Pagi yang cerah, matahari mulai menyinari Desa Jiang Hu. Sawah-sawah membentang luas, diapit oleh dua gunung besar yang bernama pangeran dan permaisuri. Di halaman rumah sang tabib menyuruh pemuda bermata hijau yang kini tinggal serumah dengannya. Melatih fisiknya, mengambil air dari sungai menggunakan dua bambu dan ember terbuat dari kayu, mengisi tong besar yang ada di halaman rumah.
Anak wanitanya yang cantik, melihat Zian Penuh semangat saat menempa air dari sungai, ia mulai terpesona dan ingin lebih dekat kepadanya. Lalu Hu Rong membawa kan air dan makanan untuk Zian dan ayahnya yang berada di depan rumah.
Han Zian melatih dirinya dari halaman rumah ke sungai, berjarak 1 Kilo meter. Tanpa ada rasa letih yang membuatnya lelah. Hari masuk waktu sore, seperti biasa sang tabib kembali mencari kayu bakar untuk persiapan nanti malam. Sedangkan Zian beristirahat di halaman rumah sambil melihat pemandangan indah desa. Hu Rong menghampirinya dan bicara kepada Zian, sambil menikmati pemandangan diwaktu senja, sampai malam tiba.
Hari berganti, pagi pun tiba, seperti biasa desa Jiang Hu memperlihatkan pemandangan yang kontras dan kesejukannya yang menyelimuti desa seperti di musim dingin.
Zian kembali melakukan rutinitas dengan menempa air dari sungai ke halaman rumah. Namun, karena sudah sekian lama ia melatih fisik, sang tabib merasa Zian sudah cukup latihan fisik. Ia menyuruh Zian dan Hu Rong pergi ke pasar, ingin melihat pergerakan Zian dan ingin melihat kekuatan Naga Putih yang ada didalam tubuhnya. Apakah kekuatan itu bisa dipergunakan kapan saja atau hanya waktu tertentu saja.
Setelah Zian Dan Hu Rong sampai di pasar mereka mulai memasuki pasar Jiang Hu. Hu Rong membeli es khas desa, yang sedang disukai dari kalangan pemuda pemudi desa. Pasar terlihat ramai pedagang dan pembeli. Setalah sudah hampir selesai belanja di pasar, tiba-tiba Hu Rong dikagetkan oleh pengemis bertubuh kekar menyenggol tubuhnya dan ia mengambil dompet wanita cantik itu dari sakunya. Zian sontak kaget melihatnya, beruntung mata Zian melihat tangan pengemis itu bergerak menuju saku Hu Rong. Zian bergerak cepat menangkap tangannya dan pelintir tangan pengemis itu. Tak disangka pengemis itu melawan dengan jurus yang cukup bagus, Hu Rong kawatir dengan Zian, wajah nya terlihat gelisah. Namun, Zian berhasil menaklukan pengemis itu dengan gerakan cepat yang membuat pencuri tersebut bingung dan membuatnya jatuh.
Keramaian pasar langsung teralihkan oleh insiden tersebut. Saat Zian mengambil kembali dompet dari tangan pencuri, tetapi tanpa diduga si pencuri menendang tubuhnya dengan keras. Pencuri tersebut tidak ingin menyerah, segera mengeluarkan jurus bela diri yang cukup memukau lalu mencoba menyerang Zian.
Dengan sigap, Zian melawan menggunakan gerakan yang membuat orang-orang di pasar terbelalak, takjub melihat kecepatan mengelak dan pukulan yang hanya sedikit tetapi mampu melumpuhkan sang pencuri. Lalu zian dan Hu Rong pergi meninggalkan pasar karena selesai belanja. Dengan keindahan jurusnya yang tidak biasa, penduduk desa dan para pedagang segera mengira-ngira siapa sosok pemuda yang tampak sakti tersebut.
Dari sudut yang tidak jauh di keramaian pasar itu, Tabib Cii yang menyamar sebagai kakek tua dengan tongkat, tersenyum tipis. Ia bergumam dalam hati, "Aku melihat bayangan putih yang membuat gerakan Han Zian secepat kilat. Ternyata kekuatan Naga Putih mulai bereaksi di tubuhnya."
