#Ketika Mantan OTW Move On

Ruang keluarga terlihat damai, membuat Bunda yang kebetulan lewat tersenyum senang. Jarang- jarang semua anaknya berkumpul dalam satu meja dengan buku pelajaran masing- masing. Bunda pun melanjutkan jalannya menuju kamar untuk menghampiri Ayah yang daritadi sudah masuk. Tak berselang lama, keheningan ruang keluarga digantikan oleh keributan tiga anak Pak Cahyo itu.

“Wih, Faris punya pacar!” pekik Eky.

“Eh Masa?” tanya Vina dan Faris bebarengan.

“Kok lo ikut kaget?” tanya Vina bingung.

“Eh iya ya? Kak pinjem hape lo dong.”

“Buat apaan?” tanya Vina mengernyit.

“Mau gugel, hape gue di kamar, males mau ambil.”

Vina pun memberikan ponselnya pada Faris dan ia ikut kepoin sosmed milik Faris bersama dengan Eky. Sesekali Vina terkikik geli membaca caption foto yang di tulis Faris, berbeda dengan Eky yang langsung ngakak.

“Kalian ngapain sih? Gue tau caption foto gue bagus kok,” ucap Faris masih fokus pada layar ponsel Vina.

“Wuih, Bang Galang gercep juga nih,” kata Faris.

Faris segera membereskan buku- bukunya dan kabur ke kamarnya, sebelum diterkam kakak perempuannya itu. Sementara Vina bingung dengan kelakuan aneh Faris, begitu juga Eky. Vina pun mengecek ponselnya, penasaran dengan Faris yang sangat mencurigakan. Namun celetukkan Eky mengubah fokusnya.

“Dek, kok lo alay banget sih? Pengen martabak pake dibuat status segala.”

“Hah?”

“Status WA.”

Vina mengecek WA- nya dan membulatkan mulutnya melihat status yang ia kirim, tidak lebih tepatnya Faris yang berbuat. Lalu banyak chat yang masuk mengomentari statusnya barusan.

“Dasar si Faris anaknya Pak Cahyo,” geram Vina.

“Dek, kamu pengen martabak nggak ngomong Bunda? Malah dibuat status,” ucap Bunda yang tiba- tiba datang.

“Bukan Vina kok, Faris yang buat.”

“Ngeles ae,” celetuk Eky.

“Dek, kamu pengen martabak?” kini giliran Ayah muncul dengan ponsel ditangannya.

“Si Faris, Yah,” jawab Vina manyun.

Sementara Vina kini fokus pada teman- temannya yang membanjiri chat Whatsapp- nya. Banyak sekali komentar di room chat miliknya, sampai dirinya lelah membalas chat mereka semua.

‘Martabak manis apa yang gurih?’ tanya Galang membuat Vina mengerutkan dahinya.

‘Kok nggak dibalas?:-/. Cuma di read.’

‘Nggak, Kak. Si Faris iseng bikin status kayak gitu.’

Vina baru saja menekan tanda send dan bersamaan dengan bel rumah berdenting.

“Tukang martabak datang,” goda Eky sambil bersiul.

“Dek, bukain pintunya!” perintah Bunda yang masih asyik memainkan ponsel disebelah Ayah.

Vina berjalan malas menuju pintu, sepertinya ia benar- benar harus meluruskan kesalahpahaman tentang martabak ini. Dugaan Vina benar- benar meleset setelah membuka pintu, wajahnya menampilkan ekspresi terkejut.

“Lo nga…”

“Siapa, Dek? Suruh masuk dong, eh? Dafa?” tanya Bunda juga terkejut.

Dafa mencium tangan Bunda dan memberikan bungkusan plastik putih itu pada Bunda. Sementara Vina masih tergugu tak mengeluarkan sepatah kata pun, terlalu syok.

“Dari Mama, Bun,” ucap Dafa kikuk.

