Aku menunduk, menatap jam ditanganku. Tepat pukul 23.00 WIB, satu jam menuju tengah malam. Kesunyian terasa menyusup ke relung hatiku. Malam yang semakin larut, tak terasa oleh hatiku yang lelah. Waktu terasa begitu cepat berputar. Tanpa terasa, malam tengah menyapa dan bersiap menyambut pagi. Aku terhenyak, menyadari tak ada siapapun di sekitarku. Acara malam ini begitu meriah dan khidmat. Pertemuan dengan para sahabat dan alumni. Tanpa sadar membuatku lupa akan waktu. Hati sepiku begitu bahagia, kerinduan di jiwaku terhapus tanpa sisa. Ketenangan terasa menyusup ke relung hatiku. Seolah tak pernah ingin aku pergi menjauh. Namun dingin angin malam, menyadarkan tubuhku yang tak lagi mampu bertahan. Aku terbangun dari angan indah penuh harap. Tersadar, jika ini semua hanya sesaat dan akan menghilang esok hari.
Aku mendongak, menatap langit malam. Kesyahduan yang tergambar dari indah langit penuh bintang. Suara hewan malam yang bersahutan. Desiran angin malam, kala menerpa daun-daun. Menambah ketakutan akan akhir rasa tenang ini. Aku terlahir dalam keluarga yang tak kekurangan. Namun aku besar dengan segala kekurangan. Di sinilah, pesantren ini tempatku belajar arti keluarga. Angin malam ini, mengajarkanku cara melawan dingin. Sunyi malam, mengingatkan diriku akan keagungan sang pencipta. Lama aku mencari jati diri, sampai akhirnya aku menyadari arti hadirku.
"Sampai kapan kamu berdiri dalam gelap? Malam tetap berlalu dan pagi segera menyapa. Diammu takkan pernah bisa menahan malam pergi. Teguhmu takkan bisa menghadang pagi datang. Sampai kapan kamu mencari tenang dalam sunyi malam? Ingat Nisa, semua sudah berubah. Kamu hidup tidak sendiri. Begitu banyak kasih sayang untukmu, kenapa kamu sombong dengan mengacuhkan rasa tulus mereka!"
"Kak Azzam, sejak kapan?" Sahutku terkejut, suara yang begitu aku kenal. Suara yang telah pergi menjauh dariku. Kini nyata terdengar kembali, dia yang telah pergi beberapa tahun lalu. Kini datang menyapa, suara yang sama dan tak pernah berbeda.
Aku menoleh, terpaku akan pesona sahabat kecilku dulu. Laki-laki yang pernah ada dalam tangis dan tawaku. Dia yang dulu ada, bahkan selalu ada menemani sepiku. Laki-laki yang tak pernah malu bermain boneka bersamaku. Laki-laki yang tak pernah menolak permintaan anehku. Dia, iya dia yang pernah mengisi hari-hariku dulu. Dia yang memutuskan menjauh, melupakan nama dan pertemanan diantara kami. Aku tak pernah menyalahkan keputusannya. Dia berhak pergi, bahkan membenciku. Demi mempertahankan harga diri dan martabat keluarganya. Dia yang begitu aku nantikan, tapi tak pernah aku harapkan kembali. Lebih baik aku menahan kepahitan, daripada melihat harga dirinya terluka.
"Sejak kamu diam menatap bintang. Berdiri menahan malam pergi. Agar tak ada pagi datang membawa luka!"
"Kakak bukan alumni pesantren!" Sahutku bingung, Azzam menoleh ke arahku. Dia mengangguk pelan, lalu menunjuk tepat ke dadanya. Aku mengikuti arah yang ditunjuk kak Azzam. Aku mengangguk pelan, memahami alasan kehadirannya.
"Dia datang bukan untukku, tapi tugasnya. Dia perwira yang takkan pernah menoleh padaku. Dia hanya mengingat namaku, tidak pertemanan dan diantara kami. Kini, perwiraku berlari sangat jauh. Langkah kecilku takkan pernah bisa menyusulnya. Sapaan hangatnya, terasa asing tanpa ada hangat terasa. Kak Azzam, kenapa kita bertemu? Jika nyatanya luka yang terkoyak. Kak Azzam, aku selalu mendoakan kebahagianmu. Namun aku takut, kala bahagia menyapamu. Saat itu, hatiku telah hancur tanpa sisa. Kak Azzam, kenapa ada pertemuan ini? Kenapa kak?" Batinku pilu, lalu menyeka kedua air mata yang tiba-tiba menetes. Aku mencoba tetap tenang, takkan aku biarkan kak Azzam melihat rapuhku.
