Lima

Abraham menatap ayahnya, tidak mempedulikan usaha Sintia untuk membela dirinya. "Kalau ini hanya soal cucu, aku rasa aku tidak perlu mengorbankan waktu dan prioritasku untuk memenuhi keinginan impulsif. Aku punya pekerjaan yang jauh lebih penting daripada memikirkan hal-hal seperti itu."

Sintia tersenyum tipis, lega mendengar jawaban Abraham. Tapi Tono terlihat tidak puas. "Abraham, ini bukan hanya soal keinginan Ayah. Ini soal tanggung jawabmu sebagai pewaris keluarga. Kamu tidak bisa terus menghindari kewajibanmu."

"Aku sudah memenuhi tanggung jawabku," Abraham berujar dingin. "Aku menjalankan perusahaan ini dan menjadikannya yang terbesar di Asia. Itu lebih dari cukup. Jangan libatkan aku lagi soal urusan cucu."

Tono mengerutkan dahi, memandang putranya dengan tatapan tak percaya. "Abraham, Ayahmu ini sudah tua, dan Ayah ingin melihat cucu sebelum Ayah mati. Keluarga Handoko butuh penerus. Ini tugasmu sebagai anak sulung, sebagai pewaris untuk memastikan darah keluarga ini tetap berlanjut."

Kali ini Tono sangat keras kepala pada keinginannya, sampai-sampai bujukan Sintia tak membuahkan hasil apa pun. Sintia menyerah, suaminya sangat keras kepala untuk yang satu ini.

Sintia menarik nafas dalam-dalam. Jika ia tak bisa menghentikan keinginan suaminya agar Abraham tak jadi menikah, maka ia harus memastikan bahwa istri Abraham nantinya adalah wanita yang berada di pihaknya dan bisa diajak bekerja sama untuk menguasai seluruh kekayaan keluarga Handoko..

Jadi, sebelum Abraham sempat menjawab, Sintia yang sejak tadi duduk diam di sofa dengan sikap seolah tenang, akhirnya angkat bicara. Nada suaranya terdengar lembut, penuh kepura-puraan, tetapi ada kilatan licik di matanya yang hanya bisa dilihat oleh orang yang benar-benar memperhatikannya.

"Papa," katanya, menoleh ke suaminya dengan senyum kecil yang tampak penuh pengertian, "Mama sekarang mengerti Papa sangat ingin Abraham menikah. Tapi mungkin, kita perlu sedikit mempertimbangkan situasinya. Bisa saja, Abraham belum menemukan wanita yang tepat, bukan?"

Mendengar itu, Abraham memutar bola matanya dengan malas, seolah-olah bosan dengan arah pembicaraan yang sudah bisa ditebaknya. "Aku tidak membutuhkan wanita," jawabnya sinis.

Namun, Sintia tidak menunjukkan tanda-tanda tersinggung. Sebaliknya, dia malah tersenyum lebih lebar, seperti seseorang yang baru saja menemukan peluang untuk melancarkan rencananya. "Kalau begitu, Abraham," lanjutnya dengan nada ramah, "biarkan Mama dan Papa membantu. Mama yakin bisa mencarikan calon istri yang baik untukmu. Wanita yang tidak hanya mendukungmu secara pribadi tetapi juga bisa menjadi bagian dari keluarga besar ini, seseorang yang bisa membawa kebahagiaan untuk semuanya."

Tono langsung menyambut usulan itu dengan antusias. "Itu ide bagus, Ma! Abraham, kamu dengar itu? Kalau kamu terlalu sibuk untuk mencari sendiri, biar Mama dan Papa saja yang mencarikannya untukmu. Tidak ada salahnya, kan? Kita hanya ingin membantu."

Abraham tertawa pendek, nada tawanya lebih terdengar seperti ejekan. "Mencarikan istri untukku? Itu lelucon terbaik hari ini," katanya dengan dingin. Matanya menatap tajam ke arah Sintia, seperti ingin menusuk lapisan kepalsuan yang berusaha disembunyikan wanita itu. "Aku tidak butuh bantuan siapa pun, apalagi bantuan kalian. Dan aku tidak tertarik. Jadi, lupakan saja."

Namun, Tono tampaknya tidak memedulikan penolakan Abraham. Wajahnya sudah tampak penuh semangat, seolah usulan Sintia adalah solusi yang tepat untuk semua masalahnya. "Kalau kamu tidak mau repot, kami akan urus semuanya. Kamu hanya tinggal muncul saat pernikahan tiba, tidak apa-apa juga kok," katanya, mengabaikan keberatan putranya.

