Senyuman Vina terus mengembang sejak ia datang ke sekolah sampai bokongnya mendarat dengan mulus dibangkunya. Kelas yang gaduh tak Vina hiraukan. Candra yang daritadi memperhatikan gelagat aneh sahabatnya itu merasa heran.
“Matematika lo udah jadi?” tanya Candra.
“Udah dong.”
“Tumben? Kesambet apaan lo? Emang lo paham semua tuh soal.”
Vina menggeleng dengan senyum yang dikulum, “Nggak.”
“Mana coba gue liat hasil kerjaan lo.”
Vina memberikan buku tugasnya untuk diperiksa Candra. Candra mencocokkan hasil jawabannya dengan milik Vina.
“Wih, hebat lo. Dapet bantuan dari siapa?” tembak Candra.
“Dafa,” ceplos Vina yang seketika menutup mulutnya.
Candra berdecak sebal dan memukul bahu Vina, “Ya elah, katanya mau move on lo? Kenapa lo nggak tanya gue aja semalem?”
“Gue lupa kalo lo jago matematika,” ringis Vina. Candra hanya memutar bola mata malas.
...🐈🐈🐈...
Candra dan Vina melesat menuju kantin begitu bel istirahat berbunyi. Perut kedua gadis itu terus keroncongan sejak pelajaran matematika tadi. Candra segera memesan makan untuk mereka berdua, sedangkan Vina bertugas mencari meja yang kosong. Beruntung mereka datang lebih awal, karena lima menit kemudian para laron langsung berbondong- bondong masuk kantin. Candra kembali bersama Kang Imin yang membawa pesanan mereka.
“Makasih, Kang Imin ganteng yang wajahnya mirip Jimin,” itu Candra yang berbicara.
Sementara Kang Imin hanya tersenyum dan pamit untuk kembali berjualan.
“Mari makan!” seru dua gadis itu semangat.
“Ehm, kita boleh ikut duduk disini? Meja lain udah penuh,” ucap seseorang yang membuat Vina saat itu juga tersedak kuah baksonya.
Vina terbatuk- batuk, hingga air matanya keluar. Candra dan anak tadi panik melihat wajah merah Vina.
“Ini, minum dulu,” Dafa menyodorkan gelas minumnya yang langsung diterima Vina, sedangkan Candra menepuk- nepuk punggung Vina.
Candra menatap Dafa sebal, tatapannya seolah mengatakan ‘Ini salah lo, Vina jadi gini.’
“Masih sakit?” tanya Dafa memastikan.
Vina menggeleng setelah batuknya reda. Dia benar- benar merasa kesakitan tadi, dimana kuah panas dan pedas masuk ke kerongkongan.
“Elo sih, Fa. Makanya jangan ngagetin,” omel Candra.
“Duduk lo berdua,” lanjutnya mengintruksi.
“Fa, minum lo habis. Gue pesen lagi ya?” tawar Fena teman sekelas Dafa.
“Iya, gue nitip es teh segelas lagi ya?”
Candra yang melihat interaksi antara Dafa dan Fena merasa dongkol. Sementara Vina berusaha untuk tidak peduli, ia kembali memakan baksonya walau nafsu makannya kini sudah hilang. Seketika suasana di meja mereka menjadi canggung, tak ada yang bersuara.
“Sorry, gue nggak maksud buat kagetin lo,” ucap Dafa merasa bersalah.
“Nggak apa- apa, emang gue- nya aja yang kagetan,” jawab Vina tak acuh.
“Ini Fa, minum lo.”
“Thank’s.”
“Lo nggak makan, Fa?” tanya Fena yang melihat Dafa hanya pesan minuman.
“Dia kalo istirahat pertama nggak pernah makan, istirahat kedua baru dia makan soto,” celetuk Vina menyeruput kuah baksonya yang kini sudah tandas.
Mendadak suasana meja mereka kembali terasa aneh, Vina pun memperhatikan sekitarnya. Semua penghuni meja itu menatapnya dengan pandangan sulit diartikan. Seketika Vina teringat celetukannya tadi.