Ketika pencuri tersebut hendak dipukuli oleh kerumunan massa, Tabib Cii menghampiri dan menyelamatkannya. Dengan tenang, ia meminta kerumunan untuk membubarkan diri.
Sementara itu, Hu Rong dan Han Zian menuju pulang kerumah. Untuk memasak dan menyajikan makanannya di meja makan.
Tabib Cii segera pulang lebih dulu agar tidak menimbulkan kecurigaan. Dengan cepat ia bejalan sampai ke rumahnya. Kini ia sedang menyiram bunga di halaman ketika mereka datang. "Cukup lama kalian di pasar," katanya dengan nada pura-pura marah.
Wanita desa dengan bibir yang tipis itu, menjelaskan kejadian di pasar kepada ayahnya, memuji kecepatan Han Zian dalam menangkap pencuri.
Wajah yang terlihat tua berpura-pura kaget, dengan lembut ia bertanya, "Apakah benar yang dikatakan anakku?"
"A ...aku merasa seperti ada yang membantuku bergerak cepat," jawab Zian dengan terbata-bata.
Tabib Cii tersenyum bijak. "Kekuatan Nga Putih dalam tubuhmu mulai bangkit setelah kau meminum air dari kolam dan berlatih kemarin. Kekuatan itu akan membantumu dalam keadaan apa pun."
Han Zian terdiam sejenak, mencoba memahami ucapan sang tabib barusan. "Apakah artinya aku bisa menggunakan kekuatan ini kapan saja, Paman?" tanyanya ragu tetapi penuh harap.
"Benar," jawab sang tabib seraya mengangguk dan tersenyum tipis. "Namun, ingatlah, kekuatan itu bukan hanya untuk melindungi dirimu. Naga Putih adalah lambang kehormatan dan tanggung jawab. Gunakan dengan bijak, jangan terlena oleh kekuatan pada dirimu. Karena kekuatan sejati bukanlah untuk nafsu, melainkan untuk tujuan yang benar."
Han Zian menarik napas dalam-dalam, merasa beban sekaligus kekuatan baru di dalam dirinya. Ia mengepalkan tangan dan berkata dengan tekad, "Aku akan menggunakannya untuk tujuan yang benar. Aku tidak akan menyia-nyiakan kekuatan ini!"
Bibir Sang tabib tersenyum puas. "Baiklah, lanjutkan pekerjaan kalian untuk mengisi meja makan, aku sudah lapar."
Hu Rong dan Zian mengangguk serempak, lalu bergegas ke dapur. Tabib Cii merasa lega dengan suasana seperti ini. Ia memandang sawah yang terbentang luas dan diapit oleh gunung, yang diterangi sinar matahari. Matanya berkaca-kaca, pikirannya melayang kepada guru Gun Yoga.
Sang tabib tertegun sejenak. "Aku akan selalu mengingatmu, dalam senang maupun tenang, dalam duka maupun luka. Kau adalah sosok yang mewarnai hidupku, aku bangga menjadi muridmu. Walau kini kepahlawananmu hanya tinggal cerita, tetapi aku yakin, akan ada jalan kembalikan kepahlawananmu yang melegenda, situ saat nanti." katanya dalam hati.
Kepalanya mendongak ke langit yang cerah. Walau perih mengingat kisah guru tercinta, menerima perilaku yang tidak bisa diterima secara logika. Lalu ia tak bisa membendung lagi air matanya, yang jatuh ketanah. Anak dan ayah yang baik hati harus menanggung beban yang begitu memilukan.
"Ayah, makanan sudah siap," seru Hu Rong dari arah dapur, membuyarkan lamunannya.
"Ya, aku segera menyusul," jawab Tabib Cii yang kaget kehadiran Hu Rong, sambil menyeka air matanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Ꮇα꒒ҽϝ𝚒ƈêɳт
Ini babnya diapus banyak yak?
Perasaan kemaren uda banyak/Smile/
2025-01-23
0