Tanpa menunggu jawaban, Tono melangkah menuju pintu, diikuti oleh Sintia yang melirik sekilas ke arah Abraham sebelum tersenyum kecil dan meninggalkan ruangan.

Abraham tidak bergeming, hanya memandangi mereka dengan tatapan dingin. Begitu pintu tertutup, dia menghela napas berat, mengangkat tangannya untuk memijat pelipisnya yang tiba-tiba terasa berdenyut.

***

Lantai marmer di pusat perbelanjaan kelas atas itu berkilauan di bawah pantulan lampu kristal. Langkah Sintia terdengar tegas meski dibalut sepatu hak tinggi berwarna nude yang elegan. Di belakangnya, dua orang pengawal pribadi sibuk mengikuti, masing-masing membawa beberapa tas belanjaan dari butik-butik mewah yang baru saja Sintia datangi.

Sintia tak pernah ragu untuk menghabiskan uang Tono, suaminya. Dia tahu betul bahwa Tono sangat mencintainya dan selalu berusaha memanjakan keinginannya, termasuk membiarkannya berbelanja kapan saja untuk menghindari rasa bosan yang sering melanda saat dia hanya berdiam diri di rumah.

"Aku lapar. Cari restoran yang bagus," perintahnya kepada salah satu pengawalnya saat perutnya mulai terasa lapar. Saat berbelanja di mall, dia memang sering menjadi lupa waktu.

Namun, pandangannya segera tertuju pada papan nama restoran seafood mewah di sudut mall. Tanpa menunggu jawaban, Sintia berjalan menuju restoran tersebut.

Langkahnya yang tergesa-gesa tak disangka membawa insiden kecil. Saat berbelok di koridor menuju restoran, dia bertabrakan dengan seorang gadis muda yang berjalan bersama seorang wanita paruh baya. Sintia nyaris kehilangan keseimbangan, tetapi salah satu pengawalnya dengan sigap menangkap lengannya.

Gadis muda itu, tampak gugup, langsung menunduk sambil meminta maaf.

"Maaf, Bu, saya nggak sengaja," ujar gadis itu, suaranya terdengar lembut dan penuh rasa bersalah. Wanita paruh baya di sebelahnya juga segera menambahkan, "Iya, maaf, Bu, kami nggak lihat."

Sintia, yang biasanya mudah tersulut emosi untuk hal-hal kecil, kali ini memilih menahan diri. Dia memerhatikan gadis muda itu lebih saksama—wajahnya manis, kulitnya cerah. Sementara itu, wanita paruh baya yang mendampinginya, ... Sintia menebak dia ibu dari gadis muda ini.

"Tidak apa-apa," ujar Sintia dengan senyum tipis yang dipaksakan. "Lain kali hati-hati."

Sintia kemudian melanjutkan langkahnya masuk ke dalam restoran yang ia tuju sejak awal. Namun, tak disangka ternyata dua orang wanita tadi juga memasuki restoran yang sama.

Sintia tersenyum lebar kali ini, matanya berbinar. "Jadi, kalian ingin makan di restoran ini juga, ya? Kita makan satu meja saja, kebetulan saya sendirian."

Sepasang ibu dan anak itu tampak terkejut sejenak, tetapi kemudian mengangguk. "Kalau Ibu nggak keberatan sih boleh-boleh aja."

Sintia sengaja mengajak mereka untuk duduk satu meja, karena merasa ada sesuatu yang menarik dari gadis muda itu. Sintia berpikir, jika Abraham memang enggan mencari calon istri sendiri, mungkin dia bisa mengambil inisiatif dan mempertemukan Abraham dengan gadis ini. Gadis muda ini terlihat menarik dan mudah diperdaya, yang menurut Sintia bisa dia manfaatkan untuk rencananya ke depan.

Sintia duduk dengan anggun di kursi empuk yang menghadap langsung ke meja penuh dekorasi mewah di restoran seafood bintang lima itu. Sementara gadis muda beserta ibunya itu hanya mengikuti meja VIP yang telah dipesan oleh Sintia.

Sambil menunggu pesanan mereka datang, Sintia tersenyum ramah pembuka obrolan. Matanya melirik gadis muda di depannya penuh ketertarikan. "Namamu siapa, Sayang?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!