"Dokter Villa Arsyla Savina, dokter spesialis anak yang cantik dan baik hati. Kalian pasti menjadi pasangan yang serasi. Satu perwira gagah nan perkasa, satunya lagi dokter hebat yang lembut penuh kasih sayang!"
"Nisa!" Panggil Zahra, sembari menggelengkan kepalanya.
"Pasangan!"
"Semoga semuanya lancar, aku menunggu undangan!" Ujarku, Zahra langsung pergi. Setidaknya kini dia percaya, jika tidak ada hubungan diantara aku dan Azzam.
"Tunggu, sejak tadi aku diam mendengarmu bicara tidak jelas. Katakan, apa maksud perkataanmu!" Ujarnya, sembari menahan laju sepeda motorku.
"Kak Azzam, dia wanita baik dari keluarga baik-baik. Jangan sakiti dia, aku bahagia untuk kalian!"
"Apa yang dia maksud? Kenapa hatiku sakit mendengar semua ini? Seakan Nisa sudah jelas menolak rasaku. Kamu berubah Nisa, kenapa kamu bisa sekejam ini?" Batin Azzam, sembari menatap punggungku menjauh darinya.
Aku pergi meninggalkan Azzam dengan kebingungan. Jelas Azzam tak pernah menyadari, perjodohan yang tengah direncanakan untuknya. Sekilas nampak raut kekecewaan di wajahnya. Seakan perkataanku telah menyakiti hatinya. Sejenak aku merasa bahagia, menyadari aku masih terpenting dalam hidupnya. Namun, hubungan diantara kami tidak akan pernah berakhir bahagia. Jurang pemisah diantara kami terlalu dalam. Jurang yang takkan pernah bisa aku sebrangi begitu saja.
Satu jam lebih, aku mengendarai sepeda motor. Jarak tempuh rumah dan pesantren cukup jauh. Butuh waktu empat sampai lima jam perjalanan. Sengaja aku berkendara sendiri, aku ingin menikmati setiap detik yang selama perjalanan panjang ini. Setelah aku merasa lelah, aku memutuskan berhenti di sebuah gubuk kecil di pinggir jalan. Sepertinya gubuk ini sengaja dipersiapkan bagi pengendara yang kelelahan sepertiku. Tanganku mulai terasa kebas, tidak mungkin bagiku melanjutkan perjalanan. Aku menoleh ke sekelilingku, nampak asri dan sejuk. Sekilas terdengar suara ombak, maklum jalan yang aku lewati berbatasan langsung dengan laut. Aku merasakan ketenangan, sejenak lupa akan pertemuanku dengan Azzam.
"Silahkan!"
"Anda!" Sahutku, sembari menoleh ke arah tangan yang memberikan sebotol air mineral.
"Maaf mengganggu, saya melihat anda kehausan. Jadi saya menawarkan ini!" Ujar Dimas, aku terkejut dan tak percaya. Dimas berdiri tepat di sampingku, tanpa aku menyadari kedatangannya. Sungguh aku tak percaya, Dimas bisa menawarkan minuman di saat aku benar-benar haus.
"Anda mengikuti saya!" Sahutku, Dimas langsung menggeleng. Tangannya menggantung dengan sebotol air mineral. Isyarat Dimas memaksaku menerima bantuannya. Dengan perasaan canggung, aku mengambil botol air mineral darinya. Dimas tersenyum, saat melihat aku menerima bantuannya.
"Sebelumnya saya meminta maaf. Memang tadinya saya mengikuti anda. Saya mendengar anda pergi sendiri ke kota ini. Namun pagi ini, saya memutuskan pulang lebih dulu. Sebab ada urusan mendesak, tapi ternyata saya melihat anda duduk sendirian di sini!"
"Papa!" Sahutku dingin, Dimas menggeleng pelan. Sejak awal aku menduga, Dimas sengaja mengikuti sebab disuruh papa. Mengingat pertemuan pagi itu, sikap hangat papa yang jelas menunjukkan rasa pedulinya pada Dimas.
"Kebetulan saya ada di samping Faiz, saat anda mengirim pesan singkat padanya. sudah meminta izin, Faiz mengizinkanku. Saya tidak mengenal pribadi tuan Arya. Sejak awal, saya rekan Faiz!"
"Tidak perlu terlalu formal, panggil aku Nisa. Terima kasih sudah menghilangkan hausku, maaf sudah menuduh yang tidak-tidak!" Ujarku, Dimas mengangguk pelan. Seutas senyum terlihat di wajah tampannya. Dimas terlihat begitu dewasa, jelas ada rentang usia yang cukup jauh diantara kami.
"Nisa!" Panggilnya hangat, aku langsung menoleh. Dimas duduk tepat di sampingku. Tas punggungku menjadi batas antara aku dan Dimas.
"Perjalanan masih dua sampai tiga jam, kamu yakin ingin mengendarai sepeda motor!" Ujar Dimas cemas, aku mengangguk tanpa ragu. Kutatap lekat sepeda motor matic putih milikku. Sepeda motor yang aku beli dengan uang simpananku sendiri. Memang uang itu dari papa, tapi aku mencoba berhemat. Agar aku bisa memiliki sepeda sendiri.