“Lho? Mama kamu udah pulang dari Bandung?”

Dafa menyunggingkan senyumnya menampilkan lesung pipinya dan mengangguk membenarkan pertanyaan Bunda.

“Ayo, masuk dulu!”

“Hmm, makasih. Tapi Dafa mau langsung pamit pulang.”

“Gitu? Bilang Mama kamu ya? Bunda makasih, dikasih martabak. Masih hangat lagi,” ucap Bunda melirik Vina mencoba menyindir.

Dafa mengusap tengkuknya, “Kalau begitu Dafa pulang dulu, Bun, Vin. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,” jawab Bunda dan Vina – lirih –.

Vina masih memperhatikan Dafa yang sudah menghilang di luar pagar rumah. Bunda juga belum masuk masih ingin menggoda putri satu- satunya itu. Namun kedua ibu dan anak itu mengernyit ketika sebuah mobil berhenti didepan pagar rumah. Tak lama seorang pria berjalan menuju pintu yang terbuka lebar.

“Permisi,” ucap pria itu.

“Kak Galang?” kaget Vina untuk kedua kalinya, sementara Bunda mengernyit. Beliau menatap Vina penuh tanya, “Oh, kenalin Bun. Ini Kak Galang yang waktu itu temenin Vina beli Mercy.”

“Malam, Tante. Saya Galang teman Vina,” ucap Galang memperkenalkan diri.

Bunda mengangguk, “Masuk dulu. Dek, temennya disuruh masuk dulu.”

“Ah maaf, Tante. Mungkin lain kali, saya hanya mau mengantar pesanan Vina.”

Galang memberikan dua bungkus plastik pada Vina, sementara Vina menerimanya dengan ragu. Galang tersenyum dan segera pamit karena masih harus ke café- nya. Vina dan Bunda saling bertatapan selepas kepergian Galang. Keduanya berjalan masuk menuju ruang keluarga dimana semua sudah berkumpul dengan piring kosong dimeja.

“Ayo buka! Martabak, kan?” tanya Faris semangat.

“Banyak bener?” tanya Eky heran.

Sementara Vina tak menggubris keheranan Eky, dirinya sibuk dengan ponselnya.

‘Nggak apa- apa, kebetulan gue deket rumah lo. Gimana? Gurih atau manis?’

‘Kok nggak bales?’

‘Vin?’

‘Makasih, Kak. Gue jadi nggak enak, padahal Faris cuma iseng doang. Kapan- kapan gue traktir ya?’

Vina menutup aplikasi Whatsapp- nya dan ikut menikmati martabaknya bersama dengan yang lain.

...🐈🐈🐈...

Kotak bekal warna hijau tergeletak di atas meja, membuat Candra memicingkan mata. Apalagi bau harum menusuk hidungnya. Sementara si empunya tak acuh dengan kotak itu. Candra mengernyit heran pada Vina yang menelungkupkan kepalanya.

“Apaan tuh? Baunya kayak kenal,” tanya Candra.

“Makan aja, semalem nggak habis. Gue tau lo doyan.”

Tanpa babibu Candra membuka kotak bekal itu dan menganga tak percaya melihat isinya, ia meneguk ludahnya.

“Ini status lo yang semalem? Jadi, siapa pangeran yang rela buang duitnya buat beliin lo martabak?” tanya Candra mencomot sepotong.

Akhirnya mengalirlah cerita dari mulut Vina yang didengarkan dengan kusyu oleh Candra yang sibuk mengunyah martabak yang memenuhi mulutnya.

“Gila! Kak Galang?” pekik Candra heboh sampai muncrat, “Sorry, wah kode itu Vin. Bahkan dia yang komen pertama?”

Vina mengangguk, “Si Dafa juga bawain tuh, yang cokelat.”

“Tapi, kan itu dari Nyokapnya.”

