Sesuai janjinya kemarin dengan Galang, begitu bel berbunyi Vina segera membereskan buku- bukunya. Semalam Galang kembali mengingatkan janji Vina lewat chat, takut gadis itu lupa. Dan beberapa saat yang lalu cowok itu juga mengirim chat, mengatakan bahwa ia dalam perjalanan menjemput Vina.
“Ahelah, lo lama amat. Cepet Vin, gue mau lewat,” ucap Candra tak sabaran.
“Bentar, Can. Di loker meja masih banyak buku.”
“Gue balik duluan ya? Kalo Tayo nyari gue, bilang aja lo nggak liat.”
Candra segera menaiki kursi dan meloncat turun, gadis itu segera berlari keluar kelas. Namun naas, ternyata didepan kelas Teo sudah menghadangnya. Vina yang baru keluar kelas mengernyitkan dahi melihat sahabatnya ditarik seperti kambing oleh ketua kelas.
“Kalian ngapain sih?” tanya Vina.
“Tayo! Gue hari ini ada janji sama Vina. Besok aja ya?”
“Gue mau pergi sama Kak Galang,” jawab Vina polos.
Teo tidak menghiraukan kekonyolan dua gadis itu, ia segera membawa Candra pergi darisana. Sementara Vina hanya bisa menatap kepergian Candra dan Teo dengan pandangan bingung.
“Gue butuh bantuan lo!”
Vina mengerjap bingung, kini ia tengah diseret menuju tempat parkir. Gadis itu menoleh ke kanan dan kiri dengan wajah linglung. Namun beruntung tak lama ia tersadar, Vina menghentakkan cekalan ditangannya membuat cowok didepannya menoleh.
“Lo ngapain bawa gue kesini?”
“Tadi gue udah bilang, kan? Gue butuh bantuan lo.”
“Hari ini gue nggak bisa. Gue ada janji.”
“Lo bisa batalin.”
“Hah? Mana bisa?”
“Bisa, nih pake,” Dafa memberikan helm pada Vina.
“Gue nggak mau, gue udah ada janji. Besok kalo lo mau minta bantuan gue.”
Vina terkejut ketika Dafa dengan paksa memakaikan helm padanya, ia baru tahu Dafa yang seperti ini. Mengapa kini cowok itu berubah menjadi menyebalkan?
“Lo apa- apaan sih? Gue udah bilang nggak bisa. Kalo memang mendesak lo bisa ajak yang lain, kan? Kenapa harus gue? Lo… lo bisa ajak Fena!”
Dafa hanya tersenyum mendengar penuturan Vina, “Gue nggak bisa ajak yang lain, karena lo yang paling tau Mama.”
Mendengar jawaban dari Dafa, membuat Vina membungkam mulutnya. Ia tidak bisa berkata- kata lagi.
...🐈🐈🐈...
Akhirnya dengan terpaksa Vina membatalkan janjinya dengan Galang. Ia benar- benar merasa bersalah pada cowok itu, padahal Galang sudah sampai sekolahnya tadi. Kini Vina dan Dafa tengah menuju sebuah toko kue. Benar, Vina lupa jika besok adalah hari ulang tahun Mama Dafa. Dulu setiap ulang tahun Mama Dafa, Vina dan Dafa akan bersama- sama membelikan hadiah. Lalu mereka merayakannya secara kecil- kecilan.
“Besok malam gue jemput,” ucap Dafa pada Vina yang masih melihat- lihat kue tart itu.
“Huh? Kemana?”
“Mama ngundang lo.”
“Kok? Kenapa?”
“Walau putus, bukan berarti kita jadi musuh.”
Vina terdiam membeku, benar kata Dafa. Selama ini Vina berusaha menghindar dari cowok itu seakan mereka musuh. Ia menatap nanar Dafa yang tengah berdiri di depan kasir untuk membayar pesanannya.
“Ayo!”
Ajakan Dafa membuat Vina kembali tersadar. Ia kini hanya diam mengikuti langkah Dafa dari belakang.
Setelah dari toko kue, kini dua orang itu menuju toko yang menjual berbagai barang unik. Toko ini langganan mereka berdua dulu saat hendak membeli hadiah. Vina segera melihat- lihat barang- barang di toko ini. Sudah sangat lama ia tidak datang kesini.
“Mama masih suka lilin aromaterapi?” tanya Vina menciumi aroma wangi lilin itu.