“Ehrm, Can gue ke kelas dulu. Lo masih mau di sini ato ikut?”
“Ayo! Gue udah selesai makan,” jawab Candra cepat.
“Kita duluan ya?” lanjut Candra dan menyusul Vina yang sudah keluar dari kantin.
...🐈🐈🐈...
Candra terus merutuki Vina yang tadi keceplosan bicara saat di kantin. Vina merasa jika tadi ia telah menjatuhkan harga dirinya sendiri. Dia benar- benar malu sekarang. Sementara Vina juga masih syok setelah apa yang terjadi, beberapa kali ia memukul mulutnya yang tidak bisa direm. Langkah Candra tiba- tiba berhenti membuat Vina mau tak mau ikut berhenti.
“Mulai hari ini gue akan bantu lo mati- matian buat move on dari si Dafa,” tekad Candra mengepalkan tangannya.
Vina menghembuskan nafas lelah, ia duduk di depan kelasnya, “Tapi gue masih sayang dia,” gumam Vina dengan air mata menggenang di pelupuk mata.
Candra menggeleng dan menepuk bahu Vina, “Pelan- pelan pasti lo bisa, Vin.”
“Dasar bocah berdua bukannya masuk kelas malah nge- drama,” ejek Teo sang ketua kelas mereka, “Bu Idris udah mau masuk tuh,” lanjutnya dan segera masuk ke kelas.
Mau tak mau pun Candra dan Vina masuk kelas dan duduk di bangku mereka, benar saja Bu Idris masuk tak berselang lama.
...🐈🐈🐈...
Pulang sekolah hari ini Candra mulai berniat menjalankan misinya. Ia mengajak Vina ke Mall untuk bertemu dengan teman- teman komunitas pecinta kucing yang Candra ikuti. Vina pun mengajak Candra ke rumahnya untuk berganti pakaian. Tadi Vina sempat menolak untuk ikut, tapi Candra terus memaksanya.
“Katanya lo mau move on?” tanya Candra sebal.
“Iya, tapi nggak sekarang juga.”
“Terus kapan?” tanya Candra berkacak pinggang.
“Nunggu si Dafa jadian sama Fena?” lanjutnya galak.
“Kok lo jahat sih?”
“Gue nggak jahat, gue baik malah. Mana ada yang mau bantu lo move on, kalo bukan gue?”
“Kenapa harus pecinta kucing tapi?”
“Emang kenapa sih? Lo juga suka kucing, kan? Lagian di komunitas itu banyak cogannya. Kucing aja disayang apalagi kita.”
Vina masih terngiang obrolannya bersama Candra tadi selama perjalanan pulang sekolah. Kini Vina tengah menunggu Candra yang sedang berganti baju.
“Si Candra diajak makan siang dulu, kak,” ucap Bunda.
“Iya, tadi Vina udah ajak Candra. Dia masih ganti baju.”
“Kak Vina mau kemana?” tanya Faris duduk disebelah Vina.
“Mau ke Mall.”
“Ikut, Kak,” rengek Faris.
“Nggak boleh, cowok dilarang ikut,” bukan Vina yang menjawab, melainkan Candra. Ia langsung duduk didepan mereka berdua.
“Ish, dasar pelit lo.”
“Faris!” Bundanya melotot pada Faris.
...🐈🐈🐈...
Vina dan Candra baru sampai Mall terbesar di kota mereka tinggal. Candra segera menghubungi salah satu temannya untuk menanyakan tempat berkumpul komunitas itu. Vina memperhatikan sekitarnya, mereka berada di sebuah café yang banyak berisi kucing.
Fokus Vina teralihkan ketika melihat seekor kucing Persia mendekat padanya. Vina pun menggendong kucing itu dan membawanya duduk bersamanya, Candra juga sudah menggendong kucing angora gemuk berbulu putih.
“Gue mau pesen green tea latte dong,” ucap Vina.
