Hari masih begitu pagi, rembulan juga belum sepenuhnya menghilang. Anya menuju dapur untuk melakukan kegiatan paginya seperti biasa, ia sibuk bergelut di dapur membantu sang ibu menyiapkan sarapan pagi.
Sedangkan ayahnya, lelaki itu sudah sejak tadi subuh pergi ke kebun. Anya meletakkan lemon ke atas meja seraya bersenandung kecil.
Sore hari ini, dia akan bertemu dengan Rizki, sang pujaannya. Menurut kabar yang didengarnya dari Windi, lelaki itu sedang menghabiskan waktu liburannya di rumah.
"Kesempatan bagus, hari ini aku harus bisa bertemu sama Rizki," gumam Anya.
Ibunya sempat mendengar ucapannya itu, meskipun suaranya kecil. "Kamu jangan terlalu berharap banyak sama dia," kata ibu berujar.
"Apa Sasha belum bangun jam segini, Bu?" tanya gadis itu seraya meletakkan tahu ke dalam piring, ia sengaja mengalihkan topik obrolan.
"Adik kamu itu emangnya kapan pernah bangun cepat, Nya?"
"Seharusnya Ibu ngasih nasihat buat Sasha, dia bukan anak kecil lagi, Bu. Sasha udah bisa bantu-bantu pekerjaan rumah," ucap Anya berkomentar.
"Udah ah, kamu kan ada. Kamu bisa bantu ibu, jadi untuk apa Sasha, adikmu itu masih kecil, biarin aja dia menikmati hidupnya. Nanti kalau udah waktunya nikah, baru ibu ajarin dia jadi wanita mandiri, ngajarin dia masak, beres rumah, dan hal lainnya. Sekarang masih ada kamu, ngapain repot-repot manggil dia," cicit bu Aila. Wanita itu terus bicara hingga membuat Anya menarik napas panjang dengan hati kesal.
"Kecil?" ulang Anya dengan alis bertaut. "Bu, Sasha udah 18 tahun lebih, umur segitu bukan lagi umur anak kecil, emang dia balita?" bantah Anya.
"Udah berapa kali kamu nyinggung soal Sasha? Kamu ini sebenarnya kenapa? Kamu iri sama dia?"
Bu Aila mematikan kompor dan menatap sengit ke arah Anya.
"Iri? Hah, untuk apa aku iri sama Sasha, Bu? Emang apa yang bisa dibanggakan dari anak itu? Aku cuma enggak suka ngelihat sikap Ibu yang terus ngemanjain dia. Lama-lama dia akan berlaku seenaknya," pungkas Anya, ia segera mengambil kunci motornya yang tergantung di dinding dekat pintu dapur, dan kemudian pergi dari sana.
"Anya, mau ke mana kamu? Ini belum selesai, Nya! Anya, kembali ke sini!" seru ibunya.
"Males! Aku mau langsung berangkat kerja, Bu." Anya terus berjalan tanpa mengindahkan seruan ibunya.
Ia sadar sikapnya tadi terlalu berlebihan, tapi semua itu dilakukan karena ibunya juga.
Anya tidak setuju dan tidak akan pernah mendukung cara kedua orangtuanya mendidik Sasha.
Sasha dibiarkan tidak kuliah dan menghabiskan masa mudanya dengan asyik berpacaran.
Ayahnya masih sanggup membiayai sekolah Sasha sekalipun ke perguruan tinggi, tapi Sasha memilih diam di rumah dan menikmati waktu luangnya itu. Sedangkan dia harus keluar dari pesantren dan tidak bisa lanjut belajar lagi, karena waktu itu perekonomian keluarganya memburuk.
"Aku cuma tamatan SMA doang, beruntung banget Sasha bisa kuliah, tapi dia malah enggak mau," geram Anya sambil menghidupkan mesin motornya meninggalkan halaman rumah.
Anya mengendarai sepeda motornya dalam kecepatan sedang. Ia bisa berkendara dengan nyaman tanpa khawatir akan kemacetan, karena saat itu jalanan masih sepi.
Udara terasa begitu sejuk, setelah keluar dari rumah pikirannya jadi lebih tenang sekarang.
"Entah sampai kapan ibu akan memanjakan Sasha seperti itu?" batin Anya.
***
"Wow! Tuan puteri datang kepagian hari ini," ucap Windi begitu Anya tiba di parkiran.
