Part 4. Heartbeats

Satu minggu kemudian...

"Untuk tugas yang saya berikan kepada kalian di minggu lalu, bisa langsung dikumpulkan di meja sini ya... Nanti setelah selesai terkumpul semua, salah satu tolong bawakan dan letakkan di meja saya ya," ucap Kirana sesaat setelah selesai mengajar. Dan langsung saja Kirana berjalan keluar dari dalam ruang kelas itu.

Semua mahasiswa nya itu pun mulai bergerak mengumpulkan tugas yang sudah mereka kerjakan. Beberapa dari mereka berjalan ke depan dan langsung mengumpulkannya. Sedangkan yang lainnya lagi memilih untuk menitipkannya kepada teman-teman mereka yang akan berjalan ke depan.

Abinaya yang saat ini, memilih untuk duduk paling depan, tentu saja sudah langsung dengan gerakan sangat cepat mengumpulkan tugasnya itu. Sejak kelas itu dimulai kedua mata Abinaya sama sekali tidak bisa untuk mengalihkan pandangannya dari hal yang lainnya, selain kepada Kirana. Tentu saja.

"EH!! SUDAH SEMUANYA YA?!!!" teriak Silvi, memastikan bahwa semua teman-temannya sudah mengumpulkan tugas-tugas milik mereka.

Silvi segera bersiap untuk membawa tumpukan kertas yang di print bertuliskan tugas-tugas semua temannya. Melihat terhadap hal itu, Abinaya segera meraih tas ranselnya dan berjalan cepat ke arah Silvi. "Biar aku saja yang membawanya," ucap Abinaya yang dengan gerakan sangat cepat mengambil alih tumpukan itu.

Silvi yang melihat itu langsung saja terkejut. Dia menggelengkan kepalanya berulang kali dengan gerakan yang cukup cepat. "Ya sudah, kamu saja yang kumpulkan. Kamu tahu kan mejanya?" tanya Silvi memastikan.

Abinaya tersenyum lebar, wajahnya terlihat semakin cerah. Abinaya segera menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Tahu kok... Tenang saja. Aku akan kumpulkan sekarang," jawab Abinaya yang langsung saja berjalan cepat keluar dari dalam ruang kelas, tanpa menunggu jawaban dari Silvi.

Diikuti oleh semua temannya keluar dari dalam ruang kelas dengan beramai-ramai. Abinaya menggenggam erat tumpukan tugas itu dengan kencang di kedua tangannya. Wajahnya terus menampilkan senyuman. Sama sekali tidak mempedulikan bagaimana tatapan orang lainnya yang ada di sekitar anak tangga, duduk-duduk atau berbincang disana.

Setidaknya, aku bisa melihatnya lagi. Astaga, aku harus saja memperhatikannya sepanjang jam kuliah itu, dan aku sudah mulai merindukkannya? Itu adalah bagian paling gilanya... Pikir Abinaya yang tanpa sadar tertawa kecil karenanya.

Terus melangkah kedua kakinya menyusuri koridor kampus menuju ruang dosen. Detakan jantung Abinaya terasa semakin cepat saat dirinya mulai sampai di depan ruang dosen. Seketika, langkah kedua kakinya terhenti tepat di samping pintu ruang dosen yang terbuka lebar itu. Abinaya mengatur napas dan juga detakan jantungnya yang lagi-lagi semakin menggila rasanya.

"Baiklah..." gumam Abinaya saat merasakan dirinya yang mulai tenang.

Dengan kedua langkahnya yang pasti, Abinaya masuk ke dalam ruang dosen sambil mengucapkan salam. Tepat saat Abinaya masuk ke dalam ruang dosen, Abinaya melihat Kirana yang sedang fokus menatap layar ponselnya. Meja dosen milik Kirana hanya berjarak dua meja dosen di pintu masuk. Tanpa sadar, Abinaya menahan napas, melihat ekspresi serius yang dimiliki oleh Kirana saat ini.

"P-permisi bu..." gumam Abinaya dengan suaranya yang penuh akan kegugupan. Dan dalam hati, Abinaya merutuki kegugupannya yang sama sekali tidak bisa ditutupi sedikit pun.

