Mantan Rasa Pacar

Mantan Rasa Pacar

#Sudah Putus Masih Perhatian

“Kita Putus!”

Pernyataan itu terus saja terngiang di pendengaran Vina. Kata- kata yang singkat, tapi berhasil memporak- porandakan pikiran Vina saat itu. Saking kagetnya, ia bingung harus merespon apa. Setelah permintaan putus dari Dafa, Vina tidak bisa tidur tiap malamnya.

“Buat apa sih lo nangisin cowok kayak gitu?” tanya Faris yang matanya masih fokus menatap ponselnya.

“Faris! Sudah berapa kali Bunda bilang. Jangan pake lo- gue, nggak sopan,” kata Bunda yang kebetulan lewat hendak menyiram tanaman.

Vina tidak merespon percakapan dua orang itu, matanya sedang terpaku pada layar televisi yang tengah menayangkan serial sinetron. Tak lama air matanya kembali meleleh ketika adegan aktris dan aktor itu memilih untuk berpisah.

“Ya elah, cengeng banget,” cibir Faris memberikan beberapa lembar tisu yang langsung disambar Vina.

“Hello, everybody! I’am back to home!” teriakan heboh itu sama sekali tak digubris oleh Vina maupun Faris, “Huft, kenape lagi?”

“Biasa, mewek lagi.”

Eky menggelengkan kepala prihatin dan mendekat untuk menenangkan Vina, ia lempar bola basket kesembarang tempat.

“Udahlah, tinggal balikan aja susah amat.”

“Nggak! Harga diri gue, Bang!”

“Elah berapa emang harganya?”

Faris segera menggeplak punggung Eky yang menyebabkannya berteriak histeris.

“Oh ya, nih dari ‘mantan’ lo,” Eky sengaja menekankan pada kata ‘mantan’.

“Apaan nih?” tanya Vina yang masih beler.

“I du nu, buka aja sendiri.”

Kyaa! Brugh!

“Siapa yang taruh bola sembarangan?!” teriakan menggelegar itu membuat Vina dan Faris kocar- kacir masuk ke kamar masing- masing.

“Maaf Bunda!” Eky mengikuti kedua adiknya untuk segera naik ke kamar.

...🐈🐈🐈...

Vina mengamati sekotak coklat dihadapannya, tak ada kartu ucapan didalamnya. Entah apa yang ada didalam pikiran Dafa memberinya coklat. Sebuah notifikasi chat masuk ke ponsel Vina. Ia segera meraih ponselnya dan membaca chat itu.

‘Gue tau lo lagi sedih. Nggak usah nangis lagi.’

Begitulah isi pesan itu, Dafa tahu jika Vina sedang menangisi cowok itu. Memang ketika Vina sedang dalam keadaan mood kurang baik akan melarikan diri pada makanan manis.

“Gue nangis juga gara- gara lo Jupri,” sebal Vina.

“Baru dua hari putus udah lo- gue,” gumam Vina meletakkan sekotak coklat itu sedikit kasar.

Vina berusaha untuk menyibukkan diri agar sedikit lupa dengan kesedihannya. Ia memutuskan untuk mandi agar tubuh dan pikirannya segar.

Selesai mandi, Vina membaringkan tubuhnya diatas kasur, ia tak peduli seprainya menjadi basah akibat rambutnya. Ia memejamkan matanya karena lama- kelamaan merasakan kantuk. Namun baru saja ia masuk ke alam mimpi, ada suara ketukan pintu yang terdengar tak sabar.

“Vin! Vinaaa! Adek! Adekku Vina!” teriakan itu membuat Vina menggeram kesal sambil membuka pintu.

“Apa sih?! Ganggu tau!” geram Vina kesal.

“Ada Dafa di bawah,” ucap Eky kalem, membuat Vina melotot kaget dan spontan berlari keluar kamar, lalu melongokkan kepalanya ke bawah.

Benar saja, dibawah sana Dafa sedang duduk didepan Faris yang tengah bermain ponsel. Vina kembali masuk kamar untuk menyisir rambutnya yang kini terlihat sangat kusut. Beruntung rambutnya tak terlalu panjang, sehingga tak begitu sulit untuk menyisirnya.