“Ya elah, gue tau Dafa cuma alesan. Tapi dia nggak ikut komen kayak lo pada. Tau- tau ada di rumah gue bawain tuh makanan. Heran gue, sebenernya maunya apa sih?”

“Minta balikan,” celetuk Candra.

“Nggak mungkin. Orang dia naksir Fena,” jawab Vina tak acuh membuat Candra seketika tersedak.

...🐈🐈🐈...

Teman- teman sekelas Vina masih terus menggodanya tentang martabak, membuat dirinya sebal. Sudah lelah juga menjelaskan insiden martabak itu pada mereka. Vina mengaduk- aduk jus jeruknya dengan pikiran melayang entah kemana. Sementara Candra, Lila, dan Vivin menikmati siomay goreng mereka.

“Nih bocah satu malah melamun. Oy! Vin!” panggil Lila mengibaskan tangan didepan wajah Vina.

“Apa?”

“Nggak asik lo, Vin,” ucap Vivin.

“Kok minuman gue asem banget?” tanya Vina.

“Temen lo kenapa, Can?”

“Tau tuh, otaknya lagi geser.”

Sementara Vina mendelik mendengar ucapan Candra. Sementara Lila dan Vivin terkikik geli. Empat cewek cantik itu menoleh saat sebuah suara baritone menginterupsi.

“Gabung ya, girls,” kata Bara mendaratkan bokongnya di kursi.

“Si Tayo kemana?”

“Noh lagi antri batagor.”

“Gue jadi pengen batagor,” gumam Vina dan bangkit dari duduknya.

Vina menoel- noel bahu Teo yang berdiri menjulang didepannya. Teo pun menoleh untuk melihat siapa yang menoel- noel bahunya. Ia menatap datar Vina, perasaan Teo menjadi tidak enak.

“Gue juga mau, Te. 5000 ya?” ucap Vina.

“Gue bukan tukang batagor,” jawab Teo datar.

“Ya elah, sekalian napa? Lo juga mau beli, kan?” decak Vina sebal.

“Mana duitnya?”

“Pake punya lo dulu, gue tunggu disana ya? Ntar gue bantuin bawanya,” ucap Vina menunjuk sebuah meja kosong tidak jauh darisana.

Namun baru saja Vina berbalik, seporsi batagor tumpah mengenai seragamnya. Dia tidak sengaja menabrak seseorang. Vina panik seragamnya jadi kotor, dirinya bisa digantung Bunda nanti.

“Maaf… nggak sengaja gue. Gue bantuin bersihin,” ucap anak yang tidak sengaja menumpahkan batagor itu.

Vina mendongak, ternyata Fena anak itu, “Udah nggak apa- apa, Fen. Gue bisa sendiri.”

“Sini gue bantu bersihin. Pas banget di situ,” veletuk Teo yang segera mendapat jambakan maut dari Vina.

“Batagor gue bungkus aja, gue tunggu di kelas!”

Vina segera pergi darisana menuju kamar mandi dan hendak mengambil seragamnya yang ada di loker, beruntung dia selalu menyiapkan seragam cadangan di loker. Sementara Teo mendengus sebal.

Teo meletakkan sepiring batagor di meja, baru dirinya ingin duduk berbagai pertanyaan dari mulut teman- temannya menyerang. Cowok itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Memang kejadian Vina dan Fena tadi menyebabkan pusat perhatian dari anak- anak yang ada di kantin.

“Si Vina sama Fena kenapa?” pertanyaan ke sekian kali terus terlontar.

“Ketumpahan batagornya Fena,” jawab Teo menusuk tahu gorengnya.

“Yakin si Fena nggak sengaja?” tanya Vivin.

“Nggak tau, gue mau ke kelas. Mau pastiin dari mulut Vina sendiri,” kata Candra bangkit dari duduknya.

“Gue ikut!” kompak Vivin dan Lila.

“Noh batagor punya Vina, bawa sekalian. Sama minta duit batagornya, belum bayar dia.”