Kirana dengan segera mendongakkan kepalanya dari layar ponselnya untuk menatap ke arah Abinaya yang berdiri tepat di depan meja dosennya itu. Kirana merubah ekspresi yang ada di wajahnya menjadi senyuman kecil yang masih bisa terlihat jelas kekakuannya itu. "Iya? Tugas yang tadi ya?!" tanya Kirana untuk berbasa-basi.

Kedua kelopak mata Abinaya seketika langsung saja berkedip beberapa kali, sebelum menganggukkan kepalanya dengan gerakan yang cepat. "Iya-iya bu... Ini tugas yang minggu lalu. Dari kelas A," jawab Abinaya sambil mengangkat tumpukan tugas-tugas itu dan memperlihatkannya kepada Kirana.

Kegugupan dan salah tingkah yang semakin terlihat jelas di wajah Abinaya itu, tanpa sadar membuat Kirana tertawa kecil, dan hal itu seketika saja membuat Abinaya menahan napasnya. Begitu terpesona akan hal sederhana itu. Kedua mata dan wajah Abinaya juga seketika saja langsung melembut.

Cantik sekali. Aku rasa, akan menjadi hal yang sangat sulit untuk tidak jatuh cinta padanya. Sangat sulit dan tentu saja sangat mustahil. Astaga. Semoga saja dia tidak akan menyadari ini... Apakah aku terlalu mencolok untuk hal ini? Pikir Abinaya yang seketika saja langsung berantakan.

"Bisa langsung diletakkan di bagian sini saja ya... Sebentar lagi mau saya koreksi dan nilai," ucap Kirana yang membuat Abinaya tersentak dari lamunannya.

"Eh iya bu..." jawab Abinaya yang segera meletakkan tumpukan tugas-tugas itu ke atas meja dosen milik Kirana. Menatanya dengan rapi, memastikan agar tidak ada satu tugas pun yang terjatuh dari atas tumpukan atau bahkan dari atas meja itu.

"Sudah bu... Em, ka-kalau begitu saya permisi dulu," ucap Abinaya setelah selesai menumpuk tugas-tugas itu. Tersenyum kecil ke arah Kirana yang ternyata terus memperhatikan dirinya.

Kirana tersenyum lagi, dan kali ini Abinaya tahu dengan pasti bahwa senyuman itu terlihat sangatlah tulus, sama sekali tidak menampilkan kekakuan di senyuman Kirana yang sekarang ini. "Iya... Terimakasih ya, Abinaya," jawab Kirana dengan suaranya yang pelan.

Abinaya tanpa sadar membuka mulutnya, tanpa mengeluarkan kata. Dia terlihat sangat jelas sedang linglung saat ini, dan hanya merespon ucapan Kirana dengan anggukan kecil di kepalanya. Lalu melangkahkan kedua kakinya dengan perlahan. Berjalan mundur sebentar sebelum membalikkan badannya, berjalan dengan lurus ke depan. Keluar dari dalam ruang dosen, Abinaya menyentuh dadanya, dan jantungnya semakin berdetak cepat tidak terkendali.

"Dia... Dia ingat namaku?!" gumam Abinaya saat mengingat Kirana menyebutkan namanya.

Banyak dosennya yang bahkan tidak akan bisa mengingat nama-nama para mahasiswa yang mereka ajar. Atau bahkan sekedar mengingat mereka setelah berkontak melalui aplikasi WhatsApp milik mereka. Dan Kirana menghancurkan pertahanan terakhir yang dimiliki oleh hati Abinaya. Dia benar-benar sudah jatuh. Seakan memang benar-benar jatuh.

Abinaya tersenyum kegirangan dengan tawa kecil mengirinya. Gila. Tapi siapa yang bisa menyalahkannya karena hal yang baru pertama kali dia rasakan di dalam hidupnya. Lelaki berusia dua puluh dua tahun itu, benar-benar sudah jatuh cinta pada Kirana yang berusia dua puluh tujuh tahun. Itu bukan masalah yang besar bukan? Perbedaan umur, tidak akan membuat masalah serius di dalam suatu hubungan percintaan.

Abinaya berjalan perlahan menyusuri koridor kampusnya, menuju ke arah parkiran fakultas. Dia memutuskan untuk mampir sebentar ke café, setidaknya dia akan menikmati minuman atau bahkan makanan yang sesuai dengan perasaannya sekarang ini. Sesuatu yang manis dan membuatnya bahagia serta penuh keceriaan.