Sambil melepaskan helmnya, Anya mendelik tajam ke arah Windi. "Lagi bad mood aku, Win."
"Eleh, bad mood terus." Windi sedikit tersenyum.
"Kenapa? Kamu pasti enggak nyangka kan kalau aku bakal datang sepagi ini?" Anya turun dari motornya dan mulai kembali ke topik utama. Dia tidak mau Windi menanyakan apa yang terjadi pada dirinya pagi ini.
"Yach, enggak biasanya kan kamu datang awal kek gini. Biasanya juga telat, dan pasti udah nyiapin seribu satu alesan supaya aku enggak marah," celetuk Windi sembari memonyongkan bibirnya.
"Kita kan sahabat, Win," balas Anya dengan wajah dibuat seimut mungkin.
"Iya, iya! Enggak usah bikin ekspresi begituan. Geli gue liatnya tau! Nih, ambil! Oh ya, satu lagi. Gue nitip kafe ya, hari ini ada acara keluarga. Sekalian tolong awasin pekerjaan anak-anak ya, dan pastikan pendapatan kita bulan ini bertambah." Windi memberikan sebuah nasi kotak kepada Anya. Anya terdiam membisu melihat sahabatnya itu, bagai terhipnotis hanya dengan sogokan nasi kotak.
Windi buru-buru pergi sebelum Anya menolak kemauannya itu.
"Eh, berhenti, Win!" panggil Anya.
"Sehari doang kok," sahut Windi.
"Kamu nyogok aku?"
Windi kembali membalikkan badan dan berjalan menuju Anya.
"Ini cuma nasi kotak biasa, Anya. Enggak ada berlian di dalamnya, masa iya gue mau nyogok lo," ujar Windi.
"Please deh, Win. Jangan berlagak sok bodoh gitu, kamu pasti enggak mau ketemu sama Adnan kan? Jangan bohong!"
"Sok tau lo!" bantah Windi, "gue beneran ada urusan, kali ini aja ya, please!"
Pada akhirnya Anya cuma bisa menuruti perintah Windi, cuma sehari doang enggak apa-apa sepertinya. Ya, dia sendiri juga malas sebenarnya berhadapan dengan Adnan, lelaki mata keranjang mantannya si Windi.
"Oh ya, gue hampir lupa! Nih kuncinya, tangkap!" Windi melempar kunci itu, dan berhasil ditangkap oleh Anya.
"Mau menghindar ngomong aja, Win. Enggak usah banyak alesan!" seru Anya, dan Windi hanya membalas dengan senyumannya sambil membuka pintu mobil.
"Good luck, Anya sayang! Semoga harimu menyenangkan," ucapnya untuk yang terakhir kali.
Usai kepergian Windi, gadis itu langsung masuk ke dalam kafe dan menyapu lantai sampai bersih, sambil menunggu yang lain datang.
****
Siang harinya kafe dipenuhi oleh banyak pelanggan, sebagian besar adalah para karyawan kantor, dan selebihnya para remaja yang makan dengan pasangannya.
"Mbak, ini pesanan pelanggan yang di meja no 13 ya," ucap Revi seraya memberikan uang kepada Anya.
Anya mendongakkan kepalanya sedikit, entah kenapa dia jadi penasaran dengan pelanggan itu.
Anya mencoba melihat lebih jelas siapa lelaki yang bersama perempuan tersebut, sepertinya tidak asing.
"Arya?" desisnya kaget.
"Mbak kenal?"
"Dia pacarnya Sasha, adik aku," jawab Anya terus terang.
"Adik Mbak pacarnya kok pelit banget, gaya aja kelihatan elite gitu, padahal mah enggak punya duit," sinis Revi. Dia melihat ke belakang, ke arah Arya yang sudah berjalan meninggalkan kafe bersama Sasha.
"Maksud kamu, Vi?"
"Itu loh, Mbak. Masa bayar makanannya pakek uang adiknya Mbak, dia ngasih alesan gini, katanya dompetnya ketinggalan di rumah. Aneh enggak?"
"Jadi ini uangnya Sasha?"
"Ho oh, Mbak." Revi manggut-manggut. Terlalu jujur hingga membuat Anya seketika naik pitam, ia meremas dengan kesal uang itu hingga kusut dalam genggamannya.