“Masih, tapi kali ini gue pengen kasih hadiah yang beda.”
“Hmm? Yang kayak gimana?”
“Pengen kasih syal atau scarf.”
Vina mengedarkan pandangannya mencari letak barang yang dimaksud Dafa, setelah ketemu ia melangkah menuju rak tersebut diikuti Dafa.
“Kayak gini?”
“Iya, coba lo pilihin yang bagus.”
Vina mengetukkan jarinya, ia meneliti semua syal yang di pajang. Sementara Dafa dengan sabar menunggu Vina memutuskan pilihannya.
“Yang ini?”
“Bagus.”
“Sama yang ini?”
“Itu juga bagus.”
“Kalo yang diujung itu?”
Dafa mengikuti arah telunjuk Vina, “Bagus juga.”
“Kebiasaan! Terus mau pilih yang mana?” tanya Vina sebal.
Dafa mengembangkan senyum manisnya, “Bagus semua.”
Karena hari sudah sore dan perut Vina minta diisi, akhirnya sebelum pulang ia dan Dafa mampir terlebih dulu ke sebuah tempat makan didekat alun- alun kota. Kini dua orang itu tengah menunggu pesanan yang belum datang, Vina fokus ke ponselnya. Ia sedang membalas chat dari Galang. Sementara Dafa menatap datar Vina yang tengah asyik chat-an.
“Silahkan pesanannya.”
“Makasih, Bang.”
“Makan! Jangan hape terus!”
“Emak gue lo?” sewot Vina meletakkan ponselnya di meja dan mulai menyantap makanannya diikuti dengan Dafa.
Vina heran dengan sikap Dafa sejak tadi yang menurutnya sangat menyebalkan. Sesekali Vina melirik cowok itu yang sangat kusyu dengan makanannya. Jika tak sengaja terciduck, Vina akan gelagapan, sedangkan Dafa menampilkan cengiran tengilnya.
“Lo sakit ya?” tanya Vina akhirnya karena sudah tidak tahan lagi.
“Hmm? Gue sehat kok.”
“Lo aneh.”
Setelah menyelesaikan makannya, mereka pun pulang. Dafa mengantar Vina hingga selamat sampai rumah gadis itu. Ia memberikan kado milik Mamanya pada Vina. Dafa takut jika kado itu akan ditemukan oleh sang Mama sebelum acara dimulai. Vina hanya bisa menurut.
“Besok gue jemput ya?”
“Iya.”
Dafa pun pamit dengan kedipan mata untuk Vina, tentu kelakuan cowok itu membuat Vina seketika bergidik.
“Kan, dia bener- bener aneh,” ucap Vina masih berdiri di depan rumah, “Tapi kok gue deg- degan?”
Vina memegang dadanya, merasakan jantungnya berdetak kencang. Lalu ia menampar pipinya untuk menyadarkan diri sendiri. Vina segera masuk rumah dan membersihkan tubuhnya, karena seharian ini peluhnya mengucur deras.
...🐈🐈🐈...
Pagi ini keluarga Pak Cahyo tengah berkumpul di ruang makan untuk melaksanakan sarapan. Suasana baru saja hening saat sang Bunda mengamuk tadi. Bunda mengamuk karena ulah dua anak lelakinya yang berebut tulang ayam, ditambah tulang milik Eky dicuri oleh Mercy. Sementara si anak perempuan dan sang Ayah hanya menonton adegan pagi itu.
“Makan itu jangan sambil ngomong. Dosa, nggak sopan juga. Kalian ini udah gede, masih aja ribut sama hal sepele,” Bunda masih mengomel.
Sementara Eky dan Faris hanya menundukkan kepala, tidak berani membantah. Suara bel membuyarkan fokus penghuni rumah itu. Bunda segera melesat menuju pintu depan untuk melihat siapa yang bertamu pagi ini. Eky dan Faris kompak menghembuskan nafas lega.
“Cepet habisin makanan lo! Sebelum Bunda balik lagi,” bisik Eky pada Vina.
Vina hanya berdehem dan mempercepat makannya. Dia berhasil makan sampai suapan terakhir sebelum Bunda kembali ke meja makan, Vina meneguk air putih cepat karena Eky dengan tidak sabaran terus mengoceh.
“Yah, kita berangkat ya?” pamit Vina dan Eky berbarengan.
“Cepet! Gue ada PM pagi.”
