"Rosa....Rosaaa..."
Sayup-sayup kudengar suara orang memanggilku. Suara itu tak asing. Aku ingat betul suara itu. Ya, itu suara Rania. Aku hafal betul suara itu.
"Rania....itu kamu? Kamu di mana?"
"Rose..... Rose...." Suara itu menjauh.
Aku berlari kesana-kemari mencari asal suara sambil terus memanggil Rania.
Di sana-sini gelap. Hanya ada sedikit garis cahaya yang menerobos melalui celah-celah genting. Aku tidak tahu dimana sebenarnya ini. Seperti gudang namun sangat luas.
"Rania....!!!!" Panggilku lagi.
Aku menemukan sebuah pintu. Segera ku dekati dna ternyata terkunci. Aku menggedornya berkali-kali namun tak ada yang menolongku. Entah darimana kekuatan itu datang, tiba-tiba saja aku bisa membukanya dengan sekali tendang.
Aku berlari mencari asal suara.
"Rose....!!!!" Suara itu semakin jelas.
Aki terus berlari hingga aku berada di sebuah taman. Dan kulihat Rania di dalam mobil yang sedang melaju kencang.
"Raniaaaa!!!" Aku berteriak sangat kencang.
Rania melambaikan tangan seperti orag yang sedang minta tolong. Dan...
"Rose....Rose...bangun" Suara Bunda Santi.
Aku membuka mataku, dimana Rania, dimana mobil itu. Ah rupanya aku bermimpi.
"Rose, sudah berapa kali Bunda bilang jangan tidur setelah subuh, tidak baik" Kata Bunda sambil membuka jendela kamarku.
Aku bergegas menuju kamar mandi sebelum terlambat. Aku terpikir akan mimpiku. Katanya mimpi di pagi hari hanyalah godaan. Sedang mimpi yang memiliki arti adalah mimpi yang terjadi di sepertiga malam yang akhir. Tapi mimpi itu sangat nyata. Aku benar-benar melihat Rania minta tolong.
Semua anak sudah masuk ke dalam bis yang akan mengantarkan kami ke sekolah. Aku berlari kencang karena menjadi yang paling akhir. Aku tidak mau tertinggal bus. Bunda pengasuh pernah cerita katanya dulu ada anak yang ketinggalan bus karena bangunnya telat. Akhirnya ia harus berjalan kaki ke sekolah dan diculik orang tak dikenal. Hiii....
Aku tahu yang seperti itu hanyalah omong kosong. Hanyalah untuk menakuti kami agar disiplin. Tapi entah kenapa aku takut terlambat padahal aku tahu cerita itu hanyalah bualan semata.
Sepanjang perjalanan aku masih terpikir akan mimpi itu. Rania, mungkinkah ia terpaksa ikut dengan keluarga itu. Yang aku tahu mereka masih tinggal di kota ini. Apakah benar Rania terpaksa. Jika benar maka aku akan menolongnya. Setahuku Rania bukan tipe anak yang suka melawan, tidak seperti aku. Jadi ketika diputuskan ia akan diadopsi, dia ikut saja padahal sudah punya janji denganku.
Sampai di gerbang sekolah. Kami semua turun. Ada 50 anak di bus ini. Semuanya anak SD. Anak SMP dan SMA diantar oleh bus lain. Anak-anak siswa SD Tunas Ceria berbondong-bondong memasuki gerbang sekolah. Aku masih berhenti di pintu gerbang. Aku terpikir sesuatu.
"Pak saya beli penggaris dulu" Kataku pada Satpam yang melihatku berbalik arah.
Pak satpam mengangguk. Aku segera berlari ke arah utara. Namun bukan untuk membeli penggaris seperti yang kubilang. Aku pergi untuk mencari saudaraku Rania. Mula-mula aku ke halte bus untuk mendapatkan angkutan umum.
Tak butuh waktu lama untuk dapat bus. Aku naik ke bus. Aku punya uang meskipun pas-pasan. Aku turun di alun-alun kota. Menurut Bu Santi, keluarga yang mengadopsi Rania tinggal di sekitar alun-alun kota. Aku mulai menyusuri gang demi gang berharap menemukan rumah mewah bertingkat.