“Eh, gue bukan babu lo ya. Pesen sendiri sana, gue lagi sibuk,” jawab Candra sewot, “Gue mango milkfloat ya?” lanjutnya tanpa merasa bersalah.
Vina mengerucutkan bibirnya. Namun ia tetap berdiri untuk memesan minuman.
“Silahkan, mau pesan apa?” tanya seorang laki- laki dengan memakai apron cokelat.
“Ehm, green tea latte sama mango milkfloat ya, Kak.”
Laki- laki itu memamerkan senyum ramahnya, ia mengacungkan jempolnya dan segera menyuruh seseorang untuk segera membuat pesanan Vina.
“Suka kucing?” tanya laki- laki sambil menghias cangkir dan gelas yang akan digunakan untuk pesanan Vina tadi.
“Suka,” jawab Vina seadanya.
Laki- laki itu mengangguk dan tersenyum lagi, “Tumben si Kimo anteng di pangku gitu.”
Vina memperhatikan kucing Persia berbulu abu- abu itu yang berada di pangkuannya, sedaritadi tangan Vina mengelus bulu halus kucing itu.
Vina tahu banyak hal tentang Galang – nama laki- laki ber- apron cokelat itu –. Ternyata café kucing ini adalah milik Galang. Galang sendiri seorang mahasiswa semester 4, jurusan kedokteran hewan dan ternyata kucing bernama Kimo ini adalah milik Galang yang memang sering ia bawa ke café.
Menurut keterangan Galang, Kimo biasanya akan menghindar jika ada seseorang yang hendak menggendongnya. Galang kini juga ikut bergabung dengan Vina dan Candra.
“Kalo yang ini punya siapa, Kak?” tanya Candra menunjukkan kucing angora yang ekspresinya datar itu.
“Hmm, kurang tau gue kalo itu. Mungkin punya salah satu anggota komunitas.”
“Ehm, dia kucing gue,” celetuk seseorang, membuat mereka menoleh.
“Oh punya lo? Siapa nama kucing lo?” tanya Galang pada orang itu yang tatapannya mengarah pada Candra.
Sementara Candra spontan melepas kucing berbulu putih itu, ia segera memutus kontak dengan orang itu. Vina yang melihat hal itu juga ikut cemas, ia melirik Candra yang kini menundukkan kepala.
“A… apa kabar Juno?” sapa Vina tak enak.
“Baik,” jawab Juno singkat, ia bahkan tidak menjawab pertanyaan Galang tadi.
Juno masih mengarahkan pandangannya pada Candra, tatapan intimidasi yang dirasakan Candra.
TING!
Sebuah chat memecah fokus Candra, ia segera melihat chat itu. Seketika Candra menghembuskan nafas leganya, chat dari sang Mama menyelamatkannya.
...🐈🐈🐈...
Vina berada di meja makan bersama dengan keluarganya untuk makan malam bersama. Tadi Candra memutuskan untuk langsung pulang ke rumah, ia merasa tidak mood setelah bertemu dengan Juno.
“Vina boleh pelihara kucing?” tanya Vina membuat seluruh keluarganya melihat ke arahnya.
Reaksi mereka bermacam- macam. Ayah dan Faris bersamaan menjatuhkan sendok serta garpu, Eky tersedak dan batuk- batuk lebay. Hanya Bunda yang mengerutkan dahinya bingung.
“Kenapa tiba- tiba mau pelihara kucing? Memangnya kamu bisa rawat, Kak?” tanya Bunda heran.
“Bisa,” jawab Vina yakin.
“Mimi mati, gara- gara lupa kasih makan. Mana korengan lagi,” celetuk Eky sadis.
“Jorok Bang Eky, lagi makan juga malah ngomongin korengan.”
“Lo juga nyebut koreng, conge.”
“Kan, lo du… adududuh.”
“Kalian berdua ya, dasar,” geram Bunda menjewer telinga Eky dan Faris.
“Yah, boleh ya?” ucap Vina tak memperdulikan kedua saudaranya.
“Bisa ngerawatnya nggak? Ayah nggak mau kalo kayak yang dulu- dulu.”