"Benar-benar si Arya, tuh anak nyari mati apa? Udah berapa kali aku kasih peringatan buat jauhin Sasha," gumam Anya.
Anya kembali menatap tajam ke arah Revi, membuat Revi bergidik ngeri melihat perubahan wajah ramah Anya.
"Duh, bisa gawat kalau mbak Anya marah. Semoga mereka udah pergi dari sini," batin Revi.
"Vi, kamu jaga di sini sebentar ya! Aku enggak bakal lama kok, aku mau nyusul mereka dulu." Revi hanya bisa mengangguk dan tidak berani membantah.
*****
Anya berlari mengejar Sasha, begitu tiba di depan adiknya...
PLAK!
Sasha melotot marah ke arah Anya yang datang tiba-tiba dan langsung menamparnya.
"Apa-apaan kamu, Kak?" pekik Sasha.
"Apa-apaan kamu nanya? Kamu masih berani nanya dan berpura-pura bodoh, kamu pikir aku enggak tahu apa? Seharusnya kamu itu ke toko, bantuin ibu. Kalau enggak ya ke kebun, bantuin ayah. Ini malah keluyuran sambil pacaran sama Arya, cowok enggak jelas itu."
"Lihat aja ya, aku bakal aduin perbuatan kamu sama ayah dan ibu," ancam Sasha. Pipinya masih terasa begitu sakit, dia ingin membalas tamparan tadi, tapi hatinya takut, dan dia tidak punya nyali untuk membalasnya.
Memandang wajah Anya saat marah membuat nyalinya menciut, dia jadi berani bertindak seenaknya karena selalu mendapat pembelaan dari ibu dan ayahnya.
"Oh ya! Silakan pulang dan aduin semuanya sama ibu dan ayah! Kamu pikir setelah aku ngasih bukti ke ayah sama ibu kalau kamu ngebayarin Arya tiap makan berdua, mereka masih setuju kamu dekat dengan cowok modelan dia, hah?" Anya balik mengancam.
Ini cuma gertakan saja, Sasha berusaha menenangkan pikirannya.
"Kak Anya tidak mungkin ngelakuin hal ini, dia tidak akan ngadu sama ayah," batin Sasha semakin cemas.
Arya yang kebetulan baru keluar dari kamar mandi, buru-buru bersembunyi ketika melihat Anya sedang memarahi Sasha. Lelaki itu tidak mau ikut campur, jadi dia harus cari tempat aman sampai Anya kembali masuk ke dalam kafe itu lagi.
Andai saja mereka tahu Anya bekerja di sana, mereka pasti tidak akan datang dan makan di tempat tersebut.
"Kenapa masih di sini? Ayo pulang! Jangan bilang kalau kamu masih nunggu Arya."
"Ya iyalah aku nungguin dia, aku ke sini kan sama dia."
"Masih berani kamu nungguin dia, hah!? cepat naik ke sini! Biar aku anter!" tegas Anya, dia berjalan menuju tempat di mana sepeda motornya terparkir.
Sasha tidak bisa membantah, dia nurut begitu saja. Sasha tahu betul bagaimana sikap Anya kalau sudah marah, dalam hati kecilnya ia terus saja mengumpat sang kakak.
Sasha benci karena tidak bisa melakukan apa pun sesuka hati, dia merasa kalau Anya selalu ikut campur akan urusan pribadinya.
"Kak, kamu udah berlebihan banget, kamu udah terlalu ikut campur dalam masalah pribadi aku. Kamu itu sok suci tau enggak sih!" cibir Sasha begitu turun dari motor.
Anya memasang ekspresi datar dan menatap dingin ke arah Sasha.
Untuk beberapa saat tak ada komentar, ia terdiam. Namun, bukan berarti Anya tidak bisa membela diri. Ia hanya bingung dengan pikiran adiknya yang sempit itu.
"Aku gini juga buat ngelindungi kamu dari pengaruh buruk Arya, kamu sadar enggak? Kamu itu cuma dimanfaatin sama dia."
Sasha tidak percaya dengan apa yang dikatakan Anya, bagi dia, Arya adalah satu-satunya orang yang paling mengerti akan perasaannya lebih dari siapa pun.
"Arya laki-laki baik, dia bukan tipe cowok yang seperti kamu pikirkan, Kak!" teriak Sasha marah. Ia berjalan masuk ke rumah, dan karena marah ia membanting pintu hingga menimbulkan suara keras.
