Masih tentang Alanta. Sahabat baruku. Aku belum tahu dia kelas berapa. Menurutku pastilah seangkatan denganku. Sama-sama kelas 3. Tapi aku tidak mendapat tugas essay seperti dia. Apakah mungkin beda kelas atau beda tingkat.
Hari ini aku berjanji bertemu dengannya di area kolam renang. Dia berjanji akan memberiku sesuatu sebagai hadiah atas cerita tentang Totok Kerot kemarin. Aku penasaran hadiah apa yang akan ia berikan.
Area kolam renang.
Ada beberapa anak yang masih berenang di sana. Pelatih turut hadir di sana. Katanya mereka akan diikutkan lomba renang se Kota Batu. Karena itulah mereka berlatih di jam istirahat begini. Sepertinya mereka tidak masuk jam pelajaran karena ini.
Aku duduk di kursi panjang di sekitar kolam renang. Tak lama Alanta datang. Dia tidak langsung menghampiriku. Dia menuju pelatih dan memberikan bungkusan yang entah apa. Pelatih tampak senang dengan bungkusan itu. Baru setelah dari pelatih, dia menghampiriku.
"Mana hadiahnya?" Tanyaku menagih.
"Iya bentar" Jawabnya.
Alanta lalu mengambil sesuatu dari kantong plastik. Dia menunjukkan kotak makan padaku dan membukanya. Roti tawar menurutku, tapi ada sayurnya. Aku masih terpekur melihatnya tanpa ekspresi.
"Kamu gak suka?" Tanya Alanta sedikit kecewa karena aku tidak menunjukkan ekspresi surprise atau apapun.
"Eh..iya, ini apaan sih?" Tanyaku.
"Ini sandwich buatan Mamaku, yuk cobain" Ajak Alanta.
Kami menikmati sandwich itu bersama. Aku belum pernah merasakan makanan itu sebelumnya. Di rumah Pak Hartono, Keluarga angkatku, juga tak ada seperti ini.
"Ngomong-ngomong kamu pindahan dari mana?" Tanya Alanta sambil mengunyah sandwich.
"Aku...dari Kediri" Jawabku.
"Kenapa pindah kemari?"
"Aku diadop...." Kuhentikan ucapanku. Hampir saja aku keceplosan.
"Papaku pindah ke sini" Jawabku asal-asalan.
Untungnya Alanta percaya begitu saja.
"Kamu kelas berapa sih?" Tanyaku mumpung aku ingat.
"Kelas empat. Kamu?"
Oh ternyata dia kelas empat. Setingkat di atasku. Pantesan tugasnya beda.
"Aku kelas tiga" Jawabku.
"Cerita lagi dong, tentang Ramalan Jayabaya"
"Enggak ah, ganti kamu dong yang cerita" kilahku.
"Cerita apa?"
"Tentang....Jakarta"
Jakarta, dimana Rania tinggal kini. Aku ingin tahu dimana letaknya. Bagaimana aku bisa ke sana.
"Yuk" Alanta menggandeng tanganku. Entah hari ini ia mau mengajakku kemana.
Ternyata ke ruang kelas empat. Aku tahu dari papan nama di atas pintu. Alanta masuk ke kelas sedang aku menunggu di luar. Tak lama ia kembali.
"Ini" Dia menyodorkan selembar foto pada ku.
Itu adalah fotonya bersama dua orang dewasa. Menurutku itu adalah orang tuanya.
"Apa ini?" Tanyaku.
"Itu Jakarta"
"Ha?"
"Iya, itu Jakarta. Lihatlah di belakangku itu, itu namanya Monas. Jakarta terkenal dengan Monasnya. Kalau naik ke atas Monas kita bisa lihat seluruh kota Jakarta" Kata Alanta.
Aku pernah melihat gambar menara itu. Tapi aku lupa-lupa ingat dimana aku melihatnya. Ah, aku baru ingat, gambar menara itu ada di rumahku. Jadi Papa dan Mamaku pun pernah ke Jakarta? Ah Ya Tuhan terima kasih.semakin mudahlah langkahku untuk mencari saudaraku Rania.
Belum puas kulihat gambar itu, Alanta menarik tanganku. Kaki menuju perpustakaan padahal jam istirahat sudah hampir habis. Di sudut perpustakaan ada meja kecil, disana ada sesuatu yang ingin ia tunjukkan. Globe.
Globe itu agak berdebu karena jarang tersentuh. Alanta mengusapnya dengan salah satu lengannya sampai membekas di kulitnya.
"Ini Malang.....dan ini Jakarta" Kata Alanta menjalankan jari telunjuknya ke globe.
"Tidak jauh ya!" Kataku.
"Memang tidak jauh tapi butuh waktu sehari semalam penuh untuk ke sana"
"Bagaimana caranya bisa ke sana?"
"Naik kereta api bisa, bus bisa, mobil juga bisa"
"Mana yang paling mudah?"
"Kereta api enak, tapi mobil lebih asik sih. Naik pesawat juga bisa" Kata Alanta.
Mobil. Ya, Papa punya mobil. Aku bisa minta Papa mengantarkanku ke Jakarta. Tapi apakah dia mau? Papa adalah orang sibuk. Kapan dia punya waktu untukku. Berangkat pagi pulang kadang sore kadang malam. Di rumah juga masih bekerja di depan komputer. Apa dia mau? Apa dia punya waktu?