Vina segera mengangguk semangat, “Janji, bakal dirawat seperti anak sendiri.”
“Malika kedelai hitam kali,” serobot Faris yang sudah lepas dari jeweran maut Bunda.
“Bapaknya siapa?” kini Eky yang bersuara, “Dafa ya?” lanjutnya santai.
Mendengar nama itu disebut, wajah Vina langsung ditekuk. Seketika mood- nya jelek, ia segera mengakhiri makannya dan membereskan piring kotornya.
...🐈🐈🐈...
Akhirnya di hari Minggu Vina menuju pet shop, ia tidak sendirian. Vina ditemani Faris yang tadi merengek minta ikut. Sebenarnya Vina sudah janjian dengan Galang tadi, mereka sempat bertukar nomor telepon saat itu.
“Kak, kok malah kesini? Katanya mau beli kucing?” tanya Faris bingung.
“Diem deh, gue nungguin temen gue dulu. Kita udah janjian.”
“Siapa?”
“Udah lama nunggu ya?” tanya seseorang membuat Faris menoleh.
“Nggak kok, Kak. Kita juga baru sampai,” jawab Vina, “Oh ya, kenalin dia adik gue.“
“Ehm, Faris,” ucap Faris ragu.
“Gue Galang,” jawab Galang menjabat tangan Faris dan dengan senyum manisnya, “Jadi mau beli kucingnya?”
Vina mengangguk semangat. Mereka bertiga pun berjalan menuju pet shop yang jaraknya tak terlalu jauh. Faris juga tak banyak bicara, ia hanya mengikuti dua orang itu. Namun matanya tetap fokus pada Galang sedaritadi, ia terus memperhatikan gerak- gerik Galang.
Mata Faris berbinar ketika mereka sudah sampai di pet shop. Disana terdapat berbagai jenis hewan peliharaan. Faris mendekat ke kandang marmut, ia memperhatikan marmut- marmut lucu itu sedang bermain. Sementara Vina sedang melihat- lihat kucing. Pandangan Vina jatuh pada seekor kucing Persia dengan bulu kelabu.
“Boleh lihat yang itu?” tanya Vina pada pramuniaga toko itu.
Pramuniaga itu mengangguk disertai senyuman ramah. Pramuniaga itu memberikan kucing itu pada Vina.
“Suka yang itu?” tanya Galang.
“Iya, dia nurut,” jawab Vina mengelus bulu halus kucing itu.
“Sekalian di vaksin ya? Ayo ikut gue!”
Vina tidak bertanya, ia hanya menurut mengikuti kemana Galang melangkah. Vina benar- benar lupa kalo Faris masih asyik bermain dengan marmut.
“Kak Galang bisa vaksin kucing? Emang boleh vaksin sendiri? Disini nggak ada dokternya?”
Vina baru sadar ketika melihat Galang memakai sarung tangan karet dan masker, seketika berbagai pertanyaan meluncur dari mulutnya.
“Bisa, gue dokter disini,” jawab Galang singkat.
Pramuniaga tadi menghampiri Galang dan membantunya untuk memegang kucing itu agar tidak kabur.
...🐈🐈🐈...
Vina menggendong kucingnya yang entah akan ia beri nama siapa. Tadi Galang mengantar mereka pulang. Vina juga baru tahu jika pet shop itu milik kakak Galang dan Galang sering membantu di sana. Sementara Faris terus cemberut karena Vina tak mau membelikan dirinya marmut imut itu.
“Assalamualaikum,” ucap keduanya masuk rumah.
“Waalaikumsalam,” jawab suara dari dalam rumah.
“Kenapa tuh muka sepet amat?” tanya Eky pada Faris.
“Kak Vina nggak mau beliin gue marmut,” jawab Faris sedih.
“Kok lo disini?!” tanya Faris ketika melihat Dafa duduk manis disebelah Eky dengan memegang stick PS.
“Kalian baru pulang?” tanya Bunda.
“Iya, Bun,” jawab Vina menghampiri Bunda di dapur dengan membawa serta kucing barunya.