**

"Yah... Boleh tanya nggak?" tanya Abinaya sesaat setelah mereka selesai makan malam bersama.

Ayahnya yang duduk di teras depan rumah mereka sambil merokok itu, seketika mendongakkan kepalanya menatap ke arah Abinaya yang masih berdiri tepat di hadapannya. "Boleh... Memangnya Abi mau tanya apa ke ayah?" Ayahnya merespon.

Dengan begitu, Abinaya seketika saja berdehem, dia sangat gugup. Perlahan, Abinaya ikut duduk di samping kursi, tepat di sebelah kiri ayahnya. "Em... Sebenarnya, aku em.." gumam Abinaya yang membuat kedua alis ayahnya bertautan, memperlihatkan dahinya yang berkeriput itu berkerut.

Abinaya menghela napasnya. Setidaknya dia harus berbagi cerita kepada anggota keluarganya atau ya, setidaknya menceritakan hal yang membuat jantung dan juga pikirannya menjadi gila sepanjang hari. "Menurut ayah, jika jatuh cinta dengan seseorang yang lebih tua... Apakah itu tidak menjadi masalah?" tanya Abinaya sambil sedikit menolehkan kepalanya ke arah ayahnya.

Ayah Abinaya yang seketika paham kemana arah pertanyaan dari Abinaya itu langsung segera mematikan rokoknya yang masih tersisa setengah batang ke atas asbak. Ayahnya tersenyum kecil. "Tentu saja tidak menjadi masalah, Bi... Itu bahkan bukan suatu kesalahan untuk jatuh cinta kepada orang yang lebih tua. Terkadang, seseorang menemukan sosok yang dia cintai secara berbeda. Ya, seperti menyesuaikan tipe yang kamu miliki," jelas ayahnya yang membuat Abinaya menghela napasnya dengan perasaan yang lega.

Ayah Abinaya mengangkat cangkir kopinya dan mulai meminumnya secara perlahan. Tanpa sadar, wajah Abinaya menjadi cerah dan tersenyum lebar.

"Jadi, tidak masalah kan Yah, kalau Abi jatuh cinta pada dosen Abi?" celetuk Abinaya yang membuat ayahnya seketika terbatuk sambil menyemburkan air kopi yang akan beliau telan.

"Uhuk-uhuk... Aduh... Uhuk..."

Abinaya dengan refleks memukul pelan punggung ayahnya. "Pelan-pelan dong Yah kalau minum kopinya," ucap Abinaya menatap penuh khawatir kepada ayahnya itu.

Tak lama, ayah Abinaya sudah tidak lagi terbatuk, dan mulai berdehem. "Ka-kamu... Kamu bilang kamu jatuh cinta pada dosenmu?" tanya ayah Abinaya untuk kembali memastikan jika kedua telinganya tidaklah salah mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Abinaya kepadanya.

Dengan tatapan polosnya, Abinaya menganggukkan kepalanya dengan perlahan. Itu memang yang tadi dia katakan kepada ayahnya, bukan? Jadi Abinaya tidak perlu lagi mengulang ucapannya. "Iya..." gumam Abinaya sekali lagi untuk meyakinkan ayahnya.

Astaga, apa anakku ini jatuh cinta dengan dosennya yang berumur tiga puluh tahun? Atau bahkan empat puluh tahun ke atas? Astaga, aku tidak bisa membayangkan punya menantu yang bisa-bisanya seumuran denganku. Pikir ayah Abinaya dengan perasaan yang campur aduk. Khawatir, takut, dan semuanya berada di dalam perasaan beliau.

"Si-siapa memangnya? Dan umurnya? Berapa umurnya? Apakah dia setua ayah dan ibu? Atau bagaimana? Seperti apa dia? Dan kapan kamu menyadari kamu sudah jatuh cinta padanya?" tanya ayah Abinaya beruntun dengan kerutan dahi penuh kekhawatiran.

Abinaya mengerutkan dahinya dalam-dalam, dan seketika saja merasa pusing dengan semua pertanyaan yang diberikan oleh ayahnya itu secara beruntutan. Dan sama sekali tidak memberikannya kesempatan untuk menjawab pertanyaan itu satu per satu. "Astaga, ayah... Bertanya yang pelan-pelan saja. Baiklah... Akan aku jelaskan satu per satu, oke?"

