"Silahkan duduk, masih satu jam lagi rapat dimulai. Kita bisa minum secangkir kopi bersama!" Ujar Faiz, Dimas mengangguk pelan. Nampak jelas tatapan kosong Dimas. Seolah ada seseuatu yang tengah mengganggu pikirannya.
Faiz memberikan secangkir kopi pada Dimas. Sesaat Faiz menyadari kegamangan Dimas. Dua bola mata Dimas menyiratkan kegundahan hatinya. Semenjak bertemu denganku, Dimas lebih banyak termenung. Faiz menangkap kegalauan hati sahabatnya. Dimas seorang sahabat, sekaligus rekan bisnis Faiz. Sejak awal Dimas hanya mengenal Faiz. Entah sejak kapan Dimas mengenal papa? Hubungan hangat yang membuat hatiku gelisah. Pembelaan, amarah dan kepedulian papa akan rasa kecewa Dimas. Menyisipkan rasa takut di hatiku. Dimas menjadi laki-laki pertama yang terang-terangan menyapaku di depan papa.
"Sampai kapan kamu melamun? Sehebat itu pesona adikku. Sampai-sampai kamu larut dalam lamunan tanpa batas. Apa yang mengganggumu? Tanyakan saja padaku, papa sudah memberikan lampu hijau. Sebisa mungkin aku akan membantumu. Namun, keputusan tetap ada padanya. Aku tidak akan ikut campur, sepenuhnya keputusan ada ditangannya. Aku sudah kehilangan hangatnya, tidak akan aku sanggup melihat diamnya!"
"Maksudmu!" Sahut Dimas terkejut, Faiz duduk tepat di depan Dimas. Faiz diam sejenak, lalu terdengar helaan napasnya. Dimas meletakkan kopi yang ada ditangannya. Tak lagi Dimas ingin meminumnya, Dimas hanya peduli akan hidupku. Segala sesuatu yang berhubungan denganku. Dimas sangat ingin mengenal pribadiku. Hanya keluarga besarku yang mengenal pribadiku.
"Nisa memanggilku kakak, tapi tak lagi menganggapku kakak. Aku tak lebih saudara sedarah baginya. Bukan kakak yang berhak akan rasa lemah dan takutnya. Dia tak pernah bersandar padaku. Nisa menyimpan tangisnya, tanpa berharap aku menghapusnya. Dia kuat tanpa diriku, bahkan berusaha kuat tanpa keluarganya!"
"Pantas, dia begitu dingin. Dia menghargai kalian, tapi ada jarak yang terbentang diantara kalian!"
"Sejak tadi kamu memikirkan hal itu!" Ujar Faiz, Dimas mengangguk pelan. Faiz terdiam membisu, menampakkan penyesalan dihatinya. Jarak diantara kami nyata adanya. Bahkan Dimas bisa melihatnya dalam beberapa menit.
"Faiz, aku tidak ingin ikut campur. Namun aku berhak mengenal Nisa. Satu hal mengganjal di benakku, kegelisahan yang sejak tadi mengusikku!"
"Katakan, aku akan menjawabnya!"
"Apa alasan dari sikap Nisa? Dia pribadi yang lembut, tidak mungkin dia bisa bersikap sedingin dan sekeras ini tanpa alasan yang jelas!"
"Dimas, kamu benar tentang Nisa yang lembut. Namun sikap keras dan tegas papa, membuat Nisa kecilku berubah dingin dan pendendam. Nisa menganggap keluarganya musuh. Kala dia merasa tersisih selama hampir tujuh tahun. Nisa hidup sendiri tanpa keluarga, dia tinggal bersama orang asing yang berubah menjadi keluarga. Akhirnya, kini Nisa kecilku tak lagi mengenal saudaranya. Aku memang salah, tak pernah berani melawan kehendak papa. Bahkan demi membela Nisa kecilku!"
