Diabaikan Setelah Malam Pertama
"Mas, kamu mau ke mana?" Tatapan Naima begitu nanar ke arah Faris—pria yang siang tadi mengucapkan akad untuk menghalalkan dirinya.
Tak ada jawaban dari Faris. Pria itu sibuk memakai celana dan kemeja yang sebelumnya ia lepas. Lalu pergi meninggalkan Naima begitu saja. Naima hanya bisa tergugu melihat kepergian Faris.
Setelah melakukan hubungan suami istri, Faris terlihat kecewa. Ia pun menanyakan tentang kesucian Naima.
"Ternyata kamu sudah ...?" Faris bahkan tak mampu menyebut jika istrinya tak lagi perawan.
Naima tidak bisa mengelak. Ia hanya bisa menunduk dengan bulir bening yang tiba-tiba membasahi pipi. Bukan Naima tak mau jujur dari awal, Ia hanya berusaha menjaga aib yang selama ini tersembunyi.
Namun, sebelum Faris memutuskan untuk melamar dan menikahinya dulu, Naima pernah mengatakan sesuatu sebagai isyarat; Jika dulunya ia besar dan tinggal di luar negeri. Naima pun bercerita bagaimana dulu dirinya yang belum memeluk islam melakukan banyak hal yang di negara barat dianggap wajar dan biasa, tapi menjadi dosa dalam agama islam. Ia pikir saat itu Faris sudah paham akan isyarat yang ia sampaikan.
Memang, Naima tak menyebutkan detail apa lagi dengan kata vulgar tentang apa saja yang pernah ia lakukan di masa ia belum memeluk islam. Semua sengaja ia katakan dengan bahasa sehalus mungkin untuk menjaga marwahnya sebagai perempuan.
Kenyataannya, Faris tak menangkap maksud dari isyarat yang Naima sampaikan. Faris nekad menikahi Naima. Dan, malam pengantin mereka menjadi saksi akan masa lalu Naima yang bodoh.
Tak ada yang bisa Naima perbuat untuk menghentikan langkah Faris. Ia hanya bisa menangis memeluk selimut yang ia tarik sekuat mungkin untuk menutupi tubuh yang masih polos. Bahkan mengigit kuat kain itu untuk meredam tangis yang pecah agar tak terdengar sampai keluar.
Sakit!
Iya, Naima merasakan sakit yang bertubi. Ia pikir ia telah menemukan pria sejatinya. Jodoh yang tepat, yang mau menerima dirinya apa adanya. Tidak disangka sang suami justru meninggalkannya di malam pertama dengan cara yang menyakitkan.
"Naima!" Sebuah bentakan membuat Naima tersadar akan malam pertama setahun lalu. Gegas ia mengusap air mata yang masih saja terus mengalir jika mengingat kejadian malam pengantin dulu.
"Diajak bicara malah bengong! Ibu heran sama Faris, kok bisa-bisanya dulu milih kamu jadi istri. Sudah mandul, sekarang malah jadi budeg."
"Kenapa sih, nggak diceraikan saja istri kayak kamu itu. Udah _____"
Yuni—ibu mertua Naima— terus saja mengomel dan memaki Naima. Wanita itu sering kali mengatai Naima mandul karena sudah setahun menikah tapi belum juga hamil. Bagaimana Naima akan hamil jika Faris saja tak pernah menyentuhnya sama sekali.
Faris bilang; Ia merasa telah dibohongi oleh Naima, hingga tak mau lagi menyentuh wanita yang ternyata sudah bekas dijamah pria lain. Sejak malam pertama itu Faris mengabaikan Naima.
Sakit hati Naima tak hanya sampai diabaikan suami saja. Ibu mertuanya pun ikut menambah luka hati wanita itu. Setiap hari sebutan wanita mandul untuk Naima selalu keluar dari lidahnya yang tajam.
Semua Naima terima dengan berusaha sesabar mungkin. Mau bagaimana lagi, kalau Yuni tahu apa yang sebenarnya terjadi pasti ia akan semakin dicela dan dihina sebagai wanita murahan. Karenanya Naima memilih untuk diam saja. Entah sampai kapan ia akan sanggup bertahan dengan sikap suami dan mertuanya. Yang pasti untuk saat ini Naima akan menerima saja nasibnya.
"Maaf, Buk, Naima beneran nggak denger. Tadi kan lagi nyuci piring. Ibu mau dibuatkan teh?" tawar Naima pada Yuni yang masih berdiri menatapnya sinis.
"Nggak, aku lagi nggak mau minum teh. Nih, daging, kamu masak rendang sekarang!" Yuni meletakkan kantong kresek berisi daging sapi yang baru saja diberikan oleh Farida—putrinya.