"Dek mau kemana dek?" Tanya seoarang laki-laki berperut tambun.
"Saya cari saudara saya Pak, sebentar" Aku mengambil foto Rania dari dalam tasku.
"Ini Pak, Bapak tahu?" Tanyaku penuh harap.
"Oh yang ini oh iya iya ..Bapak mah akrab sama dia" Jawab Bapak itu.
"Oh benarkah Pak?"
"O iya dong, ayuk Bapak antar"
Oh betapa senangnya aku. Aku akan bertemu saudaraku lagi. Ternyata rumahnya bisa kujangkau dengan mudah. Kalau begini aku akan mengunjunginya tiap pulang sekolah.
Bapak itu memboncengku naik motor. Motor melaju ke arah timur. Setelah sepuluh menit, aku merasa kami semakin jauh dari alun-alun kota. Apa memang rumah Rania pindah? Atau Bunda Santi yang sebenarnya membohongiku.
"Pak masih jauh?" Tanyaku
"Bentar lagi dek, bentar lagi nyampek" Jawabnya.
Lalu motor berhenti di pinggir jalan. Tidak ada rumah di sekitar sini. Ini jalanan kosong. Kami turun dari motor. Lalu Bapak itu menelepon seseorang. Aku kok jadi curiga. Sebenarnya Bapak ini tahu rumahnya Rania atau tidak. Atau jangan-jangan...Ya Tuhan aku teringat sesuatu.
Aku berlari menjauhi Bapak itu. Aku tahu dia bukan orang baik. Sialnya aku baru sadar setelah berhenti di jalanan kosong seperti ini. Bapak itu mengejarku setelah tahu aku mencoba kabur. Alu berlari sekencang-kencangnya. Untung saja aku pernah juara lari estafet semasa TK dulu. Akulah yang tercepat larinya diantara kawan-kawanku.
Aku terus berlari. Sial, Bapak itu berlari lebih cepat dariku. Sehingga ia bisa menangkapku. Kedua tangannya mencengkram bahuku lalu membungkam mulutku yang mencoba berteriak.
Bapak itu menyeret tubuhku untuk kembali ke motor. Dia terlalu kuat untuk kulawan dengan tenaga seorang anak SD. Kebetulan lengannya tepat di mukaku, kugigit sekuat-kuatnya. Sampai membekas di kulitnya.
"Aaakkkhhhhh....kurang ajar.....kurang ajar" Keluh Bapak itu.
Segera aku berlari kencang dan lebih kencang lagi. Dan Bapak itu sesaat tak mengejarku karena kesakitan. Aku tak menyia-nyiakan waktu, aku terus berlari. Di depan sana ada toko kecil aki berlari menuju toko itu. Sial, toko itu tutup. Aku berlari lebih kencang lagi setelah kulihat Bapak itu mengejarku lagi.
Aku berlari sampai jari kelingkingku terasa perih. Mungkin lecet. Di depan sana ada warung nasi. Aku berlari menuju warung. Alhamdulillah, Tuhan mendengar doaku. Warung itu buka. Aku segera masuk ke dalam warung. Tentu saja penjualnya kaget dengan kedatanganku yang terengah-engah.
"Tolong Bu, saya....saya....mau diculik Bu" Kataku sambil ngos-ngosan.
Ibu penjual dan orang-orang yang sedang makan terperanjat. Sebagian ada yang keluar mencari orang yang mengejarku, namun tak ditemukan. Ibu penjual warung memberiku air minum. Aku duduk di kursi dari bambu.
"Kok bisa sih dek, kamu gak sekolah?" Tanya Ibu penjual.
"Saya sedang mencari saudara saya Bu, ada Bapak-bapak menawarkan bantuan, saya ikut saja, ternyata saya malah mau diculik" Kataku.
Aku benar-benar takut. Aku mengira cerita dari Bunda Santi hanyalah bualan. Kini aku mengalaminya sendiri.
"Rumah kamu mana?" Tanya salah seornag pembeli.
Aku menyodorkan kartu anggota panti pada mereka. Mereka mengamati kartuku.
"Ini ya lumayan jauh dek" Kata salah seorang.
