Bab. 4 Terabaikan

"Ngapain berdiri di tengah pintu?" Suara dan tepukan di bahu membuat Dimas tersentak kaget.

Ia menoleh, dan wajahnya langsung pias melihat Faris berdiri menatapnya aneh.

"Eh, Mas Faris. Baru pulang, Mas?" Dimas mencoba basa-basi untuk mengalihkan perhatian Faris. Berharap apa yang ia lakukan tadi tidak ketahuan oleh kakak iparnya itu.

"Hmm ...." Faris mendesak masuk, memaksa Dimas menggeser tubuhnya untuk memberi jalan.

Dimas pun bernapas lega karena aksi tidak sopannya tidak terpergok kakak iparnya. Ia mengikuti Faris di belakang, keduanya langsung berjalan menuju ruang makan.

"Tumben udah pulang kamu?" tanya Yuni pada Faris yang baru datang. "Kok bisa barengan sama Dimas?"

"Tadi ketemu di depan kok, Buk," jawab Dimas. Sedangkan Faris langsung duduk mengabaikan pertanyaan ibunya yang sudah terjawab.

"Aku ambilin piring, Mas," ujar Naima yang kontan berdiri dengan kedatangan suaminya.

"Sekalian buat Mas Dimas ya, Mbak," ujar Farida.

Naima hanya mengangguk. Ia mengambil piring juga gelas untuk Faris dan Dimas. Meletakkan piring di depan suami dan iparnya.

"Mbak Ima kok jalannya pincang gitu kenapa?" tanya Dimas yang memang sejak tadi memperhatikan Naima.

Membuat Naima jadi merasa risih karena tatapan sang ipar. Kenapa pria itu sampai segitu memperhatikannya sedang suaminya sendiri tak acuh pada kondisinya.

"Ehm ... tadi ...."

Naima belum selesai dengan kalimatnya, tapi Yuni memotong cepat. "Tadi dia nggak hati-hati, makanya jatuh. Mungkin itu teguran dari Tuhan supaya dia sadar kalau sudah punya suami. Biar nggak ganjen lagi godain pria lain."

"Astaghfirullahalladzim, Buk. Itu fitnah!" Naima tidak terima dengan tuduhan ibu mertuanya yang tak benar sama sekali.

"Sudah berani kamu membentak orang tua?" Yuni juga tak terima dengan suara Naima yang meninggi. "Lihat itu istri kamu, Ris. Sudah berani teriak di depan Ibuk."

"Mas, bukan begitu ceritanya. Aku tidak mungkin melakukan hal serendah itu." Naima berusaha membela diri.

"Halah, jangan mudah percaya, Ris. Perempuan kalau sudah berani jalan sama laki-laki yang bukan suaminya, pasti pintar cari alasan." Yuni terus mengompori.

"Buk!" seru Naima. "Aku nggak serendah itu, Buk. Mas, aku bisa jelaskan semuanya. Tadi aku ...."

Kambali Yuni memotong ucapan Naima. "Kamu harus hati-hati, Ris. Jangan sampai ...."

"Diam!" teriak Faris dengan menggebrak meja. Menghentikan debat antara ibu dan istrinya. Pria itu menatap tajam Naima. Lalu berdiri begitu saja, hingga kursi yang ia duduki bergeser dengan suara berdecit yang begitu kuat. Seakan memekakkan telinga. Membuat seisi ruang makan menjadi hening seketika.

Melihat kepergian Faris, Naima langsung menyusul suaminya. "Mas, tolong dengar penjelasan aku dulu."

Dengan langkah pincangnya, Naima mengejar Faris ke kamar. Ia tidak mau suaminya salah paham dan semakin membencinya. Naima segera menutup pintu kamar begitu ia dan Faris masuk.

"Mas, tolong dengarkan aku dulu. Semua yang Ibu katakan tidak benar. Aku tidak pernah menggoda pria mana pun. Tadi sore saat aku pulang dari sekolah, aku dan Ayu mengalami kecelakaan. Motor Ayu terserempet mobil saat menghindari kucing, dan kami terjatuh." Naima terus bicara memberi penjelasan pada suaminya.