Brak!
Anya tidak peduli lagi, yang penting adiknya itu sudah berada di rumah.
Saat memutar motornya hendak kembali ke tempat kerja, Anya berpapasan dengan ayahnya di depan gerbang.
Tatap mata sang ayah begitu dingin, mereka bahkan jarang bertegur sapa.
Hal ini terjadi semenjak Anya suka berkomentar akan sikap kedua orangtuanya yang salah dalam mendidik sang adik.
****
Langit perlahan-lahan mulai kelabu, di luar angin berhembus kencang.
Hari sudah beranjak sore, kafe juga sudah ditutup. Jadi, Anya menghabiskan waktunya untuk istirahat sambil menikmati senja di taman belakang kafe Windi.
Di taman bunga yang dia rekomendasikan, dan kemudian disetujui oleh Windi. Semua bunga di taman itu dia sendiri yang menanamnya, tapi ada beberapa juga yang ditanami oleh Windi.
"Kadang aku ngerasa lelah sama semua ini." Anya menarik napas berat.
"Lo terlalu berlebihan, An."
"Gimana enggak berlebihan, Win. Aku khawatir sama Sasha, dia itu perempuan. Aku harus jagain dia 24 jam," kata Anya.
"Anya, sahabat terbaik gue. Denger ya! Sasha itu udah gede, dia bukan lagi bayi yang harus lo jagain tiap waktu. Dia udah bisa jaga diri sendiri, lo itu terlalu khawatir akan keadaan dia, sekali-kali lo juga harus mikir gimana cara buat diri sendiri bahagia," ucap Windi menasihati.
"Sasha lebih suka hidup bebas, dia merasa aku terlalu mengekangnya. Tanpa dia sadari, kebebasan yang diberikan oleh ayah dan ibu telah menjadi bom waktu, dan semua itu akan menghancurkan hidupnya dalam hitungan detik." Anya menatap luruh ke depan, pandangan kosongnya membuat Windi tertegun.
Tentu banyak yang bergelayut di pikiran sahabatnya itu, Anya memang terbuka akan banyak hal padanya, tapi tidak semua.
Windi sadar kalau masih banyak hal yang berusaha ditutupi oleh Anya dari dia.
"Kita udah berteman lama, Nya. Dari orok kita udah saling kenal, lo kalau lagi punya pikiran, banyak beban, lo bisa cerita sama gue."
"Aku takut, Win. Beberapa dari kejadian masa lalu selalu ngebayangin aku, mereka seperti mimpi buruk yang enggak mau pergi dan tetap bersamaku di malam-malam sunyi," ujar Anya, sudut matanya mulai berair, bibirnya seketika kering, dan wajahnya mendadak pucat.
Windi masih belum paham, ia menatap dalam netranya, adakah jawaban di sana? Jawaban dari setiap perkataannya barusan.
Di detik berikutnya Windi menggeleng. "Aku enggak paham, apa maksud kamu?"
"Kejadian waktu kita masih SMP, kamu masih ingat? Tentang bang Tino sama kak Elsa?"
Windi mengerutkan keningnya, mulai mengingat. Ya, kejadian itu memang sulit untuk dilupakan, sejak saat itulah Anya memiliki banyak masalah dan lebih banyak diam di sekolah, dia bahkan menjauhi semua teman lelakinya. Namun, siapa sangka kalau dia malah bertemu dengan Rizki dan bisa begitu mudahnya dekat dengan cowok itu.
"Anya, itu udah lama. Cuma masa lalu, sebaiknya lo enggak usah ingat-ingat lagi masalah itu," saran Windi.
"Gimana caranya aku bisa lupa, Win. Setiap malam, aku mimpi buruk karena masalah itu, aku takut Sasha jadi seperti kak Elsa. Aku takut karena bang Tino pernah berbuat hal tidak senonoh pada kak Elsa, yang menyebabkan dia hamil. Gimana kalau hal itu jadi kembali pada Sasha?"
Keringat dingin seketika bercucuran di kening Anya, ketakutan itu adalah rasa yang sama tatkala ia terjaga di tengah malam.
Cibiran dan cemoohan warga telah menjadi mimpi buruk dan membuatnya begitu terpukul. Mungkin kedua orangtuanya tidak lagi peduli akan masalah itu, tapi Anya, dia tidak bisa lupa begitu saja.