“Tunggu! Ngapain dia kesini?” gumam Vina yang kini tergesa menuruni tangga.

Vina memantapkan hatinya, ia baru bertemu Dafa sejak dua hari yang lalu. Beruntung dua hari kedepan sekolah masih libur, jadi Vina pikir ia akan sedikit tenang karena tidak perlu bertemu Dafa. Nyatanya pikiran itu lenyap ketika cowok tinggi itu duduk membelakanginya sekarang.

“Uhm, ada perlu apa?” tanya Vina yang suaranya terdengar bergetar, ia merutuki dirinya.

“Ayo, dek! Mabar sama Bang Eky,” ajak Eky dan menggeret Faris masuk ke dalam.

Dafa masih membungkam mulutnya, dirinya juga belum menjawab pertanyaan Vina tentang keperluannya datang ke sini. Sementara Vina hanya memperhatikan Dafa yang masih diam, dilihatnya Dafa mengusap tengkuknya tanda jika sedang dalam keadaan canggung.

“Ehrm, jadi ada perlu apa?” tanya Vina lagi.

“Gue mau pinjam buku catatan Bahasa Inggris.”

Vina mengerutkan dahinya, “Sejak kapan kita sekelas? Guru Bahasa Inggris juga beda.”

“Eh?”

“Mending ka~ lo pulang deh, pinjem buku sama temen sekelas lo.”

Vina langsung masuk tanpa memperdulikan Dafa yang masih duduk di ruang tamu seorang diri. Ia membanting pintu keras dan membaringkan tubuhnya di kasur. Air matanya kembali mengalir ketika teringat kenangan indah bersama Dafa selama satu tahun lebih tiga bulan ini.

...🐈🐈🐈...

Vina benar- benar lesu hari ini, bukan karena ini hari Senin – itu salah satunya sih –, tapi karena ia akan bertemu dengan ‘mantan’ pacarnya. Jika kemarin- kemarin ia akan paling semangat menantikan hari senin, kini Vina malah berharap jika hanya ada hari Sabtu dan Minggu.

“Lemes amat lo, Vin?” sapa Candra teman sebangkunya.

“Hhh, gue putus sama Dafa.”

“Oh, What?! Serius lo?!” teriak Candra heboh, membuat satu kelas menoleh memperhatikan mereka, “Kok bisa? Kalian ada masalah?”

“Gue juga nggak tau, tiba- tiba aja dia minta putus.”

“Terus lo mau? Nggak tanya dulu alasan dia?”

“Udah kali, dia nggak kasih tau alasannya. Kadang gue nggak ngerti jalan pikiran tuh orang.”

Menceritakan masalahnya membuat Vina ingin kembali menangis. Candra yang melihat raut wajah Vina pun berusaha menghibur teman sebangkunya itu.

“Udahlah, sekarang waktunya lo move on. Cari cowok- cowok kece di sekolah ini, masih banyak kok,” hibur Candra.

“Hah. Nggak tau lah.”

Candra ini adalah sahabat Vina dari awal masuk SMP, kemana Vina pergi pasti ada Candra begitu pula sebaliknya. Walau di kelas dua dan tiga SMP mereka tidak satu kelas, Candra akan mampir ke kelas Vina untuk istirahat dan pulang bersama.

...🐈🐈🐈...

Sudah berkali- kali Vina menguap, matanya sedikit menghitam akibat kurang tidur. Anggota keluarganya yang melihat wajah lesu Vina mengernyit heran. Kini mereka sedang berkumpul untuk sarapan.

“Tadi malam begadang?” tanya ayah.

“Bunda kan sudah sering ingatkan, jangan suka begadang. Nggak baik buat kesehatan, kalian juga abang sama adek.”

Eky dan Faris hanya mengangguk sambil menikmati sarapannya. Sementara Vina tak menggubris, ia tetap menyendok nasi dipiringnya.

“Kalo ngantuk, nanti berangkat sama ayah aja.”

“Nggak apa- apa, Vina nggak ngantuk kok. Cuma nggak bisa tidur tadi malam, Vina bareng Bang Eky aja.”