"Hidup sendiri!" Sahut Dimas, Faiz mengangguk. Tatapan kosong Faiz, jawaban tegas akan rasa tak percaya Dimas. Jauh dalam benak Dimas, ada rasa tak percaya. Jika aku pernah hidup sendiri tanpa keluarga besarku. Tersisih tanpa bisa mengeluh, sekadar menghapus rasa rindu dihatiku.
"Iya Dimas, Nisa kecilku pernah hidup tanpa kami. Tepat setelah lulus sekolah dasar, Nisa memutuskan menimba ilmu disalah satu pesantren terbaik di negara ini. Nisa memutuskan hidup di pesantren. Keputusan yang ditentang oleh papa dan membuat kami harus menjauh dari Nisa. Hampir tujuh tahun, kami memutuskan hubungan dengannya. Papa melarang kami menemui Nisa, sampai akhirnya Nisa kembali!"
"Kamu kehilangan akal, tujuh tahun kalian mengacuhkan Nisa. Pantas, jika Nisa dingin dan dendam pada kalian!" Sahut Dimas tak percaya, Faiz hanya diam. Perkataan Dimas nyata adanya, fakta pahit yang sangat disesali Faiz.
Drrrrrttt Drrrrttt Drrrrttt
"Assalammualaikum, aku tidak pulang malam ini. Ada acara di pesantren. Setelah ujian selesai, aku langsung berangkat kesana. Aku akan menginap selama tiga hari. Aku sudah menghubungi papa, tapi papa tidak menjawab. Tolong sampaikan pada mama dan mbak Nur, takut mereka khawatir padaku. Terima kasih!" Bunyi pesan singkat dariku, tepat setelah suara getaran ponsel Faiz.
"Lihatlah Dimas, Nisa kecilku sangat dingin. Bahkan dalam tulisannya, tak lagi aku merasakan hangatnya lagi!" Ujar Faiz, sembari menunjukkan pesan singkat yang aku kirim pada Faiz.
"Dia tidak pulang!"
"Iya, ada acara di pesantren!"
"Pergi sendiri!" Sahut Dimas tak percaya, Faiz mengangguk tanpa ragu. Dimas langsung berdiri, rasa khawatir menguasai dirinya. Dimas takut terjadi sesuatu padaku.
"Dimas Ethan Sebastian, sepuluh menit lagi rapat dimulai!" Teriak Faiz, saat melihat Dimas berlari keluar.
"Batalkan!" Sahut Dimas tegas, Faiz menggeleng seraya tersenyum. Ada rasa heran, tapi tersisip rasa bahagia. Melihat jelas rasa khawatir Dimas padaku. Meski hanya sekali kami bertemu, Dimas sudah sangat peduli padaku.
"Ini rapat penting!"
"Dia lebih penting!" Teriak Dimas lantang, Faiz hanya bisa tersenyum.
"Akhirnya, Dimas sahabatku luluh akan dingin Nisa kecilku. Aku berharap, hangat Dimas mampu meleburkan dinding es dihati Nisa kecilku. Aku berjanji, takkan kubiarkan papa mencampuri hubungan mereka. Aku pernah tunduk, tapi tidak sekarang. Sudah saatnya aku menjadi kakak yang bisa diandalkan!" Batin Faiz, sembari menatap punggung Dimas yang semakin menjauh.
...☆☆☆...
Rintik hujan menetes perlahan, membasahi tanah kering tandus. Tangisan langit perlahan menggenangi bumi tempatku berpijak. Air mata suci nan jernih, tetes demi tetes menerpa wajahku. Aku mendongak, menatap langit gelap yang begitu tenang. Angin dingin menyapa tubuh lemahku. Air dan angin bergandeng tangan menyapaku dengan basah dan dinginnya.
Aku berdiri tegak, tanpa peduli dingin yang menyusup ke hatiku. Aku melangkah perlahan di atas tanah merah. Aku menatap ke sekeliling, menyusun kenangan yang pernah ada. Gerbang tinggi saksi bisu waktu yang pernah aku lalui di tempat ini. Pohon-pohon rindang menjadi tempatku bersandar. Menumpahkan segala resah dan gelisah dihatiku. Menghapus air mata yang menetes tanpa sebab. Menenangkan hati gelisah yang merindukan kasih sayang. Dinding dingin kamar yang menghangatkan tubuhku. Peraturan-peraturan yang mengajarkanku arti tanggungjawab.
