..."Kamu cerdas, aku cerdik....
...Kamu perkasa, aku anggun....
...Satu persamaan kita, ambisius.”...
Hari Senin,
Keluarga Daghiawi telah berpakaian rapi. Ayah dengan kemeja ungu, celana dan jas hitamnya. Ibu dengan dress selutut dan memperlihatkan tubuh langsingnya, tapi beliau menutupinya dengan mantel selutut berwarna ungu. Sedangkan Deniz dan Jaro sama-sama menggunakan seragam sekolahnya.
Saat ini Jaro telah kelas enam SD, dan Deniz telah kelas tiga SMP. Sebentar lagi mereka berdua akan menghadapi Ujian Nasional. Hal itu juga berlaku untuk Ansa yang juga telah kelas enam SD, walaupun berbeda sekolah dengan Jaro.
"Bu, hari ini aku yang akan mengantar mereka sekolah. Tolong bilang ke sopir mereka ya?" ucap Ayah Awi kepada istrinya.
"Hore!!" sorak kedua kakak adik tersebut. Jaro maupun Deniz tersenyum lebar.
Nanti di dalam mobil, aku akan coba bertanya pada ayah tentang masalah kemarin, batin Jaro sembari menyuapkan makanannya. Namun matanya tak lepas dari ayahnya.
"Ada apa di sekolah, Yah?" tanya Ibu Liana yang merasa heran.
"Ada rapat, terus pengesahan bangunan baru," balas ayah.
"Bangunan kelas berapa yang baru, Yah?" tanya Deniz yang telah selesai menghabiskan sarapannya.
"Ngga tau, Niz. Nanti Ayah cari tahu di sana," jawab ayah yang kembali menyuapkan makanannya ke dalam mulut.
Ya! Ayah Awi adalah pemilik sekolah yang beliau beri nama 'Sekolah Mandraguna' dengan tingkatan dari SD hingga SMA. Jaro dan Deniz dimasukkan ke dalam sekolah tersebut, membuat mereka berdua cukup terkenal di kalangan warga sekolah tersebut.
"Ayo semuanya! Sudah jam tujuh nih, ayo berangkat!" titah ibu kepada semuanya.
Di rumah Hardiyata,
Saat hampir pukul tujuh, Ibu Roro berpamitan kepada semuanya. "Hari ini aku mendapat jadwal pagi. Aku berangkat duluan ya!" ucapnya yang segera mencium tangan suaminya dan menyalami anaknya.
"Iya, Ma. Usahakan jangan pulang malam ya?" pinta Ayah Hardi kepada istrinya.
"Aku usahakan. Tapi kalau ngga bisa, nanti aku kabari ya, Pa," balas ibu yang segera melangkah pergi dari meja makan.
"Papa ...," lirih Ansa yang membuat ayahnya menoleh padanya. "Hari ini aku izin ngga masuk les renang, ya? Ta-tapi aku tetap masuk les di—" pinta Ansa dengan terbata-bata.
"Iya, terserah kamu. Tapi besok Rabu tetap pergi ke sanggar ya? Kayaknya bentar lagi, akan ada pentas di sana.” Ucapan ayahnya mendapat anggukan kepala dari Ansa.
"Iya, besok aku tetap masuk," jelasnya dengan senyum manisnya.
Ansa memang mengikuti cukup banyak les. Les-les tersebut diharapkan dapat membuatnya terhibur, dan tidak merasa sendiri di rumah. Dari sekian banyak les, ia sangat menyukai latihan di sanggar.
"Papa berangkat ya!" ucap beliau dengan mencium kening putri semata wayangnya.
"Pa--pa ...," lirih Ansa. "Papa, hari sabtu—" Kini ayah menatapnya, membuatnya semakin ragu untuk mengatakan apa yang memenuhi pikirannya.
"Apa? Ayo cepat, sayang. Ini sudah jam tujuh. Kamu juga harus berangkat, ya kan?" titah ayah.
"Setelah ujian, ajak aku ke tempat kerja Papa yang banyak buahnya itu loh, Pa ... ya, ya?" pinta Ansa dengan wajah memelasnya.
Ayah mengusap pucuk kepala Ansa. "Iya. Nanti liburan, kita pergi ke sana."
Ansa tersenyum dan membiarkan ayahnya berangkat kerja. Di tempat kerja papa, suasananya begitu damai. Hanya pepohonan hijau, buah-buahan manis, dan para pekerjanya yang fokus bekerja, tanpa orang-orang yang tertawa seakan mengolok, batin Ansa sembari mengingat lingkungan kerja ayahnya.
Ayah Hardi merupakan salah satu petani modern dari lima orang pendiri perusahaan "Techsophistic Farm" dengan fasilitas gedung utama 20 lantai, ladang di berbagai penjuru kota Metropolitan ini, laboratorium di dekat gedung utama, pasar modern yang khusus menjual produk dari perusahaan ini, dan masih banyak lainnya.
Ansa hanya pernah berkunjung ke pasar, ladang yang penuh pohon mangga, dan sebuah danau di dekat ladang tersebut. Ia tak pernah mau jika disuruh ikut masuk ke laboratorium maupun gedung utama. Alasannya? Tempat tersebut mirip seperti sekolahnya, membuat stres dan pening.
Di perjalanan,
"Ayah ... kemarin apakah temannya ibu itu sedang sedih?" tanya Jaro. Tolong jawab jujur, Yah.
Deniz mencubit pinggang Jaro karena perkataan adiknya yang menurutnya agak lancang. "Heh!" bisiknya.
"Oh, ngga Ro. Kenapa emangnya?" balas ayah yang tak menoleh pada si bungsu.
"Terus kenapa Ayah memeluknya?!!" pekik Jaro yang memecah keheningan di mobil mereka.
Barulah ayahnya menoleh ke belakang dan memelototi Jaro. "Kamu ngga tahu apa yang terjadi. Sebaiknya kamu tutup mulut, Ro," tutur ayahnya dengan wajah yang mulai memerah dan masih melebarkan matanya ke arah Jaro.
Glek!
Jaro menggigil dan memilih untuk menunduk. Ia tak ingin menatap ayahnya yang sedang diselimuti amarah.
"Hayo loh ...." olok Deniz dengan bisikan mautnya. Jaro tetap memilih untuk bungkam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Qiana
Pasukan
Era Berdarah Manusia
IFirmo
2021-10-27
0
Dania
Ayo Semangat selalu Thor
❤️🖤🖤🖤🖤🌷🌷♥️♥️💖💚💚💜💜💜💜💝💝💕💛💛💛💙💙💙💗♥️🌷🌷🌷🖤🖤❤️❤️❤️🖤🖤🖤🖤🌷♥️💖💚💜💕
2021-10-27
0
Dhina ♑
Thor, ayo kembalu
2021-08-12
0