Dua hari kemudian,
"Apakah kamu membawa dasi berwarna gelap?" tanyaku pada Andrew.
Andrew membuka laci meja kerjanya dan mengambil sebuah dasi hitam yang digulung rapi, lalu menyodorkannya padaku.
"Ganti dasi merahmu itu dengan dasi hitam itu!" tukasku.
"Untuk apa, Pak?" tanya Andrew sambil melirik arloji yang melingkar di tangannya dan bergumam pelan, "Waktu sudah menunjukkan pukul enam malam. Saya akan segera pulang setelah laporan ini selesai diketik, untuk apa berganti dasi? Membuat cucian makin menumpuk saja."
Dasar asisten suka banyak tanya. Tiap diperintah, selalu saja ingin tahu alasan di baliknya, batinku kesal.
"Aku akan mentraktirmu makan jika kau menuruti perintahku," jawabku ingin mengerjai Andrew.
"Ah, benarkah? Makan malam di rumah bapak? Hari ini Bu Monica masak apa, Pak?" tanya Andrew bersemangat hingga air liurnya menetes ke bawah, membasahi selembar kertas dokumen yang ada di mejanya.
"Dasar jorok. Cepat selesaikan pekerjaanmu. Aku menunggumu di mobilku," ucapku sambil berlalu dari hadapan Andrew.
"Asyik, makan enak... makan enak," ucap Andrew senang makin bersemangat menyelesaikan laporannya dengan cepat.
*
*
*
Di dalam mobilku,
"Sepertinya ini bukan jalan menuju ke rumah bapak deh!" ucap Andrew bingung karena aku membelokkan kemudi ke arah kanan, berlawanan arah dengan rumahku.
"Siapa bilang aku mentraktirmu makan malam di rumahku?" tanyaku balik.
"Oh, apakah bapak akan mentraktirku di restaurant? Kalau benar demikian, saya ingin makan masakan Padang, Pak. Paru goreng kering, rendang daging, ayam bumbu kuning, dengan daun singkong dan lombok hijau, sedap," ucap Andrew menelan air liurnya yang hampir menetes membayangkan masakan yang lezat.
"Wait and see," ucapku sambil tersenyum licik.
"Lho, itu Rumah Makan Padang yang saya sukai, Pak. Ayo, Pak. Kita makan di situ saja," ucap Andrew penuh harap aku putar balik dan masuk ke lahan parkir Rumah Makan Padang yang baru saja kulewati.
Aku memutar kemudi ke kiri dan memasuki gerbang utama Pagoda, sebuah tempat persemayaman jenazah sebelum dikebumikan atau dikremasi. Hanya kalangan menengah atas saja yang biasanya menyewa paviliun di Pagoda karena tarif hariannya sangat mahal.
"Untuk apa kita ke sini, Pak? Katanya mau mentraktir saya makan, kenapa pergi ke sini? Apakah ada kerabat atau rekan kerja bapak yang meninggal?" tanya Andrew kecewa.
"Ya, Orlene disemayamkan di sini, temani aku melayat. Setelah itu kamu dapat makan sepuasnya karena aku sudah menyumbang dua ratus porsi soto ayam setiap hari untuk hidangan bagi para tamu pelayat," ucapku sambil tertawa senang karena raut wajah Andrew yang merah, kecewa bercampur marah, seperti gunung berapi yang siap meletus kapan saja.
Aku segera memarkir mobilku di depan sebuah paviliun bertulis nomer tiga. Halaman depan paviliun dipenuhi karangan bunga bertulis ucapan 'turut berduka cita atas meninggalnya Orlene Charlotte'.
Aku bergerak cepat, turun dari mobil, diikuti Andrew. Raut wajahnya terlihat masih kesal, pasti dia sibuk memaki-makiku di dalam hatinya.
Aku mendekati Andrew, memperbaiki posisi dasi hitam yang dikenakan Andrew sambil berbisik di telinganya, "Nasi uduk lengkap dengan semur jengkol, pelayan akan membungkusnya untukmu besok. Malam ini kita berdua makan soto ayam saja, okay?".
"Bapak tidak bohong lagi, kan?" tanya Andrew waspada.
Aku menggelengkan kepala.
"Aku menelepon Monica sore ini karena tidak makan malam di rumah. Jadi makan malam hari ini, nasi uduk dan aneka lauknya pasti masih sisa banyak. Pelayan akan menyimpannya di kulkas dan menghangatkannya untuk bekal sarapan pagimu besok," jawabku.
"Terima kasih, bapak memang baik," ucap Andrew dengan mata berbinar-binar senang.
"Ayo masuk, aku ingin berbicang sedikit dengan Jason," ucapku sambil menarik tangan Andrew. Dia segera mengikuti langkahku.
Suasana di dalam paviliun nomer tiga sangat ramai penuh pelayat. Hampir semua pelayat yang datang mengenakan baju nuansa hitam. Setelah mengantri sesaat untuk menghaturkan doa agar Tuhan memberikan kedamaian pada Orlene, aku dan Andrew mendekati Jason dan ibu mertua Orlene, Nyonya Merry. Seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dan sehat.
"Jason, turut berduka cita. Jangan bersedih lagi, tabahkan hatimu," ucapku sambil menyalami tangan Jason, kemudian menyalami tangan Nyonya Merry.