Teo memberikan batagor milik Vina dan selanjutnya dia kembali berkutat dengan makanannya bersama Bara yang tengah memainkan game di ponsel.

“Njir! Main nggak ajak- ajak,” ucap Teo dengan bumbu kacang muncrat di ponsel Bara.

Bara mendelik, “Ternoda HP gue!”

“Habis ini gue cuciin.”

Sedangkan para gadis tiba di kelas, mereka melihat Vina yang tengah duduk santai memainkan ponselnya. Candra menaruh batagor Vina di meja membuat cewek itu mendongak. Lila dan Vivin duduk didepan Vina dengan memberi tatapan kepo. Sementara Candra duduk disebelah Vina.

“Tadi lo kenapa?” tanya Candra memulai interview.

“Oh, tadi nggak sengaja ketumpahan batagor.”

“Lo yakin si Fena nggak sengaja?”

“Iya, kan dia suka Dafa. Siapa tau si Fena sengaja ngerjain lo,” kata Lila memanas- manasi Vina.

“Nggaklah, dia beneran nggak sengaja. Lagian urusannya sama gue apa? Gue udah nggak ada hubungan sama Dafa, salah kalo Fena ganggu gue.”

“Tapi Dafa masih suka lo, kan?”

“Nggak. Dia sekarang lagi deketin Fena,” jawab Vina menggeleng, ia bersemangat mengunyah batagornya.

Tak lama bel masuk berdering, anak- anak di kelas Vina mulai berhamburan masuk. Namun sampai sepuluh menit menunggu, tidak ada guru yang masuk kelas. Anton hendak bangkit dari duduknya, tapi tidak jadi saat melihat Teo dan Nina membawa setumpuk LKS dan berlembar- lembar selebaran.

“Nih kerjain halaman 15 sampe 18,” ucap Teo, sedangkan Nina membagikan LKS itu.

“Gue ada pengumuman, besok hari Minggu ada acara gowes bareng yang diadain komunitas sepeda di CFD. Nih, kalo ada yang mau ikut,” lanjut Teo membagikan selebaran pada teman- temannya.

“Jam berapa?” tanya Vina.

“Dari jam enam sampe jam sembilan, lo mau ikut?”

“Boncengan boleh?”

Teo tidak menjawab pertanyaan Vina, ia melewati gadis itu begitu saja membuat Vina mendengus kesal.

“Gue mau ikut, ah. Tayo! Temen- temen lo ada yang ganteng nggak?” tanya Candra.

“Punya temen nggak ada yang bener,” gumam Teo yang masih terus membagikan selebaran itu.

...🐈🐈🐈...

Hari Minggu yang ditunggu- tunggu tiba, akhirnya Vina ikut CFD walau tidak akan bergabung bersama komunitas sepeda bersama Teo. Vina menggendong Mercy dan berkumpul dengan komunitas pecinta kucing, disana sudah ada beberapa orang termasuk Galang. Sementara Candra ikut komunitas sepeda bersama dengan Teo dengan tujuan mengincar teman- teman Teo.

“Candra nggak ikut?”

“Allahu Akbar,” kaget Vina.

“Candra nggak ikut?” tanya cowok itu lagi.

“Nggak, tau kemana dia,” ucap Vina acuh dan meninggalkan Juno yang tengah menatapnya tajam.

Vina merutuk dalam hati, dirinya lupa jika Juno juga ada di komunitas ini. Sebenarnya Vina heran dengan Juno, wajahnya garang tapi ternyata pecinta hewan berbulu a.k.a kucing. Vina lebih memilih untuk menghampiri Galang yang masih memberikan sosialisasi pada para pengunjung CFD. Ternyata berbagai komunitas ikut meramaikan car free day pada Minggu ini, bahkan orang- orang dari dinas juga ikut serta.