Vina tidak mau jika ayah dan Faris terlambat, karena kantor ayah dan sekolah Faris berlawanan arah dengan sekolah Vina dan Eky. Vina dan Eky tidak bersekolah di sekolah yang sama, sekolah Eky jaraknya lebih jauh.

“Ayo, berangkat. Bun, kita berangkat dulu,” pamit Eky, “Yah, kita berangkat.”

“Hati- hati di jalan. Jangan ngebut! Jaga adeknya,” pesan bunda.

“Vina berangkat.”

Vina berjalan mengekori Eky yang sudah berjalan keluar, ia duduk disebelah Eky yang sedang memakai sepatu.

“Tumben begadang? Mikirin Dafa lagi?” tanya Eky.

“Kenapa nggak balikan aja sih? Daripada galau- galau nggak jelas,” lanjutnya dengan berkacak pinggang.

“Gue nggak setuju ya, Kak Vina balikan sama si tiang dekik itu! Jangan mau Kak diajak balikan! Harga diri lo bisa jatuh, lo bisa cari cowok yang lebih oke dari dia,” serobot Faris yang tiba- tiba muncul.

“Heh! Tau apa lo bocah! Kayak lo lebih oke!”

Kini Eky dan Faris saling melotot, sebentar lagi akan terjadi perang saudara jika Vina tidak cepat- cepat menengahi.

“Udahlah, jangan pada urusin hidup gue. Ayo Bang! Gue nggak mau telat ya!”

Vina turun dari motor besar Eky dan melepas helm yang dikenakannya. Setelah berpamitan dengan Eky, dirinya segera masuk ke area sekolah. Eky masih memperhatikan punggung Vina yang semakin lama semakin menjauh. Ia merogoh kantong celana dan mengeluarkan ponselnya.

“Halo? Lo udah berangkat, kan? Gue mau minta tolong…”

Langkah Vina terhenti ketika ada seseorang berdiri didepannya, sengaja menghalangi langkahnya. Ia mendongak dan pandangannya bertemu dengan tubuh tinggi Dafa. Dafa mengulurkan sekotak kopi susu pada Vina. Vina masih terpaku ditempatnya, ia bahkan tidak memperdulikan tatapan beberapa pasang mata yang menontonnya. Dafa meraih tangan Vina dan memberikan kopi susu itu.

“Jangan begadang lagi,” pesan dari Dafa itu bahkan tak masuk ke indera pendengaran Vina.

“Gue duluan,” pamit Dafa menepuk pelan puncak kepala Vina.

Vina memegang dadanya yang tiba- tiba bergemuruh tak karuan, mengapa rasa itu masih ada? Ia menatap kotak kopi itu dan menghembuskan nafas pasrah.

...🐈🐈🐈...

Candra mengerutkan dahi ketika melihat Vina hanya memperhatikan sekotak kopi didepannya. Kini kedua gadis itu berada di kantin, sejak pelajaran pertama tadi Vina menyimpan kopi itu. Ia belum meminumnya, begitu sampai kelas Vina langsung menyimpannya di loker meja.

“Apa menariknya sekotak kopi itu?” tanya Candra heran.

“Kopinya nggak menarik, tapi orang yang kasih ke gue.”

“Dafa ya? Belum bisa move on juga lo?”

“Nggak tau, bingung gue.”

“Kayaknya gue tau kenapa dia putusin lo,” ucap Candra tiba- tiba dan melirik ke samping.

Vina mengikuti arah pandang Candra dan menemukan Dafa yang duduk tak jauh dari meja mereka. Namun bukan itu yang menjadi masalah Vina, ia menatap nanar pada perempuan yang duduk berhadapan dengan Dafa. Mereka terlihat sangat dekat, padahal Dafa bukanlah orang yang mudah akrab dengan seseorang. Atau mungkin karena permintaan Vina saat itu, meminta agar Dafa tak terlalu dingin dengan orang lain.

“Udahlah, hak dia mau dekat dengan siapa aja. Toh, kita udah nggak punya hubungan,” ucap Vina sok kuat.

