..."Perpaduan antara amarah, sedih, lelah dan sakit,...
...Bagai di tengah kabut,...
...Pikiran dan pandangan semrawut."...
Malam hari,
Ansa telah memejamkan matanya, mencoba untuk tidur. Namun suara ibunya yang marah kepada ayahnya, membuatnya tak bisa terlelap.
Ia memilih untuk memainkan handphone-nya, dan membuka media sosial miliknya. Dari matanya, terlihat postingan foto yang mengumumkan bahwa pendaftaran Lomba Sains Mandraguna telah dibuka beberapa hari yang lalu. Ia tak menghiraukannya, lalu kembali menggerakkan layar untuk melihat postingan selanjutnya.
Ansa melihat postingan foto dari sanggarnya. Sejenak ia membacanya, lalu bergumam, benar kata papa ... sebentar lagi ada pentas. Aku harus mendapatkan kesempatan ini! Kalau ini, mama pasti senang. Nanti mama akan melihat ku yang tampil tak kalah cantik dari dirinya!
Di sisi lain,
Jaro mengurung dirinya di kamar. Di dalam, ia mendengar suara tawa dari kakak dan ibunya yang sedang menonton televisi.
Ayahnya? Belum pulang, membuat Jaro geram dan kesal. Mengapa tak ada yang percaya padaku? Oh ya! Ibu belum aku beritahu ya? Tiba-tiba otaknya menemukan sebuah ide, yaitu memberitahu masalah ini kepada ibunya.
Ih! Tapi kalau ibu meminta bukti? Sebelum memberitahu, aku harus mendapatkan bukti! Ya! Sebuah bukti.
Jaro berjanji pada dirinya bahwa ia akan mencari bukti bahwa figur yang selama ini ia idolakan, justru memiliki rahasia yang memalukan.
Keesokan harinya,
Jaro dan kakaknya diantar oleh sopir menuju sekolah. Jaro mendekatkan mulutnya ke telinga kakaknya, lalu ia membisikkan sesuatu. Wajah Deniz menunjukkan ekspresi kesal, tapi ia segera menjawab, "Iya terserah!"
Di rumah keluarga Hardiyata,
Suasana hati orang tua Ansa membuat suasana di rumah ini menjadi suram. Ansa juga tak ingin memulai percakapan, dan memilih sibuk melahap sarapannya.
"Sa ...," panggil ibu kepadanya.
Ansa menoleh ke arah beliau. "Hm?" mulutnya masih sibuk menguyah makanan.
"Nanti Mama ngga bisa mengantarmu ke sanggar. Kamu duluan ke sana ya? Mama nanti menyusul," pinta ibunya, dan hanya dibalas anggukan kepala milik Ansa.
Di sekolah,
Ansa segera melangkah menuju kelasnya. Namun ia dicegat oleh si ratu sekolah, Sharly. "Pagi angsa ... ternyata kamu licik ya ...."
Ucapannya membuat Ansa menjadi bingung. "Ada apa? Bu IPA sudah memilihmu?" tanya Ansa yang mengalihkan pembicaraan.
"Belum, angsa. Bu IPA masih menggantung ku, memangnya hatiku kayak jemuran apa ya? Kok dia berani menggantungnya, huh! Hei!! Aku menyapamu bukan untuk membahas ini ya!" bentak Sharly karena ia baru sadar bahwa rivalnya sedang mengalihkan pembicaraan.
Ansa tak menatap mata Sharly, ia sedang malas berdebat. Namun Sharly tidak diam.
"Beraninya kamu merebut rajaku, Sa!" ucapnya yang diakhirnya dengan menyegak Ansa.
"Hah? Raja?" balas Ansa dengan menggaruk belakang kepalanya. Ia masih bingung dengan ucapan rivalnya tersebut.
"Halah ... ngga usah pura-pura ngga ngerti gitu deh!! Kamu dari kemarin terus saja mendekati Jaka-ku ya ...."
Ansa tak terima dengan tuduhan Sharly. "Oalah ... Jaka. Hei! Bangun ratu norak! Ini sekolahan, bukan kerajaan! Kalau kamu mau rajamu, langsung bilang ke rajamu kalau kamu menyukainya! Bukan bilang ke aku!! Aa!" bentaknya dengan amarah yang meletup-letup, matanya memerah, dan ia sesegukan.
"Tapi kamu jangan mendekatinya, Sa!" pekik Sharly.
Ansa membalas, "Aku ngga peduli, Shar! Dia itu sahabatku!"
Ansa langsung berlari keluar gerbang dan menemui sopirnya yang masih di parkiran. "Pak!! Huhu," pekiknya dengan suara parau.
Ekspresi sang sopir menjadi panik dan bingung ketika melihat majikannya menangis. "Waduh Non, jangan nangis dong. Cup cup Non. Nanti saya yang dimarahin tuan Hardi dan nyonya Roro. Sudah Non ...."
Sopirnya tak mau menyentuh Ansa, ia hanya menyuruh Ansa supaya berhenti menangis. "Saya hubungi tuan dan nyonya ya, Non?"
