Dengan menggunakan kendaraan umum Naima berhasil sampai di sekolah tempatnya mengajar meskipun telat. Sebelumnya ia menghubungi salah satu rekan guru untuk menggantikannya mengajar sementara ia dalam perjalanan. Untunglah, di lingkungan sekolah tempat ia mengajar ia mendapatkan teman-teman yang saling mensupport satu sama lain. Pun banyak yang memahami kondisi Naima.
Semua tahu bagaimana hubungan antara Naima dan ibu mertuanya. Tentu bukan dari Naima sendiri yang bercerita, tapi beberapa teman yang pernah berkunjung ke rumah Naima melihat dengan kepala sendiri betapa sinis dan judesnya ibu mertua Naima.
"Terima kasih ya, Yuk, udah bantuin aku," ujar Naima di jam istirahat.
"Anak-anak nggak ada yang rewel, kan?" tanya Naima kemudian.
Naima memang mengajar di sekolah Taman Kanak-kanak, jadi wajar jika pertanyaannya demikian. Meski tidak semua tapi pasti ada beberapa dari anak didiknya yang terkadang rewel. Entah berebut mainan lantas menangis, atau kadang mereka bercanda dan kebablasan dengan saling pukul atau cubit, atau bahkan ada yang menangis karena berebut perhatian guru mereka.
"Alhamdulillah, semua manis hari ini, tapi mereka terus nanyain kamu," jawab Ayu.
"Ya udah abis ini mereka full sama aku sampai pulang, biar mereka seneng," ujar Naima sembari tersenyum.
"Ngomong-ngomong ada masalah apa kamu bisa telat? Mertua kamu rewel lagi?" tanya Ayu.
"Hush ... sama orang tua nggak boleh gitu," jawab Naima. Masih bisa bercanda.
"Abisnya, mertuamu itu kayak bayi tua. Dikit-dikit rewel ... dikit-dikit rewel." Ayu tertawa saat menyindir mertua temannya.
"Udah-udah, aku telat cuma karena telat bangun. Nggak ada yang rewel di rumahku." Naima selalu menutupi kondisi rumah tangganya. Baik dari teman ataupun kakaknya sendiri.
Ia tidak mau membuka hal yang menjadi aib dalam rumahnya pada orang lain. Baginya menjaga keburukan yang terjadi dalam rumah tangganya adalah tanggung jawabnya juga. Meski untuk semua itu ia harus menahan sakit hatinya sendiri.
Naima melanjutkan pekerjaannya mengajar usai istirahat selesai. Jam pulang anak-anak di sekolahnya adalah jam empat sore karena memang full day school. Naima beruntung kegiatan mengajarnya bisa sampai setengah hari lebih, setidaknya ia bisa istirahat dari segala omelan dan kata-kata menyakitkan ibu mertuanya.
"Pulang bareng aku aja, entar aku antar sampai rumah, bonusnya aku jajanin bakso, deh," ajak Ayu.
Setelah menimang-nimang akhirnya Naima ikut pulang bersama Ayu. Seperti rencana semula, Ayu mengajak Naima berhenti sebentar di sebuah warung bakso.
Naima tak lantas masuk mengikuti Ayu. Ia justru bergeming di samping motor yang terparkir.
"Eh ... kok malah diem." Ayu yang sudah berjalan beberapa langkah kembali menghampiri Naima. Menggandeng tangan wanita itu. "Ayo masuk. Aku yang traktir."
Sebenarnya bukan masalah ditraktir atau tidak, Naima hanya memikirkan nanti kalau dia makan bakso dulu dan di rumah tidak makan, pasti ibu mertuanya ngomel dan menuduh Naima yang tidak-tidak seperti sebelum-sebelumnya.
Pun kalau ia menolak ajakan Ayu, pasti temannya itu juga akan tersinggung. Meski berat langkahnya untuk masuk, akhirnya Naima memilih untuk menyenangkan hati temannya yang berniat baik padanya.
Usai memilih tempat duduk, Ayu memesan dua mangkok bakso juga minuman. Obrolan mengiringi keduanya dalam menikmati hidangan sejuta umat itu.
Tak lama, setelah selesai makan bakso Ayu langsung mengantar Naima pulang. Jalanan sore memang agak ramai. Maklum, bertepatan dengan jam pulang kantor atau pabrik. Naima memang tidak tinggal di Jakarta, melainkan di Karawang. Di mana di kota itu banyak sekali pabrik.
Selama perjalanan pun, Ayu terus mengajak bicara Naima. Tentu agar tak jenuh di perjalanan. Namun, hal itu justru membuat Ayu yang mengemudi jadi tidak waspada. Ia tidak melihat ketika ada kucing lewat di tengah jalan secara tiba-tiba.
"Ayu, awas!" seru Naima yang melihat seekor kucing melintas memotong jalan mereka.
Karena kurang fokus, Ayu pun hilang keseimbangan. Di saat yang sama ketika ia hendak membanting setir untuk menghindari kucing , sebuah mobil melintas dan menyenggol stang motor Ayu.