"Tapi, Buk, ini udah jam tujuh lebih. Kalau masak rendang nanti saya telat ngajar." Hari ini memang Naima sedikit telat bangun, kemarin ada pekerjaan di sekolah tempat ia mengajar. Badannya terasa lelah sampai-sampai bangunnya sedikit terlambat.
"Halah, alasan aja kamu itu. Bilang saja nggak mau!"
"Ada apa sih, Buk. Masih pagi kok udah ribut?" Faris yang baru keluar kamar dan mendengar suara ibunya tengah mengomel, langsung menghampiri ke dapur.
"Ini, istri mandul kamu ini, cuma disuruh masak aja alasan telat." Bibir Yuni mencebik kesal pada menantunya.
Faris menatap Naima. "Bener, Naima?"
Naima hanya bisa menunduk. Takut jika suaminya ikut mengomel seperti ibu mertuanya.
"Kenapa, Mas?" Farida—adik dari Faris—tiba-tiba muncul juga di dapur.
"Nggak ada apa-apa," jawab Faris menutupi.
Farida yang tahu persis perangai ibu dan kakaknya menatap kakak iparnya yang tengah menunduk seakan takut. Lalu melihat kantong keresek berisi daging yang tadi ia bawa dan serahkan pada Yuni. Pasti benda ini yang jadi masalah.
"Mbak Ima kok belum berangkat jam segini?" tanya Farida.
Naima mendongak. "Itu, Mbak mau masak dulu."
"Nggak usah, biar nanti Ida yang masak. Soalnya Ibuk mau dimasakin rendang, kalau Mbak Ima yang masak nanti bisa telat. Masak rendang kan lama. Lagian Ida di sini masih sampai nanti sore kok, nunggu dijemput Mas Dimas."
Farida seolah tahu benar posisi Naima. Adik iparnya itu bukan kali ini saja menyelamatkannya dari situasi yang menyudutkan dirinya.
"Terima kasih, ya, Da. Aku udah mau berangkat soalnya," ujar Naima.
Farida mengangguk. Dugaannya benar. Sebab saat tadi ia mengulurkan daging pada Yuni, ibunya itu bilang ingin makan rendang. Dan akan meminta Naima mengolahnya, tapi Farida tahu jika waktu untuk memasak rendang tidak akan cukup sebab Naima harus pergi mengajar.
"Permisi, Buk ... Mas," ujar Naima saat melewati ibu mertua dan suaminya. Gegas ia pergi ke kamar untuk bersiap.
Sementara Yuni menatap tidak suka pada menantunya. "Liat tuh, istri kamu. Makin kurang ajar saja. Disuruh masak malah banyak alasan," ujar Yuni mengadu. Ia paling tidak suka jika melihat Faris diam saja membiarkan Naima begitu saja.
Usai bersiap, Naima segera keluar mencari suaminya. "Ayo Mas, kita berangkat, aku sudah siap."
Naima baru saja melangkahkan kakinya keluar pintu, tapi Faris justru pergi begitu saja meninggalkan dirinya. Seakan sengaja tak menunggunya.
"Lho, Mas, kok aku ditinggal?" teriak Naima. Sedang mobil Faris terus saja melaju tak mengindahkan teriakan Naima.
Wanita itu terpaku di teras melihat mobil Faris yang makin menjauh.
"Makanya jangan sok-sokan bilang telat. Baru disuruh masak saja alesan telat. Sekarang jadi telat beneran, kan? Lagian, nunggu kok istri yang nggak cekatan. Cih ... mending berangkat sendiri," ujar Yuni yang muncul dari dalam.
Puas sekali hati wanita itu karena telah mengolok-olok menantunya. Yuni seakan sengaja ingin membuat Naima tidak betah berada di rumahnya. Ia ingin Naima bercerai dan pergi dari hidup putranya.
Dalam semua olok-olok sang mertua, Naima kembali harus menguatkan sabar. Ya Allah, sampai kapan Naima harus bertahan dengan kelakukan ibu mertuanya ini. Bukan hanya sang suami, tapi ibu mertua pun seakan menjadi ujian tersendiri dalam rumah tangganya. Suara yang menyakitkan setiap hari, seakan menjadi makanan buat Naima.
Tanpa ia sadari air mata kembali menetes begitu saja. Mengingat akan suami yang semakin hari semakin mengabaikannya.
Haruskah Naima yang meminta cerai untuk bisa lepas dari suami dan mertua jahat ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Nabila hasir
baru baca sdah naima sdah sedih.
astagfirulloh suami dan ibu mertua naima.
buat naima kuat dan melawan keadaanya kk author.
2024-12-28
1