"Aku seorang perempuan, bagaimana kalau keluarga Rizki mengungkit kejadian itu dan kami sudah pasti tidak ada harapan untuk bersama?"
Windi terpaku diam, kini ia paham bagaimana keresahan hati sahabatnya setiap waktu. Kalau dia berada di posisi Anya, dia juga akan berpikiran seperti itu.
Latar belakang keluarga Anya, semua masa lalu keluarganya pasti akan dijadikan alasan untuk menolaknya menjadi menantu di keluarga Rizki.
"Lo tenang aja, gue yakin kok kalau mereka udah ngelupain masalah itu. Kan ini lo, Nya. Lo punya catatan baik di hidup lo. Tetap berpikir positif! Jangan jadi pesimis kayak gini dong, ayo tetap semangat!"
Windi mengangkat tangannya berusaha menyemangati Anya.
Senyum tulusnya mampu membuat sedih di wajah Anya perlahan menghilang. Windi memang sahabat terbaiknya, dia selalu ada setiap Anya butuhkan.
"Makasih, ya. Makasih karena udah luangin waktu buat dengerin keluh kesah aku," ucap Anya penuh haru.
"Santai, kayak sama siapa aja lo. Udah sore ni, ayo pulang, entar dicariin mak bapak lo lagi," suruh Windi. Sedangkan dia masih duduk santai di bangku itu.
"Kamu sendiri enggak mau pulang?"
Windi menoleh ke samping, melihat Anya yang sudah bangun sambil mengambil tas sampingnya.
"Gue enggak mau ketemu Adnan, mama sama papa juga terus nanyain kapan gue mau nikah," jawab Windi lesu.
"Kalau sudah ada calonnya kenapa enggak gas aja, Win?"
"Belum dapet yang cocok, Nya."
"Ya udah, aku duluan ya! Assalamualaikum!" Anya memberi salam seiring dengan mengayunkan kakinya menuju pintu belakang.
"Waalaikumsalam, hati-hati, An!" seru Windi dengan lantang.
****
Anya baru saja merebahkan tubuhnya ke atas kasur, rambutnya masih basah dan belum kering sepenuhnya.
Ia duduk bersandar di headboard ranjang, rambutnya masih dililit handuk. Anya menatap layar gawainya, satu pesan muncul kemudian. Pesan dari Rizki, jantung Anya berdebar tak karuan.
Namun bibirnya tak berhenti tersenyum senang, apa yang ada di pikiran gadis itu. Dia sudah lama menanti kabar dari sang pujaan, Anya sangat merindukan Rizki.
[ Anya, besok aku mau ke rumah. Kamu ada waktu kan?]
"Besok? Tapi aku harus kerja, gimana dong?" Anya tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, tapi dia juga tidak bisa mengabaikan Rizki.
[Malam ini aja, Mas. Kebetulan ada ayah sama ibu. Bawa adikmu sekalian, biar ada temennya]
Anya membalas setelah berpikir cukup lama.
Masih awal, belum jam sembilan. Itu artinya dia dan Rizki masih bisa bertemu.
Anya menyipitkan matanya karena pesannya sudah centang biru, tapi tidak ada balasan apa pun.
"Ternyata cuma diread doang," lirih Anya, "apa dia keberatan ya?" pikirnya.
Di luar kamar, terdengar suara ayah dan ibunya yang tengah bertengkar perihal Sasha.
Kali ini masalah apa lagi yang dibuat Sasha? Anya bangkit dan keluar dari kamar.
Ceklek!
Baru saja gagang pintu dipegang, pintunya sudah duluan terbuka.
"Ibu?"
Anya kaget melihat ibunya sudah berdiri di depannya dengan mata memerah dan napas memburu.
PLAK!
Kepala Anya serasa pusing, tamparan sang ibu begitu keras mendarat di pipi halusnya. Namun, kenapa dia ditampar? Apa kesalahannya?
"Udah rapi aja, emang Mas mau ke mana?" tanya Liana ketika melihat kakak lelakinya berdiri menghadap cermin.
"Sebelum masuk biasakan untuk ketuk pintu dulu, Lia," ujar Rizki menegur.