***
Jam sepuluh malam.
Aku tak bisa tidur. Kota Jakarta, seperti apa rupanya. Rasanya aku sudah tak sabar lagi. Aku tak ingin mengulur waktu lagi. Aku harus segera berangkat ke Jakarta. Rania mungkin saja dalam bahaya. Ia mungkin saja di siksa oleh keluarganya seperti dalam mimpiku.
Aku terbangun. Aku hendak ke dapur ambil minum. Rumahku sudah sepi. Mbak Yanti sudah tidur, Mama juga pasti sudah tidur. Jadilah aku sendiri di dapur mengambil minum. Kembali dari dapur, aku lihat ada salah satu ruangan yang masih menyala. Itu adalah ruang kerja Papa. Papa bisa betah berjam-jam bekerja di dalam sana. Malam ini ruangan itu masih menyala. Apa mungkin Papa masih di dalam?
Kuberanikan diri mendekat. Benar saja bayangan Papa mondar mandir di dalam. Ini adalah kesempatan yang bagus. Aku bisa mengutarakan keinginanku saat ini juga. Kutempelkan telingaku di daun pintu berharap mendapatkan momen yang pas untuk masuk.
"Ah masak gak bisa sih? Ya kalo dia gak bisa cari yang lain lah!!" Suara Papa di dalam.
Suaranya terdengar sedang marah. Marah sama siapa dia? Aneh sekali. Selama tinggal di sini, baru kali ini aku mendengar suara Papa sedemikian kerasnya.
Brakk....Papa menggedor meja. Aku kaget bukan main. Papa yang kukenal baik ramah dan penyayang sekarang sedang menjadi sosok yang menyeramkan di daam sana. Aku takut, sungguh. Aku balik badan dan memutuskan mengurungkan niatku, paling tidak kuundur esok hari.
Kreek.... Pintu terbuka. Duh, gawat. Apa mungkin Papa tahu ada yang sedang menguping? Apa dia akan marah seperti marahnya ketika di dalam tadi? Oh ya Tuhan. Aku dalam masalah.
"Rosa?" Panggil Papa.
Aku menoleh.
"I....iya..Pa" Jawabku.
"Belum tidur?" Tanya Papa.
Suara Papa lembut tak seperti suara yang kudengar di dalam tadi.
"Belum bisa tidur Pa" Jawabku ragu.
Aku takut ia marah.
"Oh, sini sama Papa" Kata Papa.
Papa mengajakku ke sofa depan televisi. Di sini adalah tempat berkumpulnya keluarga. Saat sedang ada watu senggang, Mama dan Papa sering ngobrol di sini sambil nonton acara televisi yang disukai.
"Gimana sekolahmu Rose? Kerasan?" Tanya Papa sambil menyalakan televisi.
"Oh...iya Pa, sekolahnya bagus"
"Oh iya dong, itu sekolah mahal di Batu, makanya kamu sekolah yang rajin, biar gan sia-sia Papa biayain kamu" Kata Papa.
Papa yang di depanku benar-benar berbeda dengan yang kudengar tadi. Aku masih belum bisa menerima perubahan ini.
"Gimana...gimana...kenapa belum bisa tidur? Ada yang dipikirin?"
Aku bingung mau jawab bagaimana. Aku tahu sebenarnya apa yang ingin kukatakan tapi aku bingung memulainya.
"Papa...tahu Monas?" Tanyaku
"Ya tahulah...Monas di Jakarta kan?"
"Papa pernah kesana?"
"Pernah beberapa kali. Mamamu yang pengen ke sana. Kenapa? Kamu juga pengen kesana?"
Aku mengangguk kuat.
"Gampang, nanti pas liburan sekolah, kita bisa liburan di Jakarta" Kata Papa.
Aku melongo. Benarkah yabg kudengar ini? Dengan mudahnya Papa menyetujui permintaanku ke Jakarta? Atau aku sebenarnya sedang bermimpi.
"Beneran Pa?"
"Ya bener dong, sekalian Papa study banding fasilitas tempat wisata di Jakarta sama di Batu, yang Papa kelola" Kata Papa.
"Studi? Studi itu kan sekolah Pa?" Kataku yang masih polos.
"Ya semacam itulah, Papa akan belajar dari Jakarta bagaimana mengelola tempat wisata yang benar"
Tak perlu dijelaskan panjang lebar lagu. Dari sini aku tahu pekerjaan Papa adalah di bidang pariwisata. Papa bekerja di salah satu tempat wisata di kota Batu ini. Ada banyak tempat wisata di sini yang terkenal hingga senusantara. Dan Papaku mengelola salah satunya.
Tapi aku masih belum percaya rasanya, Papa dengan mudah mengabulkan keinginanku. Tinggal sedikit lagi. Aku harus menunggu saat liburan tiba. Karena saat itulah aku akan berangkat ke Jakarta. Aku akan menemukanmu Rania, bersabarlah. Tak lama lagi. Aku janji.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 193 Episodes
Comments
Wanda Harahap
Sepertinya orangtua angkat Rosa benar2 baik
2022-06-23
3
vlaha
menunggu
2020-08-28
1