“Iya sabar, ini bukan militer kali.”
Dua anak Pak Cahyo ini bertemu sang Bunda yang juga hendak kembali ke meja makan. Namun dibelakang Bunda ada seseorang yang sudah tak asing bagi keluarga mereka. Eky dan Vina kompak mengernyitkan dahi melihat kedatangan Dafa di pagi hari yang cerah ini.
“Ngapain pagi- pagi kesini? Lo nggak sekolah?” tanya Eky dengan tampang bodoh, padahal sudah jelas Dafa memakai seragam lengkap.
“Dafa mau ngajak Vina berangkat bareng katanya. Kamu udah sarapan, Fa?”
“Udah, Bun. Kita mau langsung berangkat aja,” jawab Dafa, “Kita berangkat sekarang. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawab Bunda, Eky, dan Vina kompak.
“Kok lo ikutan jawab?”
“Bang Eky!” peringat Bunda.
“Hehehe, Eky berangkat dulu. Assalamualaikum,” pamit Eky segera ngacir pergi darisana.
“Ya udah kalian cepet berangkat, telat nanti.”
“Lo ngapain jemput gue?” tanya Vina pada Dafa sesampainya mereka di depan rumah.
“Kemarin kan gue udah bilang mau jemput lo pagi ini.”
“Masa’?”
“Iya, udah ayo berangkat.”
Vina hanya bisa menurut saja, selama perjalanan ia hanya diam merenung. Sudah sangat lama dirinya dan Dafa berangkat ke sekolah bersama. Mendadak suasana hati Vina menjadi mellow lagi. Namun perasaan itu tak berlangsung lama, tiba- tiba saja kepala Vina menubruk punggung Dafa.
DUKK!
Dafa juga terkejut mendengar suara benturan keras itu. Ia menoleh ke belakang melihat Vina yang berusaha membukan pengait dihelmnya. Cowok itu hanya meringis, sepertinya daritadi Vina melamun hingga tidak sadar mereka telah sampai sekolah.
“Sini gue bantu,” ucap Dafa.
Vina menahan nafasnya saat jarak antara mereka cukup dekat. Lama- lama semburat merah muncul dipipinya.
“Udah, ayo masuk,” ajak Dafa setelah meletakkan helm milik Vina dimotornya.
Vina mengangguk kaku dan mengikuti langkah Dafa dari belakang. Sepertinya Dafa tidak sadar jika sedaritadi adegan mereka ditonton banyak pasang mata.
“Itu Candra, kan? Ngapain dia sama Mesya?”
“Huh? Mesya siapa?”
“Temen sekelas gue.”
Vina segera melesat menuju tempat Candra berada, ia sudah tidak mempedulikan keberadaan Dafa lagi. Gadis itu menyipitkan matanya saat melihat Candra didorong- dorong hingga membentur tembok.
“Heh?! Apa- apaan ini?!” bentak Vina menarik bahu Mesya hingga gadis itu mundur beberapa langkah.
“Jangan ikut campur lo!”
“Masalah dia masalah gue juga!”
“Perebut pacar orang masih mau lo belain?” ucap Mesya melirik Candra.
“Siapa yang rebut pacar lo?! Gue cuma mau peringatin lo biar nggak terjerumus sama gombalannya Juno! Lo masih belum sadar kalo lo itu cuma mainannya dia doang?”
Vina yang tadinya hendak menyemburkan api, kini terdiam. Gadis itu sudah paham duduk pekaranya. Ternyata ini masalah lanjutan sejak insiden ulang tahun sekolah beberapa waktu yang lalu.
“Bener kata Candra, Juno bukan cowok baik. Dia brengsek, mending lo putusin sekarang. Daripada ntar nyesel,” kata Vina membantu meluruskan kesalahpahaman ini.
Namun Mesya malah tertawa ngakak membuat Vina dan Candra saling pandang, “Dia udah putusin gue! Dan semua itu gara- gara lo!”
Tatapan Mesya berubah tajam, ia menunjuk Candra tepat didepan wajahnya. Membuat Candra gelagapan, karena hampir saja hidungnya kecolok telunjuk Mesya.
...🐈🐈🐈...
Bel masuk berbunyi, berhasil menyelamatkan nyawa Vina dan Candra. Beruntung juga Dafa menengahi pertengkaran tiga gadis itu, walau dirinya tidak paham dengan pertengkaran mereka. Sedaritadi dirinya hanya menonton dari balik dinding.