Jason dan Nyonya Merry mengangguk hormat padaku tanpa banyak kata-kata.
"Dari hati yang paling dalam, saya turut berduka cita atas meninggalnya almarhum. Semoga Tuhan menempatkannya di tempat yang paling indah bersama orang-orang beriman, dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran dalam menerima cobaan ini," ucap Andrew pelan sambil memeluk Jason.
"Terima kasih, Bro. Aku sangat kehilangan dia," ucap Jason mulai menangis dalam pelukan Andrew.
"Sudahlah, jangan terlalu bersedih. Matamu sudah bengkak merah seperti ini, sangat mengerikan," ucap Andrew berusaha menenangkan Jason.
Perlahan isak tangis Jason mereda.
Setelah Jason melepaskan pelukannya, Andrew menyalami Nyonya Merry, kemudian mundur ke belakang menyejajari posisiku. Lalu kami berdua membungkukkan badan, memberi hormat pada mereka berdua, begitu pula sebaliknya.
Setelah itu aku dan Andrew berjalan mundur dan duduk-duduk di bangku yang sudah disediakan. Menikmati hidangan yang disiapkan di atas meja, seperti aneka roti, buah-buahan, permen, kuaci, nasi soto ayam dan minum hangat seperti kopi susu dan teh manis.
Lalu aku mendengar percakapan dua orang wanita cantik dari meja sebelah.
"Menurut rumor yang beredar, Orlene terbunuh secara mengenaskan. Dibakar dan dibuang di taman kota. Siapa orang yang tega membunuh Orlene? Orlene adalah wanita cantik yang baik dan ramah. Kurasa sepanjang hidupnya, Orlene tidak mempunyai musuh yang begitu pendendam sampai berniat membunuhnya," ucap seorang wanita berambut panjang yang duduk di samping Andrew.
"Bagaimana dengan ibu mertuanya? Menurutku Nyonya Merry adalah pembunuhnya," ucap wanita berambut pendek dengan suara pelan agar tidak ada orang yang mendengarnya.
Aku tersenyum menahan tawa.
Percuma saja kalian memperkecil volume suara saat bercakap-cakap, karena aku sudah mendengar pembicaraan menarik kalian dan sekarang aku mulai menajamkan pendengaranku ingin memperoleh informasi lebih dalam tentang Orlene.
"Benar, kemungkinan besar ibu mertuanya yang membunuh Orlene. Dia sangat membenci Orlene dan menentang habis-habisan saat Orlene dan Jason hendak menikah. Lihat, dia tak nampak sedih sedikitpun walau menantunya meninggal," jawab wanita berambut panjang dengan raut wajah penuh emosi dan kebencian.
"Orlene, hidupmu begitu menderita, mempunyai ibu mertua sangat jahat," ucap wanita rambut pendek.
"Oh iya, beberapa hari sebelum mayat Orlene ditemukan di taman kota, aku mendengar pertengkaran hebat antara Orlene dan Nyonya Merry, saat aku sedang membuat tatto daun mapple di Honey and Bee Tatto," ucap wanita berambut panjang sambil menunjukkan tatto daun mapple di kakinya.
"Bertengkar hebat? Apakah kamu tahu alasan kenapa mereka bertengkar?" tanya wanita berambut pendek setelah melirik sekilas kaki temannya lalu mengacungkan ibu jari tangannya sebagai tanda suka pada tatto daun mapple itu.
"Sepertinya Nyonya Merry sengaja mencari gara-gara karena Orlene tidak kunjung memiliki anak. Selalu saja keguguran. Nyonya Merry terus menekan dan menyalahkan Orlene karena tidak dapat menjaga kehamilannya dengan baik," ucap wanita berambut panjang tersenyum senang karena temannya menyukai tatto barunya.
"Memiliki ibu mertua seperti Nyonya Merry, pasti stress berat dan menyebabkan keguguran. Semua ini salah Nyonya Merry, bukan salah Orlene. By the way, apakah Jason tahu kalau istrinya tidak akur dengan ibunya?" tanya wanita berambut pendek.
Si wanita berambut panjang menggelengkan kepala dan berkata, "Jason tidak pernah tahu kalau mereka bertengkar. Orlene menyimpan semua luka di hatinya sendiri, ia tidak mau Jason tahu kemudian bertengkar dengan ibunya. Dan memilih di antara istri atau ibunya. Sementara itu, Nyonya Merry sangat licik, dia pandai menyembunyikan semuanya. Bahkan Nyonya Merry mengancam para pegawai untuk tidak mengadu kepada Jason jika dia bertengkar dengan Orlene. Jika mereka berani mengadu, mereka akan segera dipecat dengan tidak hormat," jawab wanita berambut panjang.
"Dasar wanita licik!" ucap wanita berambut pendek itu kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Ava Eka
sptnya gambaran cerita dan nama2 orang luar negeri,tp gagal paham ama makanannya
2021-03-06
0
HIATUS
bagus thoor😍😍 kalo sempet mampir juga thor ke karya aku, sma2 suport rating &like❤
2020-12-14
0
ARSY ALFAZZA
mantap..
2020-11-13
0