Pukul sembilan lebih lima belas menit suasana CFD sudah mulai sepi, Vina membantu membereskan peralatan yang tadi digunakan Galang. Namun kegiatan Vina terhenti ketika suara ribut menghinggap telinganya. Teo dan Candra berhenti didepannya, membuat kening Vina berkerut.

“Katanya nggak boleh boncengan?!” tanya Vina sengit.

“Salahin temen lo nih, sepeda gue di rusak sama nih bocah satu. Pake sok tebar pesona sih lo,” kesal Teo.

“Gue kan udah minta maaf, gue juga mau tanggung jawab. Sewot aja lo.”

“Can!” panggil seseorang membuat ketiga orang itu menoleh.

“Tayo! Cepet pergi!” perintah Candra memukul- mukul bahu Teo.

“Sakit!”

“Jangan banyak ngemeng! Cepet pergi!” bentak Candra menjambak rambut Teo.

Akhirnya mau tak mau Teo mengayuh sepeda itu menjauh dari hadapan Vina. Sementara Juno menatap tajam kedua orang yang semakin menjauh itu.

“Lo pulang sama siapa, Vin?” tanya Galang.

“Hmm? Bisa minta jemput abang gue.”

“Ayo, bareng gue aja. Kebetulan searah.”

Vina hanya mengangguk setuju, mereka pun berjalan menuju mobil Galang di parkir. Namun belum sempat Vina masuk mobil Galang, ada seseorang yang memanggilnya.

“Vin, pulang bareng gue. Gue juga mau ke rumah lo,” ucap seseorang.

Vina menatap datar Dafa yang berdiri didepannya, sementara Galang mengernyitkan dahi. Dafa mengenakan kaos warna navy dan celana training yang menunjukkan jika cowok itu baru saja berolahraga.

“Ayo,” ajak Dafa lagi.

“Dafa! Gue cari- cari, ternyata disini. Eh? Vina?” ucapan seseorang menginterupsi ketiga orang itu, “Ikut CFD juga?”

“Iya, Fen,” jawab Vina seadanya, “Kita duluan ya? Ayo, Kak,” lanjut Vina berpamitan pada Dafa dan Fena.

Vina menghembuskan nafas saat dirinya sudah berada di dalam mobil Galang. Ia melirik kaca spion yang memperlihatkan Dafa masih berdiri di sana.

“Temen lo, Vin?” tanya Galang.

“Iya, Kak.”

Dalam hati Vina bertekad untuk melupakan Dafa, sekarang ia sadar jika cowok itu sudah tidak mencintainya lagi. Vina harus belajar merelakan Dafa.

“Tadi pagi kenapa nggak telpon gue aja? Kan bisa bareng.”

“Oh iya, lupa gue. Tadinya juga nggak rencana mau ikut CFD sih.”

“Besok pulang sekolah lo ada waktu?”

Vina mengernyit mencoba mengingat- ingat, “Hmm, ada. Ada apa, Kak?”

“Gue mau nagih janji lo waktu itu,” jawab Galang mengulum senyum.

...🐈🐈🐈...

Vina besenandung senang memasuki rumah, keadaan rumah terlihat hening entah kemana semua penghuni rumah ini. Gadis itu menurunkan Mercy dari gendongannya dan berjalan menuju dapur, tapi tidak ada tanda- tanda kehidupan disana. Kini langkahnya ia seret menuju halaman belakang. Disana hanya ada Bunda yang tengah menyiram tanaman hiasnya.

“Bun, Bang Eky sama Faris kemana?”

“Hmm? Udah pulang? Bunda kok nggak denger?”

“Iya barusan, rumah sepi pada kemana?”

“Tadi pamitnya mau ke lapangan, tapi sampai jam segini belum pulang juga. Kamu samperin gih.”

“Kenapa nggak ditelpon aja, Bun?”

“Udah tadi tapi nggak aktif. Kamu kayak nggak tau abang sama adekmu kalo main pasti nggak bawa hp.”