"Dih, sama adek sendiri pun, tadi aku juga udah manggil dari luar, Mas aja yang kagak denger sih. Emang kamu udah nikah, pakek acara ketuk pintu segala," cicit Liana, matanya tak henti-hentinya memandang Rizki yang tampil keren malam ini. Pastinya banyak gadis-gadis di luar sana yang terpesona dengan ketampanannya, pikir Liana.
"Kenapa? Kamu terpesona dengan ketampanan mas mu ini, hah?" tanya Rizki menggoda.
Liana menaikkan ujung bibirnya diiringi dengan senyum kecil. "Kepedean banget kamu, Mas. Tuh, udah ditungguin sama mama dan papa di bawah," ucap Liana kemudian, ia langsung meninggalkan Rizki yang masih mematut dirinya di depan cermin.
"Saatnya bertamu ke rumah calon mertua," ujar cowok itu seraya mengambil kunci mobilnya di atas nakas.
"Hah?" Liana kembali berbalik arah kala mendengar ucapan Rizki. "Mas Rizki mau ke rumah mbak Anya?"
"Iya, malam ini."
"Aku ikut ya! Udah kangen banget sama mbak Anya, boleh kan?"
"Buruan gih siap-siap, aku tunggu di bawah."
"Oke, siap!" Liana bersorak kegirangan, gadis remaja itu buru-buru masuk ke kamarnya untuk ganti baju dengan yang lebih sopan.
***
Rizki tiba di lantai bawah, ia menyapa kedua orangtuanya yang saat itu sedang duduk di ruang tengah.
"Nah, dari tadi kita tungguin, Ma. Ini anak baru nongol sekarang," ucap pak Burhan.
"Sini, Ki. Duduk dulu, ada yang mau mama sama papa omongin." Bu Mila menggeser sedikit duduknya menyisakan tempat untuk sang anak duduk di sana.
"Soal apa, Ma? Rizki lagi buru-buru, mau ke rumah Anya sebentar, gimana kalau nanti pas Rizki pulang?" tanya Rizki.
Bu Mila melirik suaminya, mereka saling pandang, ada sesuatu yang penting, dan mungkin itu menyangkut tentang hubungan anaknya dengan Anya.
Pak Burhan mengangguk pelan, sedangkan bu Mila tampak menghela napas panjang.
"Ya udah, nanti aja," pungkas mamanya.
Setelah adiknya keluar dari kamar, Rizki langsung pergi setelah lebih dulu minta izin pada kedua orangtuanya.
"Ma, beneran Mama mau lamar Anya?"
"Ya, mau gimana lagi, Pa. Rizki desak mama terus," jawab bu Mila.
"Tapi bukannya kemarin-kemarin kamu ngotot banget enggak mau bermenantukan Anya? Kenapa bisa berubah secepat ini?"
"Emang kita bisa apa, Pa? Mama juga enggak punya alasan menolak Anya untuk saat ini," jawab bu Mila.
Melihat sang istri yang dipenuhi kebimbangan, pak Burhan akhirnya memberitahukan tentang kabar baik yang tempo hari didapatnya dari pimpinan pesantren tempat Rizki mondok.
"Abi Ilyas ingin menjodohkan Rizki dengan putrinya, Ma."
Seketika mata bu Mila berbinar mendengar ucapan sang suami. Inilah kabar baik yang dia nantikan, sungguh sebuah keajaiban.
Kalau dengan putri beliau, sudah pasti dia mau merestuinya.
"Alhamdulillah, Pa. Ini yang mama tunggu-tunggu, akhirnya mama punya alasan untuk jauhin Rizki dari Anya."
*****
Rizki masih dalam perjalanan menuju rumah Anya, dan Anya masih berdebat dengan ibunya terkait masalah tadi siang di kafe.
"Bu, Ibu enggak terima atas perlakuan aku sama Sasha?"
"Tentu saja! Ibu enggak pernah sekalipun mukul dia dari kecil, tapi kamu? Berani-beraninya kamu tampar adik kamu seperti itu," ucap bu Aila, amarahnya meledak sudah.
Anya meringis, tamparan sang ibu terlalu keras, bahkan sudut bibirnya terasa berdarah.
Untuk beberapa saat Anya terdiam, ia memandang ke arah Sasha yang duduk di dekat ayahnya.
Ayahnya tampak cuek-cuek saja dengan apa yang sedang terjadi.
Dia pikir suara ribut-ribut tadi karena ayah dan ibunya tengah bertengkar perihal Sasha, tapi ternyata mereka sedang meributkan tentang masalah dirinya menampar Sasha.