Sebenarnya aku memiliki mobil yang khusus dibelikan papa. Namun entah kenapa? Aku enggan menggunakannya. Aku lebih nyaman pergi dengan sepeda motor matic putihku. Seperti hari ini, aku menjelajahi ratusan kilometer bersama dengan si putih kesayanganku. Sekilas aku melihat Dimas melirik ke arahku. Nampak jelas, Dimas diam-diam memperhatikanku. Aku tak pernah ingin mengenalnya, tapi kepeduliannya membuatku luluh.
"Kalau boleh jujur, aku lebih nyaman dengan sepeda motor ini. Selama ini, dia yang menemaniku. Benda mati yang memahamiku, sekadar membuatku merasa nyaman dan tenang di jalan!"
"Cuaca sangat panas, kamu bisa dehidrasi!"
"Aku baik-baik saja, panas matahari takkan menyakitiku. Panas mengajariku cara mensyukuri sejuk dan dingin AC!" Sahutku santai, Dimas terdiam.
"Kamu berbeda!" Sahutnya lirih, aku tersenyum simpul.
Hampir lima belas menit, aku dan Dimas bicara. Matahari semakin merangkak naik, waktu semakin siang. Sudah terlalu lama aku istirahat, aku harus meneruskan perjalanan pulang. Segera kuhabiskan air mineral yang diberikan Dimas. Aku berdiri, diikuti Dimas yang juga berdiri. Aku menoleh ke arah mobil mewah milik Dimas. Terlihat beberapa pengawal yang mengikuti Dimas. Aku mengangguk pelan, menyadari Dimas bukan orang sembarangan.
"Tuan Dimas, terima kasih atas bantuannya. Saya harus melanjutkan perjalanan. Sekali lagi terima kasih, senang bertemu denganmu!" Ujarku, Dimas menatap lekat ke arahku. Raut wajah Dimas terlihat sumringah, ada kebahagian yang entah dikarenakan apa?
"Apa yang bisa membuatmu berubah pikiran?"
"Tentang apa?"
"Keputusanmu pulang sendirian!"
"Maaf, aku keputusanku sudah bulat!" Sahutku tegas, sembari tersenyum. Dimas terpaku, melihat sikap hangatku.
"Nisa!"
"Hmmm!" Sahutku, sembari menoleh ke arahnya.
"Izinkan aku mengantarmu pulang!" Pintanya, aku mengeryitkan dahi. Merasa heran dengan tawaran Dimas. Setelah aku memutuskan pulang dengan sepeda motor. Mungkin aku baru mengenal Dimas, tapi aku merasa Dimas pribadi yang menghargai keputusan orang lain.
"Dengan mobil!" Sahutku, Dimas menggeleng pelan. Terlihat Dimas memanggil salah satu pengawalnya. Dua bola mataku membulat, saat aku melihat sepeda motor sport yang dibawa pengawal Dimas.
"Aku bisa mengantarmu sekarang. Aku akan berada di belakangmu. Sekadar memastikan keselamatanmu!" Ujarnya lugas, aku diam membisu. Hatiku terenyuh, menerima perhatian Dimas. Dia laki-laki asing, tapi peduli akan keselamatanku. Sebaliknya, keluargaku acuh dan bahkan tidak peduli akan bahagia dan hidupku.
"Tuan Dimas, cuaca sangat panas. Lebih baik tuan tetap menggunakan mobil. Terima kasih sudah peduli padaku!"
"Aku mohon, aku pastikan akan menjaga jarak!" Ujar Dimas memaksa, aku menghela napas panjang.
"Baiklah!" Ujarku, lalu menghidupkan sepeda motorku.
Tiiiiinnn
"Kita harus bicara!"
Braakkk
Suara Azzam lantang, bersamaan dengan suara pintu mobil yang ditutup keras oleh Azzam. Aku terperanjat, Azzam datang menemuiku dengan amarah.
"Kak Azzam!"
"Kita harus bicara, kamu tidak bisa pergi begitu saja!" Ujar Azzam, sembari menarik tanganku kasar. Aku menjerit, saat pergelangan tanganku terasa sakit.
"Lepaskan kak Azzam!" Ujarku meronta, Azzam menggeleng lemah. Azzam menarik tanganku semakin erat.
"Kita harus bicara!"
"Lepaskan!" Ujarku, pergelangan tanganku terasa ngilu.
"Tolong lepaskan, Nisa tidak ingin bicara dengan anda!" Ujar Dimas, sembari menahan tangan Azzam.
"Maaf, ini bukan urusan anda. Saya harus bicara dengan Nisa!"
"Sekali lagi lepaskan, Nisa tidak ingin bicara dengan anda!"
"Jangan ikut campur!" Ujar Azzam dingin dan kasar.
"Lepaskan!" Ujar Dimas lebih kasar, aku menutup mata. Aku takut melihat Dimas dan Azzam bertengkar.
"Mama!" Ujarku lirih dengan suara bergetar.
"Nisa, maaf!" Ujar Azzam, dia menyadari ketakutanku.
"Nisa, maaf!" Ujar Dimas, aku diam membeku. Tubuhku bergetar hebat, aku takut melihat Dimas dan Azzam.
"Kenapa kalian berteriak? Kenapa?" Sahutku dengan suara bergetar dan hampir tak terdengar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
apa si Nisa uda ga punya ibu yah, soalnya kalo ada sosok ibu pasti ada penyeimbang dalam keluarganya, apalagi karakter ayahnya yang sangat keras,,,
2024-11-29
0