Sedangkan Faris diam tak menggubris sama sekali. Pria itu sibuk melepas baju dan sepatunya. Kembali ia menatap dingin pada istrinya. Tatapannya jatuh pada kaki Naima yang pincang. Dalam hati ia percaya pada istrinya itu, sebab melihat kepribadian Naima selama ini, tak mungkin istrinya itu berkelakuan rendah. Namun ucapan dan hatinya sungguh berbeda. "Aku tidak peduli dengan apa yang kamu lakukan dan apa yang terjadi padamu."

Ucapan tajam Faris berhasil menyayat satu lagi luka di hati Naima. Menambah perih sakit hati yang selalu ia pendam.

Tanpa memikirkan perasaan Naima yang terabaikan, Faris pergi begitu saja ke kamar mandi.

"Mas ... Mas Faris," panggil Naima sampai Faris menutup kamar mandi tanpa menoleh sedikit pun.

Di depan pintu kamar mandi yang tertutup Naima menunduk. Air matanya menetes, meratapi perlakuan sang suami.

Banyak hal berkecamuk di hati, yang membuat tangisnya semakin memilukan. Tangis yang sekuat tenaga ia tahan untuk tak bersuara.

Untuk beberapa saat Naima hanya bisa bergeming menatap pintu kamar mandi. Namun, Lagi-lagi ia harus menguatkan hati menghadapi pernikahan ini.

Naima menarik napas panjang, lalu berbalik ke ranjang. Ia rebahkan dirinya di sana, sembari mengobati luka batin yang baru ia dapati.

Setengah jam, Faris baru keluar dari kamar mandi. Pria itu sudah mandi terlihat dari baju yang sudah berganti. Faris mengambil ponselnya dan pergi keluar. Menyisakan Naima dan segala luka batinnya.

*****

Di kamar istrinya, Dimas masih ingin tahu apa yang menyebabkan kaki kakak iparnya itu pincang.

"Jadi kenapa kaki Mbak Ima kok bisa pincang gitu?" tanya Dimas pada Farida yang tengah meny*sui Lyra. "Terus maksud Ibuk tadi apa? Mbak Naima menggoda pria lain?"

Farida berdiri. Meletakkan Lyra yang sudah tertidur di dalam box bayi, lalu mendatangi suaminya yang rebahan di atas ranjang. "Mbak Ima itu kecelakaan, Mas," jawab Farida.

"Terus maksud Ibuk apa?"

"Nggak ada, Mas. Itu cuma Ibuk saja yang membesar-besarkan. Tadi Mbak Ima diantar pulang sama orang yang udah nyerempet motor yang dikendarai temennya. Ibuk lihat, terus jadi mikir macam-macam. Lagian, mana mungkin Mbak Ima kayak gitu. Mbak Ima itu orang baik ...." Farida mulai bicara panjang lebar tentang kebaikan kakak iparnya.

Padahal Dimas tak menyimak sama sekali. Pria itu justru memikirkan hal lain tentang Naima.

"Mas ... Mas," panggil Farida. Ia bahkan sampai menepuk lengan suaminya.

"Eh, kenapa?" Dimas kaget dengan tepukan Farida.

"Mas tu dengerin aku nggak, sih? Dari tadi aku ngomong lho." Farida mencebik kesal karena Dimas tak mendengar apa yang ia bicarakan tadi.

Melihat istrinya yang ngambek, Dimas langsung bersikap manis. Ia memeluk Farida dan mencium pipi wanita itu. "Maaf, Mas tadi hanya kepikiran soal kerjaan. Lagian kamu juga, Mas cuma tanya kenapa Mbak Ima bisa pincang. Eh ... kamu malah bicara panjang lebar, ngalor-ngodul, nggak jelas."

Farida menyadari kesalahannya. Ia pun luluh dengan sikap manis sang suami. "Ya maaf."

"Udah yuk, tidur. Besok kita kan harus pulang," ajak Dimas.

Farida mengangguk patuh. Segera ia memejamkan mata, tidur dalam dekapan suaminya. Dimas sendiri masih sibuk dengan pikirannya tentang Naima. Sejak tahu jika pernikahan kakak iparnya itu tidak berjalan harmonis, Dimas seolah menyimpan rasa yang seharusnya tidak boleh ada.

Tidak tahu mulai kapan, Dimas tertarik dengan Naima yang pendiam. Sikap dingin wanita itu seolah membuatnya tertantang untuk menaklukkan.

"Naima ...," gumamnya lirih.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!