Bagi Anya ini tidak adil, mereka selalu membela Sasha bahkan di saat Sasha melakukan kesalahan.
"Sasha, jangan salahkan aku kalau nanti ibu berbalik marah sama kamu. Ini kamu yang memulai," ucap Anya dalam hati, matanya menatap tajam ke arah Sasha.
Sasha memperhatikan tatapan marah kakaknya, dia mulai cemas, takutnya sang kakak akan balik mengadukan apa yang terjadi.
"Apa benar kak Anya bakalan balik ngadu perihal aku sama Arya?" Sasha semakin gelisah. "Tapi kan dia enggak punya bukti," batin Sasha, gadis itu menenangkan hatinya.
Anya tersenyum sinis, ia menarik ponsel dalam saku gamisnya.
Ibunya menerima ponsel itu, melihat bukti dari rekaman cctv yang diambilnya dari kafe Windi. Dia sudah mempersiapkan itu sejak tadi sore, buat berjaga-jaga kalau nanti Sasha ngadu sama ibu dan ayah.
"Ibu lihat sendiri kan? Apa yang dilakukan Sasha anak kesayangan Ibu sama ayah." Anya mengerling ke arah sang adik, lalu ia tersenyum puas.
Sasha langsung menghampiri ibunya saat melihat reaksi ibunya yang mulai berubah semakin marah.
"Gawat! Pasti kak Anya ngaduin soal Arya," gumam Sasha, kaki jenjangnya berjalan cepat menghampiri mereka.
"Apa ini, Sha? Ibu enggak suka_"
"Bu, Sasha bisa jelasin soal ini. Semua enggak seperti yang ibu lihat," potong Sasha cemas.
Bu Aila mengembalikan ponsel itu kepada Anya, beliau lalu menarik tangan Sasha dan membawanya ke hadapan ayahnya.
"Kali ini kamu sudah keterlaluan, ibu enggak mau kamu deket lagi sama dia!" tegas bu Aila.
Kemarahannya mendatangkan rasa gerah, beliau melepaskan kerudungnya dengan kesal dan mencampakkannya begitu saja.
"Kamu itu jangan mau dibodohi, Sha. Ayah ngasih kamu pacaran sama dia bukan buat ngasih dia makan, bikin perutnya kenyang. Emang dia sekere itu, sampe uang lima puluh ribu aja kagak punya," omel ayahnya.
"Ayah, Ibu, itu cuma satu video aja. Cuma sekali doang, Bu." Sasha masih berusaha menyangkal.
Anya kembali menutup pintu kamarnya karena tidak mau mendengar apa pun alasan sang adik, percuma aja Sasha menyangkal semua itu. Kali ini Anya punya beberapa video saat dia membayar makanan yang dipesan bersama Arya.
"Windi emang sahabat terbaik aku, beruntungnya punya dia." Anya mendekap ponselnya sambil tersenyum senang.
Ada beberapa video lain yang didapat Windi dari kafe temannya yang pernah didatangi Sasha.
Semua sama, sepertinya Arya cuma manfaatin Sasha doang.
"Putusin hubungan kamu sama lelaki modelan dia!" tegas ayahnya. Obrolan mereka terdengar jelas sampai ke kamar Anya yang berada tidak jauh dari ruang tengah.
"Tapi, Yah_"
"Enggak ada tapi-tapian, ayah enggak mau lihat lagi kamu berhubungan sama dia. Jadi cowok kok enggak punya modal, mau aja kamu dimodusin sama cowok," ucap pak Faisal marah.
Baru kali ini Anya mendengar ayah dan ibunya memarahi Sasha.
"Kalau sering-sering kek gini kan aku jadi senang," gumam Anya. Rasanya dia sudah menjadi kakak yang sangat jahat di dunia ini, senang saat melihat adiknya sendiri dimarahi.
Bagus juga sih, setidaknya Sasha dapat pelajaran dari hubungannya yang cuma main-main itu.
Tttrrr!
Getar ponsel Anya mengagetkannya, ia bangun dan melirik sekilas bayangannya di cermin, ternyata getar ponsel tadi adalah pesan dari Rizki.
Cowok itu sudah tiba di depan rumahnya. Anya buru-buru membuka pintu dan keluar dari kamar menuju teras depan.
