Jason menggeleng-gelengkan kepala sambil mengerucutkan mulutnya, menutup panggilan teleponnya kemudian menekan kembali nomor ponsel Orlene. Berulang kali dilakukan, namun sepertinya Jason gagal menghubungi istrinya, sampai akhirnya ia menyerah dan berkata, "Tidak dapat dihubungi, mungkin ponselnya mati. Sebenarnya ada apa sih, Andrew? Kenapa foto tatto istriku ada padamu? Apakah istriku terkena kasus?".
Jason mulai sedikit khawatir. Senyum manis dan ramah yang biasa mewarnai raut wajahnya, seakan sirna, berubah menjadi tegang.
Andrew segera menatapku seakan bertanya apakah sudah diperbolehkan mengatakan berita buruk kematian Orlene pada Jason.
Aku menganggukkan kepala perlahan. Menurutku sudah waktunya untuk mengungkapkan kenyataan pahit ini, toh beberapa saat lagi polisi juga pasti akan datang kemari untuk mencari informasi tentang tatto di tubuh mayat yang ditemukan semalam dan akhirnya cepat atau lambat Jason akan mengetahui jika istrinya telah tewas.
"Jason, kuharap kamu tabah dan dapat menerima berita buruk yang akan kusampaikan ini. Semalam, polisi menemukan mayat seorang wanita muda dengan tatto seperti yang dimiliki istrimu dan di jarinya melingkar sebuah cincin berlian hijau," ucap Andrew sedih.
Jason terhuyung-huyung tak seimbang karena kaget mendengar ucapan Andrew. Wajah tampan Jason langsung memucat syok, seperti tidak dapat menerima kabar mengerikan ini.
"Jason, hati-hati. Duduklah dulu," ucap Andrew dengan sigap menarik lengan tangan Jason dan memapahnya berjalan ke sofa, mendudukkan Jason dengan hati-hati di sofa.
"Andrew, leluconmu benar-benar tidak lucu, nyawa itu sangat berharga, jangan dipakai sebagai bahan untuk bercanda apalagi dipakai untuk mengerjai orang lain. Maaf, kali ini leluconmu gagal total, aku tidak percaya Orlene sudah meninggal. Pasti kamu dan Pak Lucius salah," ucap Jason tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Andrew.
"Jason, aku mengatakan yang sebenarnya, ini bukan candaan, ini serius," balas Andrew.
"Mayat itu memang memiliki tatto yang mirip dengan tatto Orlene. Tapi Orlene tidak pernah memakai perhiasan di jarinya, bahkan cicin pernikahan kamipun tidak dipakainya, masih tersimpan rapi di dalam lemari besi kami. Karena menurut Orlene, sangat tidak nyaman memakai cincin di jari saat beraktivitas apalagi jika sedang di dapur. Orlene hampir kehilangan cicin pernikahannya karena lupa meletakkannya saat hendak memasak. Jadi sejak itu Orlene tidak mau memakai cincin lagi. Oh ya, berlian hijau, mana mungkin Orlene memiliki berlian hijau, harganya sangat mahal dan Orlene tidak menyukai warna hijau. Jadi aku yakin Orlene masih hidup," ucap Jason tegas.
"Baiklah, saat ini kamu boleh berasumsi bahwa mayat wanita muda itu bukan Orlene, tapi jika aku menjadi kau, Jason, aku akan segera pergi ke badan forensik untuk melihat dan mengkonfirmasi apakah mayat tersebut adalah Orlene atau bukan," ucapku yang tidak sabar ingin mengajak Jason segera beranjak pergi ke ruang autopsi jenazah.
"Okay, kalau begitu kita pergi sekarang juga, Pak. Semoga saja dugaan kalian berdua salah," ucap Jason segera berdiri.