“Lo balikan sama Dafa ya?” tanya Candra menyelidik.
“Nggak, kebetulan ketemu di jalan tadi,” elak Vina.
Candra masih memicingkan matanya, sementara Vina merasa jengah dengan tatapan mata Candra yang minta dicongkel itu.
“Lo kok bisa dilabrak cewek tadi?”
“Panjang ceritanya. Intinya dia itu korban Juno. Sama kayak gue, jadi barang taruhan.”
“Ckck, dasar buaya. Gue sumpahin kena karma dia. Dia masih suka gangguin lo nggak?”
“Untungnya sih nggak. Tapi gue masih heran sama kejadian pas pensi itu, gue mencium bau- bau yang aneh.”
“Hmm? Eh iya, gue juga nyium bau aneh.”
“Si Wildan kentut, njir!” pekik Lia membuat seisi kelas kompak menutup hidung.
...🐈🐈🐈...
Malam ini Vina berdandan cantik, ia memakai celana jeans dan blouse warna biru muda. Ia memakai sedikit polesan bedak dan liptint. Kini ia tengah menunggu Dafa yang sebentar lagi datang, katanya. Vina menunggu di ruang keluarga sambil bermain ponsel, sesekali ia selfi. Gadis itu merasa sayang jika wajahnya saat ini tidak diabadikan.
“Mana Kak Dafa? Jangan- jangan dia bohongi lo lagi,” ucap Faris yang berjalan dari arah dapur.
“Tau, macet kali.”
“Halah, orang rumah dia beda dua halte doang.”
“Udahlah biarin, nggak jadi juga nggak apa- apa. Lagian kado nyokapnya ada di gue.”
“Dek, ada Dafa di depan!” panggil Eky berjalan masuk. Sedaritadi memang Eky tengah nongkrong bersama para anak tetangga didepan rumah.
“Kalian balikan ya?” tanya Eky pada Vina.
“Nggak, gue berangkat dulu ya? Bunda sama Ayah belum pulang, kan?”
“Belum. Hati- hati di jalan.”
Vina hanya mengangguk dan berjalan ke depan, meninggalkan Eky dan Faris. Faris masih memperhatikan sang kakak yang sudah menghilang di balik pintu.
“Ikut ke depan nggak?” tanya Eky menepuk bahu Faris.
“Nggak,” jawab Faris langsung masuk ke kamarnya, membuat Eky geleng- geleng kepala.
Vina turun dari motor Dafa dan memberikan helmnya pada cowok itu. Ia memperhatikan rumah Dafa yang nampak sepi tak berpenghuni. Vina kembali dibuat bernostalgia pada masa lalu, saat dimana ia sering main ke rumah ini.
“Pinjem hape lo dong.”
“Hmm? Buat apa?” tanya Vina mengernyit, tapi ia menyerahkan ponselnya pada Dafa.
Vina masih menunggu jawaban Dafa yang kini tengah mengutak- atik ponselnya. Tak lama cowok itu mengembalikan ponsel Vina.
“Lain kali jangan dibuat status. Ayo masuk!”
“Hah? Maksud lo apa?” tanya Vina bingung dan segera memeriksa ponselnya, “Kok lo hapus status gue?!”
Status WA Vina yang baru ia posting beberapa menit lalu dihapus Dafa. Status yang menampilkan selfi dirinya saat menunggu Dafa tadi. Padahal Vina sudah sangat senang banyak yang berkomentar jika malam ini ia terlihat cantik.
Gadis itu masih cemberut, tak terima status WA- nya dihapus begitu saja. Bahkan kini ponselnya sudah sangat ramai dengan notifikasi chat dari teman- temannya yang pastinya menanyakan status Vina yang tiba- tiba menghilang. Bukannya kepedean, tapi memang nyatanya begitu. Vina pun sadar diri jika dirinya saat ini sangat cantik.
“Vina? Aduh anak Mama kenapa baru datang?” heboh Mama Dafa menyambut kedatangan Vina bersama Dafa.
“Malam, Ma. Selamat ulang tahun,” ucap Vina tidak menjawab pertanyaan Mama Dafa tadi.
“Makasih sayang, ayo masuk. Papa hari ini nggak bisa pulang, masih flight dia.”