Kulangkahkan kaki lemahku, berjalan masuk ke dalam asrama putri. Sebuah pesantren terbesar di kota ini, ratusan kilometer jarak dari tempatku dilahirkan. Kota asing yang kini menjadi asalku. Sebuah kota yang mengajarkanku banyak hal. Kota asing yang menjauhkanku dari keluarga, tapi mendekatkanku pada iman. Hampir tujuh tahun, aku menghabiskan waktu di pesantren ini. Sampai akhirnya tahun ke delapan, aku harus kembali ke kota asalku. Kota yang terasa asing bagiku.
Hari ini langit menangis, menambah kegalauan hatiku. Tiga tahun yang lalu, aku melangkah keluar dari pesantren. Hari ini, aku datang membawa rindu yang tak terucap. Hari yang aku tunggu selama tiga tahun Kerinduan yang terjawab, kala sebuah undangan datang menghampiri. Aku langsung pergi, tanpa banyak berpikir.
Huuufff
Aku menghela napas panjang penuh kelegaan. Menatap kembali pesantren tempatku menata hidup. Seakan hadiah terbaik dalam hidupku. Aku menoleh, sesaat setelah mendengar suara tangisan. Terdengar lirih penuh kerinduan. Tangis yang pernah mengisi hariku. Tangis merindukan kedua orangtuaku yang tak pernah datang menemuiku. Betapa bahagia mereka, saat keluarga mereka datang. Tangis mereka tak lagi terdengar pilu, kelegaan yang menjadi alasan tangis itu terdengar.
"Chairunnisa"
Aku menoleh, sebuah panggilan terdengar menyapaku. Begitu hangat nan lembut menyusup di telingaku. Panggilan yang menghiasi hari-hariku dulu. Keakraban yang kujalin bersama putri pemilik pesantren. Salah satu penerus pesantren kelak. Ning panggilan yang melekat pada suara yang memanggilku. Aku langsung menunduk, saat menyadari Ning Zahra yang memanggilku. Putri bungsu kyai pemilik pesantren tempatku menuntut ilmu.
"Ning!" Sahutku lirih, tubuhku membungkuk. Mengalihkan pandangan akan kecantikan putri pemilik pesantren. Aku sengaja menunduk, sebagai rasa hormat pada keluarga dalem pesantren. Meski Ning Zahra marah, saat melihat sikapku. Rasa hormatku padanya, terasa canggung baginya. Sebab itu Ning Zahra melarang aku bersikap hormat.
"Aku Zahra, bukan Ning Zahra. Berapa kali aku harus mengatakan itu? Selamanya kita sahabat, tidak akan pernah ada jarak diantara kita!" Ujarnya, sembari merangkul tubuhku. Kepalanya bersandar pada bahuku. Tingginya hampir sama denganku, meski lebih tinggi aku sedikit.
"Mungkin, tapi dulu saat kita sama-sama belajar. Sekarang status kita berbeda. Aku hanya alumni, Ning Zahra putri Kyai!"
"Sudahlah, kita pergi sekarang. Tidak peduli akan status, terserah pemikiranmu!" Ujarnya lantang, lalu menggandeng tanganku. Aku hanya bisa pasrah, berjalan mengikuti langkahnya. Saudara yang aku temukan dalam kesendirianku.
"Mungkin rasa nyaman ini salah, tapi salahkan aku bahagia dan merasa nyaman berada diantara mereka!" Batinku pilu, mengingat keluarga yang tak pernah menganggapku ada.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
sebetulnya abangnya ga seburuk yang Nisa pikir yah, karena ketidakberdayaan mereka tuk melawan kehendak ayah mereka tuk mengucilkan Nisa, jadi deh Fais terkena imbas dibuat berjarak sama sang adik
2024-11-29
0
Meyrariza Mey
bahasanya agak membingungkan
2025-02-15
0