"Bawalah sehelai sample rambut Orlene yang mungkin tertinggal di bantal atau di sisir yang sering dipakainya," ucapku karena sample rambut dan kuku biasanya dipakai untuk pengetesan DNA pada mayat yang tidak dikenali karena wajahnya hancur dan tidak memiliki identitas, sehingga Dokter Jenny dapat segera memulai pengidentifikasian jenazah.
"Baik, aku segera kembali," ucap Jason segera berjalan ke pintu belakang tatto studio yang menghubungkan tatto studio dengan kediaman Jason dan Orlene.
Beberapa saat kemudian, Jason datang membawa sisir milik Orlene dengan beberapa helai rambut yang masih menancap di sisir, yang sudah dimasukkan ke dalam plastik klip bening.
"Good boy. Ayo, kita berangkat sekarang!" ucapku.
Jason segera berjalan ke arah pintu keluar lalu berteriak kepada salah satu karyawan yang ada di dalam studio, "Aku pergi dulu, Rick. Kamu jaga studio tatto ini baik-baik."
"Beres, Bos!" ucap Rick, karyawan tatto studio.
*
*
*
Di dalam ruang autopsi jenazah.
Dokter Jenny membuka kotak lemari pendingin jenazah, kemudian menarik keluar jenazah yang ditutup kain putih.
"Persiapkan dirimu, Jason. Mayat yang ada di hadapanmu ini terbakar hampir 70%. Cobalah untuk melihatnya," ucap Dokter Jenny sambil menarik kain putih.
"Oh My God," pekik Jason terkejut, terhuyung-huyung mundur ke belakang. Wajahnya langsung pias melihat wajah mayat wanita muda itu.
"Mengenaskan sekali," desis Jason pelan sambil menutup matanya dengan kedua tangannya.
"Tunjukkan tattonya, Dok!" pinta Andrew cepat.
Dokter Jenny menarik kain putih lebih ke bawah. Lalu menunjuk bagian pinggang jenazah.
Jason menurunkan kedua tangannya dan melirik sekilas bagian pinggang jenazah.
Andrew menarik perlahan tangan Jason sehingga Jason terdorong maju dan dapat mengamati tatto itu dengan lebih jelas.
"Apakah itu tatto buatanmu khusus untuk Orlene?" tanya Andrew beberapa saat kemudian.
Jason mengangguk dan bertanya, "tapi itu bukan Orlene kan?".
Andrew diam tidak menjawab pertanyaan Jason, namun memeluknya erat dan memberikan tepukan hangat di punggung Jason untuk menenangkannya. Air mata Jason jatuh tak tertahankan lagi. Jason menangis sesenggukan takrela pasangan hidupnya terbunuh secara tragis.
"Dokter Jenny akan memeriksa sample rambut yang ada di sisir Orlene untuk lebih memastikannya lagi," ucapku sambil menepuk punggung hangat Jason dan menyerahkan klip plaatik bening kepada Dokter Jenny.
"Apakah kamu tahu golongan darah istrimu?" tanya Dokter Jenny.
"AB negatif," jawab Jason serak.
"Golongan darah yang langka," ucap Dokter Jenny.
"Berbeda rhesus denganku, sehingga Orlene pernah keguguran dua kali," ucap Jason di sela-sela tangisnya.
"Oh, so pity," ucap Dokter Jenny.
"Baiklah, kami akan segera pergi. Sepertinya Jason harus segera pulang. Terima kasih, Dok," ucapku setelah melihat kondisi Jason yang tak mungkin dapat diajak bekerja sama lagi untuk mengidentifikasi jenasah, karena akan membuat Jason makin hancur dan terpuruk.
"Kita pergi sekarang, Jason. Kami pamit, Dok!" ucap Andrew segera menarik Jason keluar dari ruang autopsi.
*
*
*
Keesokan harinya,
"Selamat pagi, Pak," salam Andrew di telepon.
"Ya, ada apa, Andrew?" tanyaku yang sedang duduk di meja makan bersama Monica.