"Kapten Muhammad Fachri Azzam!" Sahutku, kak Azzam langsung menoleh.
"Azzam!" Sahutnya dingin, seolah marah akan panggilanku padanya.
"Seorang kapten terdampar di keheningan malam. Tentu ada tugas penting, jadi silahkan lanjutkan bertugas. Jangan hiraukan gadis lemah sepertiku. Tugas negara jauh lebih penting!" Ujarku tegas, takkan mampu aku berdiri tegar disampingnya. Aku harus bisa mengusirnya pergi. Dia satu-satunya orang yang membuatku rapuh. Pundaknya yang selalu terasa nyaman bagiku. Takkan butuh waktu lama, aku akan lemah dan bersandar padanya.
"Ini sudah larut malam, aku sudah selesai bertugas. Aku mungkin salah satu perwira yang mengemban tugas negara. Namun ada waktu, aku ingin menjadi manusia biasa!"
"Kalau begitu, lebih baik aku yang pergi!"
"Kenapa Nisa? Semarah itukah kamu, sampai enggan berdiri di sampingku. Maaf, jika aku menyakiti hatimu!" Ujarnya, sembari menahan tanganku. Langkahku terhenti, detak jantungku berhenti berdetak. Kedua mataku terasa panas, seolah terbakar oleh hangat sentuhan kak Azzam. Lama aku terpaku, mengenang hari-hari bersamanya.
Ting Tong Ting Tong
"Maaf, aku harus pergi!" Ujarku sembari menepis tangannya. Denting lonceng pesantren menyadarkanku dari lamunan indah akan kenangan bersamanya. Aku bergegas pergi, malam semakin larut. Tidak ada alasan bagiku tetap berdiri menatap bintang bersama kak Azzam. Sejak awal ini salah dan akan selamanya salah. Aku pergi dengan hati pilu, pertemuan indah ini harus aku akhiri.
"Kenapa kamu menjaga jarak denganku? Karena aku putra ART!" Ujarnya lantang, seketika aku berhenti. Tubuhku kaku, darahku berdesir dan hatiku terasa pilu. Aku menoleh, kutatap tajam wajah kak Azzam.
"Tak pernah aku menjaga jarak denganmu. Sebaliknya, kakak yang pergi menjauh. Sikapku tak pernah ada hubungan dengan statusmu. Aku tak pernah mempermasalahkan, kamu terlahir dari rahim siapa? Keluarga seperti apa yang membesarkanmu. Bik Siti mungkin ibu kandung kak Azzam, tapi jangan lupakan hubungan hati diantara kami. Dia bukan ART bagiku, dia ibu yang mengasuhku!"
"Mbak Nisa, ning Zahra mencarimu!"Ujar salah satu santriwati, aku mengangguk pelan.
"Kapten Azzam, kamar anda sudah disiapkan!" Ujar santri putra, aku melihat kak Azzam mengangguk pelan. Kak Azzam mengikuti langkah salah satu santri putra. Langkahnya begitu gagah, punggungnya begitu kuat dan pundaknya begitu kokoh. Aku menatap kesempurnaan kak Azzam. Pesona yang tak pantas aku miliki. Mengingat luka yang pernah aku torehkan dihatinya.
"Mbak Nisa mengenal kapten Azzam!" Ujar Ifa, saat melihat aku mengawasi kak Azzam. Aku mengangguk pelan, seutas senyum terlihat di wajahku. Sekadar menutupi kecangguan yang tengah aku rasakan.
"Iya, memang kenapa?"
"Kapten Azzam tamu istimewa pak Kyai?"
"Dia ada disini, hanya karena tugas!" Ujarku, Ifa menggelengkan kepalanya.
"Mbak Nisa salah, kapten Azzam memang bertugas menjaga acara malam ini. Namun ada acara lain besok pagi!"
"Acara lain!" Sahutku mengulang perkataan Ifa.
"Hmmmm!" Ujar Ifa, sembari mengangguk beberapa kali.
"Kapten Azzam akan bertemu dengan mbak Villa!"
"Villa, sepupu ning Zahra!" Sahutku terkejut, Ifa mengangguk tanpa ragu.
"Mereka pasti cocok satu dengan yang lainnya. Kapten Azzam tampan dan baik hati. Dokter Villa cantik dan juga baik. Kelak putra mereka pasti tampan dan cantik!" Cerocos Ifa, aku terdiam membeku.
"Pertemuan, apa mungkin mereka dijodohkan?" Batinku galau dan resah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
kenapa yah ko sepertinya karakter Nisa rumit sekali sepertinya,,,
2024-11-29
0
Adit monmon
kok jdi nyesek ya 🙂↕️
2024-11-10
0