telepon ibu, Kak. Teleponkan ibu, aku ingin bicara dengannya," rengek Kiyana yang tidak seperti biasanya.
Kinara bergeming, dia menatap sendu Kiyana yang masih merengek. Pandangannya beralih ke jendela kamar rumah sakit, di luar sudah sangat gelap, terlihat juga rintik gerimis yang lumayan lebat dari balik jendela tersebut. Mata bening berwarna coklat itu menatap nanar ke arah luar jendela, pikirannya melayang entah kemana. Perasaan gusar terlihat jelas dari raut wajahnya.
"Kakak!" seru Yana menggoyangkan lengan kiri Kinara membuat gadis itu tersadar dari lamunan.
"Iya, Kakak telponin." Gadis berkulit putih itu tersenyum manis memperlihatkan lesung pipi diwajahnya.
Kinara mengeluarkan telepon genggam dari dalam sakunya. Dia sekilas melirik ke arah adiknya sebelum memencet tombol berwarna hijau yang ada dilayar telepon. Kiyana menatap lekat ponsel itu seolah tidak sabar ingin segera berbicara dengan ibunya.
Kinara merasa aneh, tidak biasanya Kiyana merengek seperti ini saat ditinggal bersamanya. Dia anak yang sangat pengertian dan mandiri, tapi kali ini seolah Kiyana benar-benar tidak mau berjauhan dengan ibunya. Kinara menarik napas panjang dan memencet tombol loud speaker agar Kiyana bisa mendengar suara ibu mereka.
Tring! Tring! Tring!
Getaran telepon dan suara yang nyaring membuat seorang ibu sedikit terkejut karena terlalu fokus pada jalanan. Tangan yang sebelumnya memegang pinggang suaminya, dia lepaskan untuk mengambil telepon genggam yang ada di saku jaket.
"Siapa, Bu?" tanya sang suami yang sedang mengemudi sepeda motor.
"Nara, Yah." Ibu Sari mengangkat telepon anaknya. Tangan kirinya menutupi bagian atas telepon agar tidak terkena air hujan yang semakin lebat.
"Halo, Nak. Ada apa?"
"Ini, Bu, Yana nyariin," jawab Kinara dari seberang telepon.
"Ibu, Ibu cepetan balik ya. Jangan lama-lama," seru Yana dengan mata berkaca-kaca.
Hujan turun semakin lebat, jalanan juga semakin tidak jelas karena berkabut. Melihat kondisi jalanan yang sangat sepi, Pak Joko menambah kecepatan kendaraannya agar segera sampai. Jika harus berteduh akan semakin lama sampai, apalagi jaraknya sudah tinggal 2km lagi, pikir Pak Joko.
"Iya, Sayang. Ini ibu udah sampai perempatan rumah sakit sebentar lagi sampai. Sudah ya, ibu matikan dulu hand—"
Ibu Sari memotong ucapannya saat berada di tengah perempatan, pandangannya teralihkan pada sorot lampu mobil dari sebelah kanan yang terlihat semakin mendekat dengan kecepatan tinggi.
"Yaaah!" teriak Ibu Sari saat mobil itu semakin mendekat.
"Bu, Ibu. Ada apa!" Suara Kinara yang terdengar panik masih bisa terdengar dari seberang telepon.
Braak!
Malang tak bisa ditolak, mujur tak bisa diraih. Pak Joko sudah berusaha mengurangi kecepatan saat melihat mobil itu mendekat. Dan mobil Ferrari F430 berwarna merah itu juga sempat berusaha membanting setir, tapi semuanya sudah terlambat.
Darah segar yang menyatu dengan air hujan menganak sungai di jalanan beraspal tersebut. Motor tua Pak Joko sudah hancur. Tubuh Ibu Sari terpental ke arah mobil saat motor itu menabrak mobil. Sedangkan Pak Joko, dia ikut terseret motor dan menghantam pohon besar dipinggir jalan. Baju yang dia kenakan sudah koyak dan darah memenuhi tubuhnya.
Pintu mobil itu terbuka, seorang pria muda berkulit putih, dengan balutan setelah jas yang terlihat sudah sangat berantakan keluar dari dalam mobil. Pria berbadan tinggi itu ternganga dengan tatapan tak percaya, dia memegangi kepalanya saat melihat dua tubuh tergeletak di aspal dengan bersimbah darah.