"Apakah kamu mau tambah buburnya, Lucius?" tanya Monica pelan tak ingin mengganggu pembicaraanku di telepon.
Aku menggelengkan kepala, perutku sudah super kenyang. Monica sudah menambahkan bubur ayam tiga kali di mangkukku.
"Baiklah. Aku akan pergi ke dapur, Lucius. Maaf mengganggu," bisik Monica.
Aku mengangguk dan tersenyum manis pada Monica.
"Cepat katakan, ada apa kau meneleponku pagi-pagi, Andrew?" tanyaku dengan nada berat agar tampak marah.
"Baru saja Dokter Jenny menelepon saya, beliau tidak ingin mengganggu santap pagi bapak bersama istri tercinta bapak. Tapi tega mengganggu waktu minum kopi saya," ucap Andrew di telepon.
Telingaku menangkap ada nada sinis terpancar dari ucapan Andrew.
"Baiklah, aku akan membawakan bubur ayam buatan Monica untukmu. Kasihan sekali kau, hanya sarapan kopi saja," sindirku balik.
"Terima kasih banyak, Bu Monica. Saya sangat menyukai masakan anda," ucap Andrew.
"Akan kusampaikan agar Monica menggandakan porsi bekal makan siangku. Apa kata Dokter Jenny?" tanyaku pada Andrew.
"Bapak memang mengerti nasib bujangan. Bapak memang super baik," puji Andrew sambil tertawa senang.
"Kembali ke topik, Pak. Dari pengetesan sample rambut dan golongan darah, hasilnya 99% mayat wanita muda itu adalah istri Jason, Pak," ucap Andrew lagi.
"Rest in peace, Orlene. Kalau begitu segera kabari Jason tentang hal ini. Agar Orlene dapat segera dikebumikan setelah autopsi selesai," ucapku.
"Pak, Dokter Jenny juga berkata bahwa Orlene mengidap kanker ganas di rahimnya. Seandainya Orlene tidak tewas terbunuh malam itu, Orlene juga tidak akan berumur panjang. Diperkirakan hidupnya hanya tinggal 6-12 bulan lagi. Jason pasti akan sangat terpukul jika mendengar kabar ini," kata Andrew sedih.
"Wanita muda itu benar-benar kurang beruntung, nasibnya sungguh sial, tapi kita harus jujur pada Jason. Semoga dia dapat menerima kenyataan pahit ini. Baiklah, kita bicarakan lagi setelah bertemu di kantor," ucapku.
"Iya, Pak. Saya akan menelepon Jason setelah ini," ucap Andrew.
Aku segera menutup panggilan telepon.
"Syukurlah, thanks God, mayat itu bukan Edith. Berarti Edith masih hidup. Puji Tuhan. Ehm... Lalu bagaimana dengan cincin berlian hijau yang dipakai Orlene? Bagaimana cincin kesayangan yang selalu dipakai Edith dapat berpindah ke jari Orlene? Apakah Orlene mengambilnya dari Edith?" tanyaku pada diriku sendiri.
"Ada apa, Lucius?" tanya Monica padaku.
"Tidak ada apa-apa, sayang. Tolong bungkuskan bubur ayam dan satu lagi bekal makan siang untuk Andrew. Sepertinya dia membutuhkan banyak asupan gizi karena kasus cincin berlian hijau ini," jawabku sambil tersenyum pada Monica.
"Andrew adalah asisten yang baik. Tak heran kamu sangat menyayangi dan memperhatikan Andrew, walaupun terkadang kamu terlalu keras padanya," ucap Monica.
Aku tersenyum hangat pada Monica yang memahamiku lebih daripada orang lain.
* * * *
Hallo readers, jangan lupa klik like dan favorite ya.
Supaya author jadi makin semangat updatenya.
Happy reading.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
ARSY ALFAZZA
like again
2020-11-13
1
Sept September
like
2020-09-27
0