“Ya udah Vina susul dulu.”

“Nanti pulangnya Bunda nitip cabe lima ribu, bawang merah seperempat ya?”

Vina hanya mengangguk pasrah, ternyata Bunda menyuruhnya menjemput dua makhluk itu karena ada maunya. Namun ia tidak berani memprotes karena takut dikutuk menjadi batu.

Vina pun melangkah menuju lapangan di perumahan ini. Jaraknya hanya empat rumah. Sesampainya di lapangan, Vina melihat dua saudaranya tengah bermain basket. Gadis itu menyipitkan matanya, ia mengernyit melihat pemandangan didepannya.

“Itu pada ngapain sih? Main basket kok gitu?” gumam Vina.

“Bang Eky! Faris! Pulang! Udah dzuhur,” teriak Vina.

“Ngapain kesini?” tanya Eky melihat kedatangan Vina.

“Nyuruh lo berdua pulang. Disuruh pulang sama Bunda.”

“Ah gak asik, padahal gue hampir menang,” ucap Faris cemberut.

“Lagian kalian ini main apa sih? Basket tapi kenapa bolanya ditendang?”

Eky tiba- tiba tertawa ngakak membuat Vina menatap takut, tapi tak lama Faris juga ikut tertawa bersama kakaknya.

“Ini tuh hasil karya gue, nama permainannya Fubas. Kepanjangan dari…”

“Futsal- basket!” pekik Faris semangat.

“Gila,” umpat Vina dan berjalan meninggalkan dua orang aneh itu.

Akhirnya tiga anak itu berjalan menuju warung yang letaknya tak jauh dari lapangan, Vina memaksa dua saudaranya untuk menemaninya ke warung. Hari ini lumayan panas, matahari sangat semangat memancarkan sinarnya.

“Bu! Beli!” teriak Vina memanggil si penjual.

“Buset! Selow aja, neng.”

“Ntar ibunya nggak kedengeran.”

Tak lama ibu- ibu penjual keluar dari dalam warung.

“Oalah Mbak Vina, kirain siapa. Mau beli apa?”

“Beli cabe seperempat sama bawang merah lima ribu, bu.”

“Eh? Bunda memangnya mau masak apa? Bawang merahnya cuma lima ribu nih?”

Mendengar pertanyaan ibu penjual, seketika Vina menggaruk kepalanya yang tak gatal. Mendadak ia lupa pesanan Bunda tadi.

“Bang, tadi Bunda nitip apa?”

“Kok tanya gue? Mana gue tau.”

“Iya, bu. Kayaknya tadi Bunda pesennya gitu,” ucap Vina ragu, “Eh? Apa kebalik ya?”

“Jadinya gimana, mbak?”

“Hmm, balik aja bu. Cabe lima ribu, bawang merahnya seperempat.”

“Yakin?”

“Iya kayaknya, tapi uangnya kalo kurang nanti Vina ngutang dulu ya?”

Vina menghembuskan nafas lega karena uang yang dibawanya tidak kurang, ia menyerahkan pesanan Bunda dan ia segera masuk kamar. Selepas salat dzuhur, Vina merebahkan tubuhnya ke kasur. Ia menatap langit- langit dengan pandangan kosong. Gadis itu merasa bosan, tak tau harus melakukan apa.

“Jadi jomblo gini nggak enak ya,” gumam Vina berguling- guling di kasur.

“Mantan udah move on, gue kapan?”

...🐈🐈🐈...

Bonus pict:

Ini si Mercy

Terpopuler

Comments

Nur Hayati

Nur Hayati

si mercy lucu😍😍😍😍

2021-04-26

1

Dhina ♑

Dhina ♑

episodenya puanjang
mantab baca nya, jadi puas 👍👍

2021-01-01

1

🐊🐷

🐊🐷

susah move on ya vin,, sama kaya gua😂😑✌

2020-12-01

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!