"Tolong saya Bu, Pak" Pintaku.
Mereka kemudian membawaku ke polsek setempat. Setelah ditanya cukup lama, mereka membawaku pulang ke panti, pada jam sekolah.
Sampai di panti. Sudah kuduga, Bunda Kepala panti memarahiku habis-habisan setelah polisi yang memulangkanku pulang.
"Kamu cari siapa? Ha?? Rania?? Rania sudah bahagia dengan keluarga barunya. Jadi jangan cari dia lagi. Jangan bertindak bodoh dengan ....."
Aku tidak mendengarkan. Bunda kepala Panti berhak memarahiku karena aku memang melanggar peraturan. Tapi aku tak merasa bersalah. Salah sendiri membiarkan Rania dibawa orang lain. Bukankah mereka tahu kami tidak ingin dipisahkan.
Aku tidak mau mendengarkan Bunda Kepala, aku menunduk tali bukan menyesali perbuatanku. Aku menunduk karena sibuk memikirkan cara lain setelah hari ini gagal menemukan Rania. Sungguh aku tidak merasa bersalah.
"Bu Kepala" Suara Bunda Santi.
Aku serasa kedatangan malaikat penolong. Aku tahu Bunda Santi akan menyelamatkanku dari sidang Bunda Kepala ini.
"Ya Bunda Santi, bawa Rosa kembali ke kamar dan pastikan dia mengerti kesalahannya" Perintah Bunda Kepala.
Sampai di kamar.
Bunda Santi melihat jalanku yang sedikit pincang. Ia mendudukkan ku di tepi ranjang dan melepas sepatuku. Aku bisa melihat jari kelingkingku lecet sampai terlihat kulit dalam berwarna pink.
"Sakit?" Tanya Bunda Santi.
"Perih" Jawabku.
Bunda mengambil kotak obat di kamarnya, lalu kembali tak butuh waktu lama. Ia mengoleskan salep yang aku tak tahu namanya. Lalu mengangkat kedua kakiku le atas ranjang. Jadilah kedua kakiku terjelujur di atas ranjang.
"Kamu tidak percaya dengan yang kuceritakan?" Tanya Bunda Santi.
Aku menunduk. Aku merasa malu karena apa yang tak kupercaya terbukti benar adanya.
"Kenapa kamu masih ingin cari Rania?" Tanya Bunda lagi.
"Aku kangen Bunda, aku ingin bertemu dengan Rania" Kataku.
Air mataku menetes setetes demi setetes tanpa bisa kubendung lagi.
"Tahanlah dulu. Bukan begitu caranya mencari Rania" Kata Bunda Santi.
Aku mengangkat kepalaku. Aku tertarik dengan ucapannya.
"Pertama kamu harus diadopsi oleh sebuah keluarga"
"Tidak ah Bunda" Sahutku sebelum Bunda selesai berbicara.
"Dengarkan dulu...pertama harus ada sebuah keluarga yang mengadopsimu. Setelah itu kamu bisa meminta bantuan keluargamu untuk mencari Rania"
"Kenapa tidak Bunda saja yang membantuku?"
"Tidak bisa Rosa, itu melanggar kode etik pengurus panti"
Aku terdiam.
"Aku dengar keluarga yang mengadopsi Rania pindah ke Jakarta. Nanti jika ada keluarga mengadopsimu, kamu akan punya peluang yang besar untuk ke Jakarta, entah liburan, entah sekolah, ya kan"
Benar juga Bunda Santi. Itu adalah cara terjitu untuk bisa bertemu Rania. Berada di Panti sama persis dengan di pesantren. Terkurung, diatur, ditata dan yang pasti tak bisa keluar masuk sesuka hati. Tapi jika aku diadopsi oleh sebuah keluarga aku bisa lebih bebas dari sekarang. Tentunya dalam mencari Rania juga lebih bebas.
Rania, tunggulah dengan sabar, kita pasti akan bertemu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 193 Episodes
Comments
Wanda Harahap
baca ulang karena kelamaan Mangkrak😍😍😍
2022-06-23
3
Wanda Harahap
Menarik😘😘😘😘
2021-07-28
2
vlaha
kutunggu juga lanjutnya
2020-08-25
3