Bruk!
Jadilah motor Ayu oleng dan terjatuh. Keduanya jatuh dengan posisi tertimpa motor.
Untung saja pengemudi mobil yang kaget segera berhenti. Tak lama kerumunan orang mengelilingi mereka berdua. Berusaha membantu Ayu dan Naima.
"Gimana, Mbak. Ada yang luka, nggak?" tanya seseorang yang membantu mengangkat motor Ayu yang menimpa keduanya.
Ayu dan Naima menggeleng bersamaan. Keduanya memang tertimpa motor, tapi nasib baik masih berpihak. Luka yang mereka alami tidak terlalu serius. Hanya lecet di kaki dan pantat yang sakit karena harus menumpu berat badan saat jatuh.
"Bener, nggak apa-apa?" tanya si bapak meyakinkan.
"Iya, Pak, nggak apa," jawab Ayu.
Meski tidak apa-apa, tapi saat ini jantungnya berdetak sangat cepat. Kaget dan takut menjadi satu. Membuat tubuhnya gemetar.
"Ya sudah, ayo minggir dulu." Bapak yang menolong mereka mengarahkan Ayu dan Naima ke pinggir jalan. Keduanya pun duduk di trotoar berselonjor kaki.
"Yakin nggak apa-apa. Kalau sakit mending langsung ke rumah sakit aja. Dari pada kenapa-napa, kan?" Si bapak terlihat kasihan pada keduanya.
"Bener kok, Pak, nggak apa-apa," jawab Ayu. "Kamu ada yang luka, nggak?" Ayu menoleh pada Naima.
Naima menggeleng meski merasakan sakit di betis dan pergelangan kakinya. Naima yakin ada yang lecet di bagian itu, tapi malu untuk melihat ketika ada di depan kerumunan banyak orang.
"Maaf, Mbak, gimana lukanya? Ada yang serius, nggak?" tanya seseorang yang tiba-tiba muncul. "Maaf, tadi saya juga kaget waktu motor Mbak mendadak belok, jadi saya pun nggak sempat ngerem," ujar pria itu.
"Saya juga salah kok, Mas. Niat mau ngindari kucing dengan banting setir malah terjatuh sendiri." Ayu mendongak menatap siapa yang bicara. Sedang Naima masih menunduk merasakan sakit di kakinya.
"Kalau ada yang sakit bilang, Mbak. Saya mau tanggung jawab, saya antar ke rumah sakit," ujar seseorang tadi.
Ayu menyenggol lengan Naima. Meminta pendapat apa harus mereka periksa ke rumah sakit.
"Bener, Mbak kata Masnya, kalau sakit mending priksa aja." Si bapak yang menolong ikut berpendapat.
"Gimana?" ujar Ayu lirih pada Naima.
Barulah Naima mendongak melihat pria yang mau bertanggung jawab atas kejadian yang sepenuhnya bukan kesalahan pria itu. Mata Naima membulat, saat melihat pria yang berdiri di depannya. Begitupun Devon. Tatapan keduanya beradu, sama-sama terkejut.
"Mas ... Devon?" ujar Naima lirih. Ragu-ragu menyebut nama itu.
"Kamu ...?" Devon tak berani menyebut nama Jenna yang dulu ia kenal. Sebab wajahnya memang mirip tapi penampilan wanita yang ia kenal dulu tidak seperti wanita yang saat ini ada di depannya. Sangat bertolak belakang.
"Kamu kenal dia?" Ayu kembali menyenggol lengan Naima.
Naima bingung harus menjawab apa. Ia justru menatap Devon yang juga tengah memperhatikannya.
"Kalau kalian tidak mau diantar ke rumah sakit, bagaimana kalau aku antar kalian pulang." Devon menawarkan sebagai bentuk tanggung jawab.
Naima menoleh pada Ayu. Menunggu jawaban temannya itu.
"Boleh, kalau tidak merepotkan." Ayu berani menerima tawaran ini karena tadi melihat Naima yang menyebutkan nama pria di depannya ini.
"Baiklah, ayo aku antar, mobilku di sana," ujar Devon.
Ayu dan Naima berusaha untuk bangun, tapi sayangnya kaki Naima begitu sakit. Ia hampir terhuyung karena kehilangan keseimbangan. Secara reflek, Devon memegangi tangan Naima agar tidak terjatuh. Melihat tangan Devon menyentuhnya Naima segera menarik tangannya kasar.
"Maaf," ujar Naima.
Devon hanya bisa tersenyum tipis dengan sikap Naima barusan.
"Ayo aku bantu," ujar Ayu yang kemudian memegangi tangan Naima untuk berjalan bersama.
Devon hanya bisa melihat Naima tertatih menuju mobilnya. Ingatannya mendadak kembali pada Jenna di masa lalu. Sangat berbeda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Uthie
menarik 👍
2025-02-21
1