“Baguslah, lo harus berusaha move on dari dia.”

...🐈🐈🐈...

Vina melangkah ringan menuju rumahnya dengan mulut tersumpal es lilin rasa durian. Tadi dirinya tidak langsung pulang ke rumah, ia mampir ke toko kue milik Tantenya terlebih dulu. Sejenak dia bisa melupakan kesedihannya. Es ditangan Vina hampir saja meluncur sia- sia jika dirinya tidak memegangnya dengan erat. Vina menoleh ke belakang melihat siapa yang berani membuatnya kaget.

“Rese’ lo, Bang,” umpat Vina, ia melihat ekspresi bodoh Eky yang menurutnya sangat menyebalkan.

“Maaf, adekku tayang. Cini naik!” ucap Eky sok imut.

Tanpa pikir dua kali, Vina segera naik ke motor besar Eky. Selama perjalanan Eky terus mengoceh panjang lebar, tapi tak didengar oleh Vina sama sekali. Fokus Vina hanya di es lilinnya. Sampai rumah pun, ia tetap tak menggubris mulut Eky yang masih terus berkicau.

“Assalamualaikum,” ucap Vina dan duduk di sofa ruang tengah.

“Waalaikumsalam, kok baru pulang?” tanya Bunda yang berjalan dari dapur.

“Tadi ke toko Tante dulu.”

“Bagi es nya dong,” serobot Faris merebut es dimulut Vina.

“Kak, ganti baju dulu sana!” perintah Bunda.

“Nanti, Bun. Mau habisin es dulu.”

“Assalamualaikum, Abang ganteng pulang!”

“Waalaikumsalam,” jawab mereka serempak.

“Wih es, mauuu~”

Eky dengan cueknya merebut es yang baru Vina buka dan baru menyeruputnya sedikit. Tentu hal itu membuatnya merengut sebal.

“Ah, Bang Eky rese’. Mana itu yang terahir. Tuh, Bun lihat anaknya. Nggak mau modal,” decak Vina sebal dan masuk ke kamarnya.

Sementara Bunda hanya menggeleng melihat anak perempuan satu- satunya itu. Beliau kembali ke dapur untuk menyiapkan makan siang bagi anak- anaknya, sebelumnya tak lupa untuk menyuruh Eky mengganti seragamnya.

Selesai makan siang dan membantu bundanya mencuci piring, Vina kembali ke kamarnya. Ia rebahan dan meraih ponselnya, ia mengetikkan sesuatu. Lalu ditempelkannya benda persegi itu ditelinga kirinya.

“Halo? Can.”

“Ngape lo sore- sore telpon gue? Biasanya molor lo.”

“Gue nggak ngantuk. Eh, lo tau nggak?”

“Nggak.”

“Nge- Mall yuk?” ajak Vina.

“Ogah, diluar panas gue nggak mau kulit gue jadi item.”

Vina memutar bola matanya malas, “Bukannya lo juga udah i… halo? Lo tidur ya?”

Tak ada lagi jawaban dari seberang sana, ia hanya mendengar suara dengkuran halus. Vina mendengus sebal dan mengakhiri obrolan mereka berdua.

...🐈🐈🐈...

Vina terbangun ketika seseorang menggelitik kakinya, rupanya ia juga ikut tertidur setelah pembicaraannya dengan Candra tadi. Ia membuka matanya dan tarpampang wajah Faris tersenyum konyol. Hampir saja Vina memukul wajah adiknya itu karena kaget. Tak lama wajah Faris menjadi datar.

“Cepet turun! Makan.”

“Eng? Jam berapa emang?”

“Noh, liat aja sendiri,” ucap Faris malas, “Cepet, kak. Disuruh Bunda makan.”

“Iya~, udah sana lo duluan,” usir Vina dan duduk dikasurnya, “Perasaan gue baru makan tadi.”

Vina mendaratkan bokongnya di kursi sebelah Eky yang tengah memakan ayam goreng. Sebenarnya Vina masih merasa kenyang, jadi ia hanya mengambil makanan ringan.

“Nggak makan, Kak?” tanya Bunda heran.