Pertanyaannya mendapat teriakan dari Ansa. "Jangan!! Sekarang bawa saya ke sanggar, Pak! Ayo!"
"Tapi, sekolahnya—" Sopir mencoba memperjelas apa yang diinginkan oleh majikannya.
"Aku ngga mau satu sekolah dengannya!! Bawa aku ke sanggar sekarang!! Aa!" teriaknya sembari membuang tasnya. Ia segera masuk ke mobil dan membanting pintu.
Saat melanjutkan tangisnya di dalam mobil, ia melihat sopirnya meletakkan tas di kursi depan. Sopir tersebut segera tancap gas. "Kita ke sanggar ya! Nanti saya hubungi nyonya, Non."
Ansa tak membalas ucapan sopirnya dan ia telah berhenti menangis.
Jaro telah berpisah dari Deniz, dan ia melangkah menuju kelasnya. Ia menyusuri ruang-ruang kelas dengan tembok yang penuh ukiran. Sekolah ini malah terlihat seperti istana dengan banyak ruangan di dalamnya.
Di kelas, ia disambut senyuman lebar dari Wahyu. "Ro, ikutan lomba yuk!" ajak Wahyu kepadanya.
"Lomba itu ya? Ngga deh," balasnya dengan malas.
"Hm ... ya sudah, Ro. Aku akan mengajak perempuan cantik di kelas sebelah itu sa-ja~" Ucapan Wahyu terdengar seperti rayuan maut bagi Jaro.
Jaro memang telah memiliki gadis pujaannya di sekolah ini. Namun ia tak terlalu peduli dengan perasaan yang kadang membuatnya senyum-senyum sendiri itu. Ia lebih memilih fokus dengan ambisi dan mengasah bakatnya. Selain itu, dirinya yang cukup terkenal, membuatnya merasa harus menjadi contoh yang baik karena menyangkut nama keluarganya.
Nanti saat tiba waktunya, dan saat Tuhan mengiyakan, aku pasti dipertemukan dengan seseorang yang bisa menjadi penyempurna ku, batinnya yang saat ini tengah melihat gadis pujaannya di depan pintu kelasnya. Eh? Kok dia bisa di situ? Jaro segera melihat ke arah yang lain.
"Jaro ...," panggil seseorang yang suaranya tak terdengar asing bagi Jaro.
Ia menoleh, dan refleks melebarkan matanya sedetik. Dia memanggilku? Memangnya aku mimpi apa tadi malam ya?
"Apa, Sari?" jawab Jaro. Tolong jantungku mau copot!! batinnya yang disusul keluarnya keringat yang mulai membasahi telapak tangannya.
"Kamu ikut kan, lomba itu?" tanya Sari. Membuat Jaro berpikir keras untuk mencari alasan.
"Aku, em ... itu Sari. Aku ngga ikut lombanya, karena tahun lalu kan aku sudah menjuarainya. Mungkin sekarang giliran mu yang mendapatkan juara di lomba itu," jawabnya dengan argumen dan penyemangat bagi gadis pujaannya.
"Hm, gitu ya? Jadi kamu ngga mau ikut dan kita belajar bareng lagi gitu?" tanya Sari lagi. Kali ini terdengar jelas bahwa Sari sedang membujuk Jaro.
Tanpa diundang, Wahyu datang sebagai orang ketiga. "Haduh Sari ... orang yang sudah ngga mau ikut, ngga usah dipaksa ikut. Mendingan sama aku aja."
Jaro baru paham dengan perkataan Wahyu yang sebelumnya. Aku akan mengajak perempuan cantik di kelas sebelah saja.
Jaro menggelengkan kepalanya. Ternyata yang kamu maksud itu Sari, Yu. Ya ampun, ambil saja. Masih banyak yang lainnya, haha! ucapnya dalam hati.
"Nah! Ide bagus tuh, Sar. Belajar bareng sama Wahyu," jawab Jaro.
Sari mengerutkan dahinya. "Em ... kamu serius, Yu? Tahun kemarin kamu ngga masuk sepuluh besar loh."
Wahyu maupun Jaro terdiam. Lalu Sari melanjutkan ucapannya. "Aku ... mau ke kelas ya. Sampai jumpa, Jaro. Semoga kamu berubah pikiran tentang lomba itu ya!"
Sari melangkah pergi dari kelas mereka, meninggalkan Wahyu dan Jaro yang saling memandang.
"Tadi ... dia menolak ku?" lirih Wahyu pada Jaro.
"Sabar Yu ... semua butuh waktu. Berubah jadi ganteng aja butuh waktu, oke?" tutur Jaro diselingi oleh sindiran halus.
"Iya, aku kalah Ro," lirih Wahyu.
Membuat Jaro menghela nafasnya. Haduh! Mau kalah atau menang, aku ngga peduli, Yu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Qiana
Jaro gesit ya
2021-10-27
0
Dania
ANSA
🖤🖤🖤🌷💙💝💛💕❤️💛🖤💚💚♥️💚💚💕💖❤️💛💝🖤🖤🖤🌷💙💝❤️💖💕♥️💜💚💚💚
2021-10-27
0
Dhina ♑
Bingung
2021-08-12
0