Ayah Abinaya menatap ke arah Abinaya masih dengan penuh khawatir, dan dengan perlahan menganggukkan kepalanya. Sedangkan Abinaya mulai tersenyum lebar melihat ekspresi wajah yang ditampilkan oleh ayahnya itu.

"Jadi... Ini terjadi minggu lalu. Namanya adalah Candra Kirana. Dia adalah dosen baru di jurusan, dia mengajar mata kuliah Filsafat Ilmu. Sebenarnya, aku bertemu dengannya untuk pertama kali saat sedang berjalan di tangga, aku hampir jatuh saat itu... Dan dia memperingatkan aku untuk berhati-hati saat berjalan."

Abinaya tersenyum lebar saat mengingat kejadian itu dengan jelas. Dia melirik ke arah ayahnya yang juga sedang memperhatikan dirinya, dengan senyuman kecil. "Lalu, semuanya terjadi... Dan saat aku menyadari bahwa aku jatuh cinta untuk pertama kalinya, adalah jantungku... Jantungku terus berdetak kencang, aku selalu ingin tersenyum bahkan tertawa jika hanya teringat oleh wajah atau bahkan suaranya. Ini perasaan yang tidak pernah ku rasakan sebelumnya. Dan rasanya sangatlah menyenangkan. Tapi aku tahu hal ini akan menjadi sangat canggung jika sampai Bu Kirana tahu kalau ada salah satu mahasiswa nya yang jatuh cinta padanya," lanjut Abinaya yang kini langsung menundukkan kepalanya, merasa tidak yakin jika perasaan yang dia miliki saat ini benar atau salah.

Ayahnya yang melihat itu merasa sedih. Dia bahkan baru tahu jika ini adalah pertama kalinya Abinaya jatuh cinta. Dia merasa seperti kehilangan momen bersama putranya itu. Ayah Abinaya merasa tidak terlalu memperhatikan Abinaya selama masa transisi remaja hingga dewasa sepatu sekarang. Ayah Abinaya menepuk-nepuk punggung Abinaya secara perlahan, penuh dengan perhatian.

"Seperti apa Kirana yang sudah membuat putra ayah ini jatuh cinta?" tanya Ayahnya yang berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Dan juga berusaha untuk membuat Abinaya senang dan ceria lagi.

Seketika saja Abinaya mengangkat wajahnya dengan senyuman kecil. Dia merogoh saku celana pendek yang sekarang dia pakai untuk mengambil ponselnya. Dia membuka bagian galerinya untuk memperlihatkan foto screenshots yang dia ambil saat Kirana meng-upload nya di WhatsApp story itu.

"Ini... Aku ambil dari status WhatsApp nya... Dia sangat cantik," ucap Abinaya sambil memperlihatkan layar ponselnya ke arah ayahnya.

Dengan segera ayah Abinaya melihat foto itu dan tersenyum lebar. "Cantik. Memang nggak salah pilih kok..." gumam ayahnya.

"Ayah, Abi... Nggak masuk? Sudah malam, waktunya tidur... Besok Abi ada kelas pagi lagi, kan?" tanya ibunya yang tiba-tiba saja datang menghampiri mereka.

Abinaya dan juga ayahnya seketika menolehkan kepalanya, melihat ke arah ibunya yang berdiri di dekat pintu dengan senyuman kecil. Abinaya menganggukkan kepalanya dengan cepat, dia teringat ada kelas pagi dengan dosen yang killer. "Aku harus tidur sekarang... Selamat malam ayah, ibu..." ucapnya sambil segera berlari kecil masuk ke dalam rumah menuju kamarnya.

Ibu Abinaya menatap ke arah Abinaya dengan tatapan penuh pertanyaan. "Memangnya tadi bahas apa saja, Yah, sama Abi?" tanya ibu Abinaya kepada ayah Abinaya.

Mereka berjalan masuk ke dalam rumah secara bersamaan. "Ya... Sesuatu yang akan membuat kita semua bahagia. Sudah saatnya, sayang. Ini yang terbaik..." jawab ayah Abinaya yang membuat keduanya tersenyum kecil.

Terpopuler

Comments

Just RMD

Just RMD

nyesss bacanya 😍😍

2021-10-04

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!