Vina hanya mengangguk dan tersenyum, dirinya tahu pekerjaan kedua orang tua Dafa. Papanya seorang pilot dengan jadwal penerbangan padat, sementara Mamanya seorang wanita karier yang sama sibuknya. Namun kesibukkan kedua orang tua Dafa tidak membuat cowok itu merasa kesepian, ia masih merasakan kasih sayang kedua orang tuanya yang sangat melimpah.
“Ini kado dari Vina sama Dafa,” ucap Vina memberikan dua bungkusan cantik pada Mama Dafa.
“Kok repot- repot? Mama udah seneng kamu main lagi kesini lho. Tapi makasih ya, sayang,” Mama Dafa memeluk erat Vina.
Kini mereka bertiga makan malam bersama, setelah tadi Mama Dafa meniup lilin dan memotong kue. Suasana meja makan sangat hangat, sesekali Vina menimpali cerita Mama Dafa. Sementara Dafa hanya diam mendengarkan dua wanita ini sambil menyantap makan malamnya.
“Kamu kenapa jadi jarang ajak Vina ke rumah, Fa? Kalian nggak lagi ada masalah, kan?” pertanyaan Bu Ririn membuat Dafa tersedak, sementara Vina mengernyitkan dahi dan tatapannya mengarah pada cowok yang kini tengah berusaha meredakan batuknya.
“Hmm…”
Dafa menghembuskan nafas lega saat ponsel Bu Ririn tiba- tiba berbunyi. Ekspresi cowok itu tambah sumringah saat Bu Ririn harus pergi menemui rekan kerjanya yang mendadak mendapat masalah.
“Maaf ya, Mama harus pergi. Kapan- kapan kita shopping bareng ya? Mama pergi dulu,” pamit Bu Ririn memeluk Vina dan Dafa bergantian.
Setelah kepergian Bu Ririn, suasana rumah malah terasa canggung. Dafa mencoba tenang dan melanjutkan acara makannya.
Vina melipat tangannya didepan dada, tatapannya mengarah lurus pada Dafa yang masih makan. Bahkan kini Vina sudah tak bernafsu lagi. Ia hanya perlu penjelasan dari mulut Dafa dan dengan sabar Vina menunggu Dafa menyelesaikan makannya.
“Kok nggak dihabisin?” tanya Dafa setelah meneguk habis air bening di dalam gelas.
“Nggak nafsu gue.”
“Terus mau makan apa? Ayo keluar kalo gitu, cari makan. Ka… lo baru makan sedikit.”
Vina menggeleng, “Gue cuma mau lo jelasin sesuatu.”
“Apa?” tanya Dafa mengernyit.
Tentu hal itu membuat Vina jengah, dirinya merasa dipermainkan saat ini. Gadis itu bangkit dari duduknya, bersiap untuk pergi.
“Mau kemana?”
“Pulang.”
Dafa berhasil mencekal pergelangan tangan kiri Vina mencegah gadis itu pergi, jujur dirinya juga masih bingung bagaimana menjelaskan situasi ini.
“Lepasin, Fa. Gue mau pulang, lo nggak perlu anter gue.”
“Nggak, aku antar kamu pulang. Tapi kamu makan dulu ya?”
“Fa! Gue cuma butuh penjelasan lo, kenapa lo nggak bilang Mama kalo kita udah putus? Lo mau mainin gue?!” Vina benar- benar marah saat ini. Matanya sudah memanas menahan tangis, Dafa benar- benar keterlaluan.
“Maaf.”
“Gue nggak butuh maaf lo.”
Vina menangis sesenggukkan dalam perjalanan pulang, tadi dirinya berhasil kabur dari kejaran Dafa. Hatinya benar- benar sakit saat ini. Ia benar- benar tidak paham dengan jalan pikiran Dafa. Mengapa cowok itu tega menyakitinya? Apa salahnya?
“Can? Lo di rumah? Hmm, gue mau ke rumah lo sekarang. Lo bisa jemput gue di halte deket toko bangunan alam? Oke thanks, gue tunggu.”
Vina mendudukkan dirinya di halte yang sepi ini, air matanya masih mengalir deras. Beruntung Candra mau menjemputnya, ia tidak mungkin langsung pulang ke rumah dengan keadaan seperti ini.
Beberapa menit kemudian Candra datang dengan motor kesayangannya. Gadis itu segera menghampiri Vina yang tengah menunduk.
“Vin, lo kenapa?” panik Candra melihat keadaan sahabatnya yang sangat berantakan.
