Terjerat Pernikahan
"Sudah saya bilang jangan bawa handphone saat bekerja! Kau tidak bisa membaca peraturan?" seru seorang supervisor pada karyawan yang sedang menunduk menatap layar ponselnya.
karyawan lain yang ada di sekitar mereka menengok serentak ke arahnya. Gadis dengan rambut hitam panjang yang diikat buntut kuda itu terkejut, dengan segera ia memasukkan handphone ke dalam saku celana. Ia dengan tergesa bangkit masih dengan menundukkan kepala dalam-dalam tidak berani menatap atasannya. Gadis itu terlihat sangat mungil saat berjajar dengan atasannya yang memiliki postur tubuh yang tinggi dan besar. Sedangkan gadis itu, ia hanya memiliki tinggi badan 160cm dengan berat badan 47kg.
"Ma—maafkan saya, Bu," ucapnya dengan nada bergetar karena ketakutan.
"Sudah berapa kali kau ketahuan bermain handphone saat bekerja, ini peringatan terakhir dari saya, kalau sampai kau ketahuan lagi tidak ada toleransi untukmu." Wanita itu berkata dengan nada sarkas sambil menunjuk muka gadis muda itu.
Gadis itu mengangguk pelan. "Baik, Bu," jawabnya lirih.
"Siapa namamu? Serahkan ID Card dan handphone-mu!" perintahnya dan dengan kasar mengambil ID Card dari tangan gadis muda tersebut.
"Kinara, nomor id 1198. Ambil ini ke HRD saat pulang kerja, ini adalah peringatan pertama dari saya. Mengerti." Wanita itu melenggang pergi sambil membawa identitas karyawan itu.
Semua karyawan yang ada di sekitar mereka masih terdiam seribu bahasa, mereka tidak berani berkomentar apapun. Para karyawan sudah tahu persis tabiat dari wanita yang menjabat sebagai manajer produksi itu, dia sering disebut sebagai singa pabrik karena sangat tegas dan kaku dengan peraturan.
"Ndok, gimana sih kamu itu? Bukannya sudah tau peraturan nggak boleh bawa handphone, harusnya tadi dilihat di kamar mandi saja," ucap teman yang berada di sebelahnya.
"Iya, Mbak. Tapi tadi ibu Nara kirim pesan kayaknya penting, jadi Nara pingin lihat," jawab Kinara dengan tidak bersemangat.
"Ya udah, lain kali hati-hati aja. Kita yang udah senior aja nggak berani nyelipin handphone kok," sahut karyawan lain yang duduk di meja depannya.
Gadis berusia dua puluh dua tahun itu hanya mengangguk dan kembali duduk untuk melanjutkan pekerjaannya. Suara mesin jahit kembali saling bersahutan. Semua karyawan kembali fokus menjahit helai demi helai kain yang ada di hadapan mereka, termasuk gadis muda itu. Dia terlihat sangat serius menjahit renda pada pinggiran cup bra yang merupakan produksi utama dari pabrik tempat gadis itu bekerja.
Ting-tong!
Suara bel yang sangat dinantikan oleh semua karyawan akhirnya berbunyi, sontak saja semua karyawan pabrik itu mematikan mesin jahit masing-masing dan segera berlari keluar termasuk Kinara. Gadis itu dengan langkah lesu melangkah menuju ruang HRD sesuai perintah atasannya, bibirnya membentuk lengkungan ke bawah dengan mata sayu yang terus tertuju pada ubin-ubin sepanjang koridor.
"Selamat sore," sapa Nara sesaat setelah mengetuk pintu dan perlahan membukanya.
"Ya, kemarilah." Seorang pria berumur yang merupakan kepala HRD memanggil Kinara.
Kinara menghampiri kepala HRD itu, ekspresi gugup dan tegang tidak bisa gadis itu sembunyikan. Ia terus saja memainkan jarinya saat berhadapan langsung dengan kepala HRD itu.
Apa aku akan dipecat? Bagaimana kalau sampai aku dipecat, harus kerja apalagi aku dengan modal ijazah SMA ini, batin Kinara sambil menggigit kecil bibir bawahnya.
"Mbak Kinara, ya? Menurut laporan, Mbak Kinara sudah melanggar aturan dengan membawa telepon genggam ke dalam area produksi. Jadi, dengan berat hati saya harus memberikan surat peringatan kepada anda. Saya harap kejadian ini tidak akan terulang lagi kedepannya, bisa dimengerti, Mbak?"
"Baik, Pak. Maafkan saya," jawab Kinara dengan penuh penyesalan.