Dada bidang pria itu terlihat naik turun tak karuan, dari tubuhnya tercium bau alkohol yang sangat menyengat. Mata pria itu memandang bergantian tubuh Bu Sari dan pak Joko yang terlihat masih bergerak-gerak. Dia juga menatap sebuah telepon genggam yang sudah hancur di samping roda mobilnya. Jalanan begitu sepi, hanya ada beberapa pengendara sepeda motor yang lewat dan mereka juga hanya diam tanpa melakukan apapun.
"To—tolong ...." Tangan Bu Sari sedikit terangkat mencoba melambai pria tersebut.
Dengan langkah ragu dan ekspresi wajah ketakutan, pria itu mendekati tubuh Ibu Sari yang tergeletak bersimbah darah itu. Dia berjongkok di hadapan Ibu yang sudah menjadi korban kecerobohannya.
"Tolong ... pu—putri saya. Hah ...." Napas Ibu Sari mulai tidak teratur.
Pria itu semakin panik saat melihat Ibu Sari hampir tidak bisa bernapas lagi. Dia dengan segera mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya. Saat tangannya hendak menggeser layar ponsel, tangan Ibu Sari meraih pergelangan tangan pria tersebut.
"To—tolong mereka," ucap Bu Sari lemah.
Setelah mengucapkan kalimat terakhirnya dengan bersusah payah, tangan Bu Sari terjatuh. Dadanya sudah tidak terlihat naik turun lagi. Pria itu mengusap wajahnya kasar dan melakukan panggilan telepon dengan segera. Pria itu terlihat sangat kebingungan dengan situasi yang sedang terjadi. Bau alkohol yang sebelumnya sangat menyengat sedikit menghilang karena guyuran air hujan yang membasahi tubuh kekarnya.
"Kalian, jangan lakukan apapun. Kalau sampai ada yang berani lapor polisi, habis kalian!" ancam pria itu pada beberapa orang yang sedang menyaksikan kejadian tersebut.
"Bukankah dia Gema Putra Mahardika, yang sering masuk berita bisnis itu?" bisik salah satu orang yang berdiri di pinggir jalan pada rekannya.
"Ya, dia penguasa daerah ini. Kalo kita melakukan sesuatu, bisa habis kita," jawab rekannya bergidik ngeri dan memilih diam.
Tidak berselang lama, dua mobil ambulance sampai ke lokasi diikuti oleh dua mobil sedan berwarna hitam dibelakangnya. Petugas dengan segera keluar dari ambulans. Mereka bergegas mengangkat tubuh Pak Joko dan Ibu Sari untuk segera melakukan pertolongan pertama.
Seorang pria yang sudah berumur keluar dari mobil sedan yang berada di paling depan. Dia memberikan isyarat dengan telunjuk tangannya pada mobil yang ada di belakang, setelah pria itu melangkah dua orang pria berbadan kekar dengan pakaian yang serba hitam keluar dari dalam mobil.
"Bereskan mereka!" ucap Gema mengarahkan pandangannya pada beberapa orang yang menjadi saksi kecelakaannya.
"Baik, Tuan." Pria itu berjalan mendekati beberapa orang yang bergerombol di pinggir jalan diikuti dua orang berbadan kekar dibelakangnya.
"Kalian sudah tau kan siapa dia. Namanya Gema Putra Mahardika, apapun bisa dilakukan oleh seorang Gema pada siapapun. Jadi, kalian sudah tau apa yang harus kalian lakukan, kan?"
Bersambung ....
********************
Terima kasih pembaca setia novel Simi. Jangan lupa tinggalkan like, komen, vote, dan rate bintang lima juga yaa. Dukungan kalian sangat penting untuk kesejahteraan novel ini.
Dan untuk kalian yang belum baca novel Simi yang berjudul TERLAMBAT MENCINTAIMU, silahkan dibaca juga yaa. Aku jamin nggak kalah seru sama kisah Nara loh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
raqeela cantiq
cerita nya bagus thor
2024-02-06
0
Farida Wahyuni
aku udah baca novel terlambat mencintaimu, essence love yg smntra berjalan jg. ceritanya bagus2 semua,aku suka.
2021-08-07
0
Palupy Setiya
salam kenal dariku thor..😘😘
2021-07-14
0