“Masih kenyang, Bun. Nanti aja, Vina mau buat PR dulu,” jawab Vina membawa beberapa makanan ringan hendak menuju ruang keluarga,

“Sisain ya?” pintanya sebelum benar- benar pergi dari meja makan.

Sudah satu jam lebih Vina berkutat dengan buku- buku tugasnya. Kelemahan Vina ada di pelajaran matematika, ia tidak terlalu pandai di bidang itu. Ingin ia bertanya pada Eky, tapi dirinya juga tahu jika Eky tak pintar matematika. Tidak mungkin juga bertanya pada Faris. Sebuah nama terlintas di otak cantik Vina. Ia segera meraih ponselnya dan tanpa pikir panjang mengirim sebuah chat untuk seseorang. Namun tak lama Vina tersadar akan sesuatu.

“Mampus, kenapa gue malah nge- chat Dafa?” seketika Vina panik.

TING!

Notifikasi ponselnya bunyi, tangan Vina ragu untuk membaca sebuah chat yang baru masuk. Sontak matanya melotot.

“Oke, gue otw rumah lo.”

Membaca balasan dari Dafa, jari lentik Vina otomatis mengetik cepat, “Nggak! Lo nggak usah ke rumah gue. Gue bisa tanya Candra nanti.”

Namun chat dari Vina barusan hanya centang dua dan tidak dibaca Dafa. Akhirnya Vina mencoba menelpon Dafa, tapi Dafa tidak menjawab panggilan Vina. Vina bergerak gelisah.

“Ngapa, dek? Kek cacing kremi,” tanya Eky yang berjalan dari dapur.

Ia heran melihat Vina bergerak gelisah. Belum sempat Vina menjawab, bel rumah sudah menyahut lebih dulu.

“Ada tamu?” gumam Eky.

Tanpa babibu, Vina langsung melesat menuju pintu depan. Ia tak sadar jika Eky mengikutinya dari belakang.

Dafa benar- benar datang ke rumahnya, tadinya Vina sudah ngotot menyuruh Dafa untuk kembali pulang. Namun sebuah geplakan maut dari Eky yang membuatnya meringis membuat ia mengalah dan membiarkan Dafa masuk. Bahkan Bunda juga antusias melihat Dafa datang ke rumah dengan tujuan untuk belajar bersama dengan Vina. Tadinya Faris juga mau ikut bergabung, tapi Eky sudah lebih dulu mengurung Faris di kamarnya agar tidak mengganggu belajar Vina.

“Jadi, mana yang nggak lo paham?” tanya Dafa.

“Uhm, yang ini,” tunjuk Vina pada sebuah soal.

Dafa membaca soal yang ditunjuk Vina tadi dengan seksama, “Oh, ini. Ini pake rumus yang pernah gue ajarin waktu itu. Jadi, gini…”

Dafa mulai mencoret- coret kertas sembari menjelaskan pada Vina, sedangkan Vina berusaha untuk fokus pada penjelasan Dafa.

“Udah paham sekarang?” tanya Dafa mengalihkan pandangannya pada Vina.

“Ehm, iya.”

“Nah, sekarang coba lo buat.”

Vina mengangguk dan mulai menuliskan jawaban dengan menggunakan rumus yang baru saja Dafa jelaskan. Sementara Dafa memperhatikan Vina yang sedang serius menulis dengan sesekali menyelipkan rambut yang menghalangi pandangannya. Dafa memperhatikan sekitarnya, senyumnya terukir ketika menemukan benda yang dicarinya.

“Kalo emang ganggu, rambutnya diiket dong,” kata Dafa dan membantu mengucir rambut Vina.

Tentu perlakuan tiba- tiba Dafa membuatnya menegang. Pikirannya jadi pecah dan seketika tak fokus pada pekerjaannya.

“Nah, udah. Tuh! Tinggal dikit lagi selesai,” ucap Dafa santai.

...🐈🐈🐈...

Terpopuler

Comments

Erni Fitriana

Erni Fitriana

ku baca thor

2022-10-20

1

Hiat

Hiat

semangat kak

2021-08-04

2

Hiat

Hiat

semangat

2021-08-04

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!