Vina segera memeluk Candra dan menangis tersedu dalam pelukan Candra. Sementara Candra mengelus punggung Vina berusaha menenangkan. Ia menoleh ke kanan dan kiri, Candra baru sadar jika tempat ini berada di daerah rumah Dafa.
“Sakit, Can.”
“Cerita di rumah gue aja yuk,” ajak Candra.
“Gue yang bawa motor ya?”
Candra mendelik, “Nggak boleh!”
Bukan apa- apa, Candra kapok membonceng Vina. Vina mengendarai motor ugal- ugalan, apalagi dalam keadaan saat ini. Vina terlihat amat galau, Candra masih sayang nyawa tentunya. Beruntung kedua gadis itu sampai rumah dengan selamat. Selama perjalanan tadi Candra hampir oleng beberapa kali karena Vina.
“Langsung ke kamar gue aja, gue mau ambil cemilan dulu.”
Vina hanya mengangguk dan berjalan menuju kamar Candra yang berada di lantai dua. Rumah Candra terlihat sepi, sepertinya Mamanya sedang pergi. Vina membuka pintu kamar Candra, tapi seketika Vina membulatkan matanya.
“Huwaaaa! Mata gue!”
“Anjir!” pekik seseorang segera memakai kaosnya.
“Apaan? Apaan?” tanya Candra lari tergopoh- gopoh.
“Mata gue ternoda,” ucap Vina histeris.
Candra menatap datar seseorang yang tengah nyengir didepannya, ia menabok punggung orang itu. Membuatnya berteriak dengan umpatan kasar keluar dari mulut.
“Kenapa lo ganti baju di kamar gue?! Keluar lo!” bentak Candra.
“Iya… iya. Sorry ya, Vin,” ucapnya nyengir dan langsung keluar dari kamar itu sebelum tangan Vina yang sudah melayang mendarat di wajahnya.
Candra mencekik boneka beruang putihnya hingga beruang itu terlihat pucat. Gadis itu menahan emosi mendengar cerita yang terlontar dari mulut Vina. Tentu dirinya tidak terima sahabatnya yang cantik ini dipermainkan. Menjadi mainan seseorang itu sungguh tidak enak, Candra sudah membuktikannya.
“Liat aja besok, gue mau buat perhitungan sama si tiang itu,” geram Candra masih mencekik bonekanya.
“Sumpah, gedek gue sama tuh orang. Maunya apasih? Dia masih belum jelasin? Lo ada salah sama dia? Sumpah, emosi gue.”
Vina hanya menggeleng lesu, ia merebahkan dirinya di kasur. Ia merasa lelah, memejamkan mata sejenak mungkin bisa sedikit menenagkan pikirannya. Namun malah Vina kebablasan, ia tertidur nyenyak di kamar Candra.
“Ahelah, malah gue ditinggal tidur.”
Candra terlonjak mendengar suara ponsel Vina yang berdering. Gadis itu segera melihat siapa yang menelpon sahabatnya itu. Candra sudah menyiapkan berbagai umpatan bila sang penelpon adalah Dafa. Namun seketika umpatan itu tertelan di kerongkongan.
“Halo? Assalamualaikum. Gue Candra, Bang. Si Vina di rumah gue, ketiduran dia. Biar nginep rumah gue aja, besok pagi buta gue anterin balik. Oke, sans. Waalaikumsalam.”
Candra mengakhiri percakapannya dengan Eky. Ia melihat kearah Vina yang tengah tertidur pulas. Wajah sahabatnya itu benar- benar berantakan dengan bekas air mata. Candra menghembuskan nafasnya.
“Kenapa sahabat gue juga punya nasib sial kayak gue? Sama- sama cuma buat mainan para buaya,” gumam Candra.
Gadis itu bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kamar, membiarkan Vina untuk beristirahat sejenak.
...🐈🐈🐈...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
C̸s̸•Netha_10
sumpah suka sama ceritanya 😭🤚
2021-07-25
1
Dhina ♑
lebih baik ku berteman dengan mu
janganlah kau meminta lebih
kutak mungkin mencintaimu
kita berteman saja,
karena sudah putus
2021-01-01
1
IntanhayadiPutri
Aku mampir nih kak, udah 5 like dan 5 rate juga.. jangan lupa mampir ya ke ceritaku
TERJEBAK PERNIKAHAN SMA
makasih 🙏🙏
2020-11-24
1