Sementara Faris masih melempar tatapan permusuhan dengan Dafa. Namun dia akhirnya ikut duduk di sofa memperhatikan dua orang itu bermain. Awalnya Faris merasa bosan melihat dua orang itu, tapi tiba- tiba pikiran jahil terlintas di kepalanya.
“Bang, Kak Vina punya temen baru. Tadi yang antar kita ke pet shop juga yang antar kita pulang tadi,” ucap Faris sambil melirik Dafa.
“Si Candra?” tanya Eky tanpa menoleh.
“Bukan. Namanya Galang, dia udah kuliah Bang.”
“Terus? Udah tua dong.”
“Dia keren, calon dokter hewan. Tadi dia yang bantuin vaksin kucing Kak Vina.”
“Bangsat!” desis Dafa spontan, membuat Faris terlonjak. Walau suaranya tidak keras, Faris masih bisa mendengar dengan jelas.
“Yess, menang gue!” sorak Eky.
Dafa berjalan ke dapur untuk pamit pulang ke Bunda, tapi langkahnya terhenti ketika melihat Vina bermain dengan kucing barunya. Vina masih belum menyadari kedatangan seseorang dibelakangnya. Sementara Dafa memilih untuk berhenti sejenak, memperhatikan Vina. Namun seketika ucapan Faris tadi terngiang di telinganya.
“Sejak kapan lo suka kucing?” tanya Dafa dengan nada kesal tanpa disadarinya.
“Eh?” Vina terkejut mendapati Dafa yang sudah berdiri di belakangnya, “Bukan urusan lo kan sejak kapan gue suka kucing?” sinis Vina.
Vina meninggalkan Dafa yang masih menatapnya tajam, dengan menggendong kucingnya ia masuk ke kamar. Sementara Dafa hanya menggelengkan kepala dan melanjutkan langkahnya mencari sosok Bunda.
...🐈🐈🐈...
Vina tengah rebahan di kasurnya yang empuk dengan Mercy disebelahnya. Tangan kanan Vina mengelus bulu kelabu Mercy. Ia menghembuskan nafas lelah untuk yang kesekian kali. Entah apa yang kini sedang dipikirkannya.
“Dek, ayo makan. Udah ditunggu ayah sama bunda,” panggil Eky langsung masuk kamar Vina, “Itu kucingnya kenapa ditaro di kasur, kotor tau,” lanjut Eky mendumel.
“Enak aja kotor. Mercy udah mandi tadi ya…” jawab Vina tak terima.
“Lah, jelek amat namanya?”
“Enak aja, bagus tau. Biar keliatan mahal.”
Eky hanya mengangguk paham tak mau melanjutkan perdebatannya, ia sudah sangat lapar. Vina mengekor di belakang Eky. Di meja makan semuanya sudah berkumpul, Vina mengernyit melihat Faris yang bergelayut di lengan Ayah.
“Kenapa dia, Bun?” tanya Eky.
“Minta dibeliin tikus,” jawab Bunda dan mengangsurkan piring milik Ayah.
“Bukan tikus, Bun! Faris mau pelihara marmut. Boleh ya, Yah?”
“Dicaplok Mercy tau rasa,” ucap Eky acuh.
“Mercy? Merk mobil?” tanya Faris bingung.
“Nama kucing kakak.”
“Jiah, kucing buluk namanya Mercy,” ceplos Faris yang kemudian mendapat pelototan dari Vina secara live.
...🐈🐈🐈...
Bonus Pict:
Ini dia Kang Imin yang katanya mirip Jimin 🤭
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
C̸s̸•Netha_10
humor gue sebatas 'minta di beliin tikus' 😭✌️
2021-07-25
1
🐊🐷
baru sempet mampir ka😂😂✌
2020-11-26
1
Ratri (ig:mahesti_ratri)
Emang paling asyik bikin mantan cemburu. lanjutkan Vin!
Mercy kaya lagunya Shawn Mendes.hehe
2020-11-20
1