"Baiklah kalo sudah paham, saya kembalikan ponsel dan ID Card anda. Saya harap Mbak Kinara bisa mematuhi aturan yang ada, ya," ucap pria itu sambil menyodorkan ponsel Kinara.
"Terima kasih, Pak. Saya tidak akan mengulanginya lagi. Terima kasih banyak, Pak." Kinara lega, dia membuang napas panjang setelah keluar dari ruangan yang sebelumnya membuat gadis itu berkeringat dingin.
Huh, untung nggak dipecat. Bisa ngamen beneran aku kalo dipecat dari sini.
Gadis itu segera mengecek pesan yang membuatnya hampir mati penasaran karena belum sempat membacanya. Ia melangkah dengan cepat seolah dikejar waktu setelah membaca pesan yang masuk. Dengan cepat Kinara men-starter motor Revo keluaran tahun 2007 yang selalu menemaninya. Ia menjalankan motor itu dengan kecepatan tinggi, menembus jalanan kota Jakarta yang sangat selalu ramai oleh kendaraan. Gadis itu membelokkan motornya ke sebuah rumah sakit besar di kota tersebut.
"Semoga masih keburu," gumam Kinara berlari memasuki rumah sakit.
Dengan langkah lebar gadis itu menuju sebuah ruangan kelas dua yang ada di lantai dua rumah sakit. Ia membuka pintu ruangan tersebut dengan cepat, napasnya terengah-engah karena berlari menaiki tangga.
"Apa kau tidak naik lift, Nak?" tanya seorang wanita paruh baya yang duduk di samping ranjang rumah sakit.
"Enggak, Buk. Biar cepet, nunggu lift lama. Maaf agak terlambat tadi macet. Pergilah, Nara akan menjaga Yana." Kinara melepas tas dan jaketnya, ia mendekat ke arah tempat tidur itu.
Mata Kinara menjadi sayu saat manik matanya menatap lekat wajah anak kecil berjenis kelamin perempuan, yang terbaring di atas ranjang itu. Ia mengelus lembut kepala anak kecil itu dan mengecup keningnya lembut.
"Kalau begitu ayah dan ibu pergi dulu, ya. Adikmu waktunya cuci darah lagi, ayah mau kasbon ke bos-nya dan ibu harus ikut. Makanya ibu minta tolong jagain Yana." Ibu Sari beranjak dari duduknya.
"Iya, Bu. Hati-hati, bilang ke bapak jangan ngebut, besok Kinara juga udah gajian bisa buat tambah lagi," jawab Kinara sambil memberikan lambaian tangan pada ibunya yang hendak menutup pintu.
Kinara duduk di kursi yang sebelumnya digunakan oleh ibunya. Dia menatap lekat wajah adiknya Kiyana yang baru berusia sepuluh tahun. Sejak kecil adiknya sering sakit-sakitan, mereka hanya memberikan obat seadanya pada Kiyana karena dianggap penyakit biasa. Setelah beberapa tahun kondisi Kiyana tak kunjung membaik, ia memiliki tubuh yang sangat kecil bahkan terlihat hanya seperti tulang yang dibungkus kulit saja.
Karena khawatir dengan perkembangan Kiyana mereka memutuskan membawa Kiyana ke dokter spesialis. Setelah melakukan berbagai pemeriksaan, di usianya yang baru delapan tahun dokter memvonis Kiyana mengalami gagal ginjal.
Tanpa Kinara sadari air mata lolos begitu saja dari kedua sudut matanya. Air mata itu jatuh tepat di atas punggung tangan adiknya. Kinara dengan segera mengelapnya dengan hati-hati supaya tidak membangunkan Kiyana.
"Kakak kenapa menangis? Apa aku sudah membuatmu sedih lagi?" Suara polos anak kecil membuat Kinara mendongakkan kepalanya mencoba menahan tangis.
Bersambung ....
____________________________________________________
Haii, berjumpa lagi dengan novel Simi. Yuk kasih dukungan Author dengan cara ngasih Like, Komentar, Rating bintang 5, dan juga vote buat karya-karya author yaa.
Terima kasih banyak sudah mensupport Simi teman-teman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
shadowone
160 itu suda tinggi apalagi kalu badan kurus. yg munggil itu 150-155
2023-08-29
0
Maya Ratnasari
tadi dua puluh dua tahun, sekarang dua puluh tahun. yang bener yang mana Thor?
2022-12-13
0
𝓖𝓲𝓽𝓪 𝓹𝓮𝓫𝓻𝓲𝓪𝓷𝓲◗
salam kenal author.. aku dateng atas rekomendasi dari author Nita Catatan Arya 🥰
2021-12-31
0