***
Lama tidak bertemu membuat obrolan di antara mereka sedikit canggung. Anya bahkan beberapa salah ngomong di depan Rizki, dan hal itu membuat Liana cekikikan sendiri melihatnya.
"Oh ya!" ucap Rizki dan Anya bersamaan, Liana semakin melebarkan senyumnya. Anak itu memandang secara bergantian dua orang di depannya.
"Mas Rizki duluan!" suruh Anya.
"Kamu aja, kayaknya kamu lebih penting deh," tolak Rizki.
"Enggak apa-apa, Mas aja!"
"Cie cie .... Yang lama enggak jumpa, jarang berkabar, sekali ketemu kok jadi kikuk gini," goda Liana.
"Ssttt!" Rizki menempelkan telunjuknya di bibir Liana. "Anak kecil diem!"
"Mau ngomong apa tadi, Mas?"
Terpaksa Rizki yang ngomong duluan, cowok itu menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara.
Mungkin ini cukup membuatnya deg-degan, karena apa yang akan disampaikannya adalah masalah pertunangan mereka.
"Soal pertunangan kita, aku udah kasih tahu hal ini sama mama dan papa," ucap Rizki.
Liana tidak berkomentar sama sekali, pembicaraan kali ini kelihatannya lebih serius, jadi dia cuma diam dan menyimak.
"Keluarga kamu setuju?"
"Ya pasti dong, Mbak. Aku juga setuju, mama dan papa juga pasti setuju, ya kan, Mas?" yang dijawab Liana, gadis itu sangat bersemangat.
Dari awal perkenalan dengan Anya, dia memang sudah mengagumi sosoknya. Menurut Liana, calon kakak iparnya adalah gadis idaman semua laki-laki.
"Iya, mereka semua setuju. Jadi, buat tanggal sama harinya nanti aku pastiin dulu sama mama. Kalau udah siap, aku bakal ke sini lagi buat ngelamar kamu," ucap Rizki. Hati Anya jadi berbunga-bunga, malam ini dia pasti akan mimpi indah, tidak seperti malam-malam biasanya.
"Wah, sebentar lagi aku bakal punya kakak ipar dong," celetuk Liana, tangannya segera menempel di pundak Anya, dan dia memeluk perempuan yang sekarang berada di sampingnya.
"Reaksinya biasa aja, Neng!"
"Emang kenapa? Enggak boleh aku meluk kakak ipar sendiri? Atau kamu cemburu ya, Mas? Kamu cemburu karena enggak bisa sedekat ini sama mbak Anya?" tanya Liana menggoda kakak lelakinya.
"Baru calon, Liana. Bukan kakak ipar," sanggah Anya.
"Siapa juga yang cemburu," balas Rizki dengan bibir mengerucut.
"Ye, sama aja, Mbak. Nanti kalau Mbak Anya udah resmi jadi kakak ipar aku, sering-sering masak ya buat aku," pinta Liana sembari memamerkan senyum manisnya.
"Emang kamu siapa? Suaminya kan aku," timpal Rizki.
"Palingan kamu jarang pulang, Mas. Pasti nanti bakal kembali sibuk di pesantren," ucap Liana. Mendengar hal tersebut, membuat Anya terdiam sesaat, pandangannya berpaling ke arah pagar rumahnya.
"Anya, kamu kenapa?"
"Kamu akan terus di sana, Mas?"
"Mau gimana lagi, aku disuruh jadi guru ngaji di sana, tapi kamu jangan takut. Nanti kalau kita udah nikah, aku juga bakal bawa kamu tinggal di sana, kamu pasti suka suasana pesantren."
Mereka terus mengobrol hingga tak terasa larut malam tiba.
Bu Aila dan suaminya ternyata diam-diam mendengar obrolan anaknya itu. Mereka tampak senang saat mendengar kalau Rizki akan segera melamar Anya.
"Kabar bagus, Yah. Akhirnya Anya dilamar juga, aku hampir kewalahan dibuatnya karena tiap ada yang datang melamar pasti ditolak, hanya karena nungguin anaknya haji Burhan datang melamar dia," keluh bu Aila pada suaminya.
"Lebih cepat lebih baik, biar anak itu segera keluar dari rumah ini. Pusing aku dengerin perdebatan dia dan Sasha tiap hari," ungkap pak Faisal mengakhiri obrolannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!